Kami berdiri di sisi panggung, tepat di sebelah layar besar tempat ribuan fans Manchester United di Jakarta menyaksikan pertandingan klub kesayangan mereka bertanding melawan Leicester City, Minggu (1/2) kemarin.
Tepat di sebelah saya berdiri Denis Irwin, legenda Red Devils dengan 7 gelar juara liga di dalam CV-nya. Skor menunjukkan 2-0 dan waktu mengindikasikan menit ke-43. Saya harus segera mewawancara Irwin sebelum babak pertama usai agar segera bisa direlay ke studio beIN SPORTS.
βDenis, I think we have to do the interview nowβ.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa detik kemudian, United mendapatkan tendangan penjuru. Wayne Rooney mengirimkan sepak pojok tersebut yang disontek oleh Daley Blind dan upaya bek Leicester, Wes Morgan, untuk menghalaunya hanya menegaskan bahwa bola sudah masuk ke gawang.
Irwin tersenyum lebar sambil memberikan tangannya untuk saya tos. High-five. Tidak hanya gembira karena United kembali mencetak gol, tampaknya ia juga bangga karena punya kemampuan cenayang.
Dengan ekspresi wajah berseri yang membuatnya terlihat lebih muda dari usianya yang sudah 49 tahun, ia menghampiri 2 orang staf Manchester United untuk menceritakan apa yang baru saja terjadi. Terakhir kali saya melihat seseorang menceritakan sebuah kejadian minor dengan tingkat riang gembira yang sama adalah adik sepupu yang berusia 5 tahun.
Berbicara kepada media dan fans adalah salah satu tugas pesepakbola profesional. Silakan mencaci segala aspek mengenai sepakbola modern, tapi tanggung jawab seorang pesepakbola di luar lapangan terus berjalan bahkan ketika ia sudah gantung sepatu.
Saya rasa adil untuk mengatakan bahwa meskipun hampir semua pesepakbola Eropa mendapatkan pelatihan soal public speaking dan berbicara di depan media, tak semua pesepakbola menunjukkan antusiasme yang otentik di depan publik. Seorang bekas pesepakbola tersohor asal Belanda yang tak usah disebutkan namanya tahun lalu menghabiskan setengah jatah waktu sesi pertanyaan saya dengan jawaban βI dont want to answer itβ. Bagi beberapa pesepakbola, berbicara di depan media dan fans adalah pekerjaan yang lebih menyebalkan daripada bermain di Piala Intertoto.
Denis Irwin bukan salah satu dari mereka. Saya rasa Irwin adalah pesepakbola paling artikulatif yang pernah saya temui. Beberapa pesepakbola gemar memberi jawaban sekenanya ketika ditanya, namun Irwin selalu menjawab pertanyaan dengan terstruktur dan komprehensif, sehingga saya berandai-andai jika ia dulu SD di Indonesia, ia pasti tak akan kesulitan menyelesaikan soal ujian Bahasa Indonesia untuk menulis esai sepanjang 1 halaman folio. Ia hangat dan selalu tersenyum, saya bisa merasakan bahwa Irwin tak sedang berpura-pura terlihat bersahabat sekadar untuk memenuhi pundi-pundinya.
Sehari sebelumnya, saya bertemu Irwin di lantai paling atas sebuah hotel mewah di kawasan Jalan M.H Thamrin. Pertanyaan pertama saya adalah bagaimana nasibnya seandainya tahun 1992 United menyetujui tawaran Leeds United untuk membelinya.
Irwin terkekeh mendengar pertanyaan tersebut dan menjawab, βIβm glad i didnt sign for them. I wouldβve missed a lot!β
With 7-time Premier League champion, Denis Irwin, for @beINSPORTSid pic.twitter.com/BKkavchVci
β Pangeran (@pangeransiahaan) January 30, 2015Β
***
Jika anda mengatakan bahwa pemain Manchester United favorit anda adalah Denis Irwin, kemungkinannya hanya anda berdusta atau anda benar-benar hipster. Tidak, anda pasti berdusta. Denis Irwin adalah salah satu pemain paling konsisten di Old Trafford selama 12 tahun karirnya bersama United, sampai-sampai Sir Alex Ferguson mengatakan bahwa jika ia diminta untuk membuat tim impian United sepanjang masa, satu-satunya nama yang pasti masuk hanyalah Denis Irwin. Namun berhubung penampilannya yang bersahaja dan realita bahwa fullback kiri bukanlah posisi yang banjir sorotan seperti pemain sayap atau striker, Irwin adalah nama yang kerap luput dari ingatan.
Betapa underrated-nya Irwin sampai-sampai dalam satu momen krusial yang menentukan sejarah Manchester United pun ia hanya dianggap sebagai karakter pelengkap.
Hari itu tanggal 25 November 1992, di ruangan Martin Edwards, chairman Manchester United kala itu, Ferguson sedang mengumpat dan menyesali mengapa mereka tidak membeli Eric Cantona sebelum ia bergabung ke Leeds. Tak lama, telepon di ruangan Edwards berdering. Di ujung telepon ada managing director Leeds, Bill Fotherby, yang menanyakan berapa harga yang dinginkan Manchester United untuk menjual Denis Irwin.
Edwards dan Ferguson mengatakan bahwa Irwin tidak dijual, namun karena membutuhkan striker, Edwards bertanya apakah penyerang Lee Chapman ingin dijual oleh Leeds. Fotherby mengatakan tidak.
Setengah berharap, setengah iseng, Edwards menanyakan apakah Cantona, yang sedang bertengkar dengan manajer Howard Wilkinson, mau dijual Leeds. Di luar dugaan Fotherby mengatakan ya. Selebihnya adalah sejarah.
Mendatangkan Cantona adalah titik penjuru dari kesuksesan United di era Premier League, tapi bagaimana Ferguson menolak untuk menjual Irwin menggambarkan betapa signifikannya peran bek kiri asal Republik Irlandia tersebut.
Konsistensi Irwin selama berada di United membuat Phil Neville, yang 11 tahun lebih muda, tak pernah bisa menggeser posisinya sebagai bek kiri United. Baru ketika usianya menginjak 36 tahun pada musim 2000/2001, posisi Irwin di starting line-up mulai terpinggirkan.
Tahun 2002 ia hengkang ke Wolverhampton Wanderers, klub yang ia idolakan waktu kecil. Semusim kemudian ia gantung sepatu.
Ferguson mengatakan bahwa, ditimbang dari segi harga dan prestasi, Irwin, yang ditransfer dari Oldham Athletic dengan harga 625.000 pounds (lebih murah dari Steve Bruce dan Peter Schmeichel) adalah pembelian terbaiknya sepanjang masa.
Dalam sebuah partai melawan Arsenal, Irwin melakukan sebuah kesalahan passing yang membuat bola diserobot pemain lawan dan menyebabkan gawang United dibobol oleh Thierry Henry. Dalam konferensi pers usai pertandingan, para wartawan berusaha untuk memancing reaksi keras dari Ferguson dengan menyoroti blunder dari Irwin tersebut.
Jawaban Ferguson, "Satu kesalahan dalam sepuluh tahun. Tak buruk-buruk amat."
***
βHampir semua pemain pernah mendapatkan hairdryer treatment dari Ferguson, mungkin hanya Cantona yang tidakβ.
Seperti yang sudah-sudah, Irwin selalu tersenyum ketika melontarkan kalimat tersebut. Saking seringnya Irwin tersenyum, saya penasaran seperti apa rupanya jika ia marah. Irwin adalah model pesepakbola klasik, spesies yang sekarang sudah punah sejak meteor modernisasi bernama Premier League menghantam jagat sepakbola Inggris. Tak ada sepatu berwarna neon, tak ada potongan rambut futuristik. Hanya ada sepakbola. Klasik dan simpel, seperti gaya bermain Irwin yang berpatroli di sisi kiri pertahanan untuk menutup pergerakan pemain sayap lawan sambil sesekali naik ke atas menyerang dan melakukan overlap.
Irwin mengatakan bahwa pemain sayap lawan yang paling sulit ia kawal selama karirnya bermain adalah John Barnes dari Liverpool. Ini mungkin akan membingungkan bagi anda yang mengingat bahwa Barnes adalah seorang sayap kiri dan tidak mungkin mereka mereka beririsan satu sama lain di lapangan. Tak banyak yang ingat bahwa waktu pertama kali Irwin datang ke United, posisinya adalah bek kanan. Baru setelah Ferguson membeli Paul Parker, Irwin bergeser ke kiri di mana ia mengukir reputasinya sebagai salah satu pemain dengan gelar juara liga terbanyak di Inggris.
Zaman sekarang, kita sudah terbiasa dengan konsep fullback modern yang senantiasa overlap ke depan. Namun ketika di era awal Irwin, fullback yang selalu naik menyerang selalu dicurigai tidak disiplin. Pada masa itu, istilah fullback benar-benar berarti harafiah. Irwin adalah salah satu generasi awal fullback menyerang di Inggris dan keberadaannya revolusioner. Namun tentu saja kita jarang mendengar nama Irwin disanjung-sanjung sebagai pionir. Tak ada istilah βIrwin Roleβ untuk menyebut fullback yang ofensif, tidak seperti eksistensi βMakelele Roleβ untuk menjelaskan peran seorang gelandang bertahan.
Saya rasa Irwin pun tak ambil pusing dengan hal-hal berbau kosmetik seperti itu. Kebersahajaannya bukanlah sesuatu yang artifisial. Beberapa tahun lalu Irwin diminta untuk memilih Dream Team versi dirinya. Tak seperti pemain lainnya, Irwin bahkan tak memasukkan namanya di situ dan memilih Stuart Pearce di posisi bek kiri.
Untuk memahami betapa digdayanya Irwin di era awal Premier League, kita hanya perlu menyimak pernyataan dari bekas bek Liverpool dan komentator BBC, Alan Hansen (Yes, Alan "You can't win anything with kids" Hansen): "Jika ada yang memilih tim terbaik pada dekade 90-an, posisi fullback sudah mutlak terisi. Bek kanan: Denis Irwin. Bek kiri: Denis Irwin."
====
* Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola, presenter BeIN Sports Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan











































