Tim yang meraih juara sudah digaransi namanya akan abadi terpatri dalam lembaran sejarah. Namun karena dalam setiap kompetisi hanya ada satu pemenang, tak peduli betapa mengesankannya mereka di masa lampau, besar kemungkinan tim yang tidak mengangkat piala akan berada di sudut ingatan paling terpencil seiring berjalannya waktu. Mereka yang Nyaris adalah sebuah serial tulisan soal tim-tim yang layak untuk dkenang meski kejayaan luput dalam menjangkau mereka.
Sepertinya Tuhan baru saja selesai membaca Shakespeare ketika menciptakan Hector Cuper. Bagaimana tidak, beberapa pelatih cukup beruntung untuk berada hanya sejengkal dari keabadian meski kemudian mereka tak cukup beruntung untuk menggapainya. Cuper tidak hanya sekali berada dalam jarak yang sangat dekat dengan kegemilangan, tapi dua kali.
Pertama, ia menggegerkan jagat sepakbola Eropa ketika membawa Valencia masuk ke final Liga Champions tahun 2000 setelah mengalahkan Barcelona dengan skor agregat 5-3 di semifinal. Sebagai tim kejutan yang mengedepankan kekokohan lini belakang, Valencia-nya Cuper sama sekali bukan tim yang membosankan untuk ditonton. Kedinamisan lini tengah dengan para penggawa seperti Gaizka Mendieta, Gerard Lopez, dan sayap Fran Farinos serta Kily Gonzales membuat tim berlambang kelelewar ini menjadi tim yang menjadi buah bibir. Belum lagi di lini depan mereka punya si kutu Claudio Lopez dan bomber Romania, Adrian Ilie.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Langkah Valencia di Liga Champions terayun dengan meyakinkan. Di perempatfinal leg pertama, mereka menghancurkan Lazio yang kala itu adalah juara bertahan Serie A Italia dengan skor 5-2, di mana Gerard Lopez mencetak hat-trick. Selisih gol yang terlalu besar membuat kemenangan 1-0 Lazio di leg kedua tak berarti apa-apa.
Metode yang serupa mereka terapkan di semifinal melawan Barcelona ketika kemenangan 4-1 di Mestalla membuat kekalahan 2-1 di Camp Nou tak cukup untuk menahan laju Los Ches ke final.
Situasi La Liga pada dekade 90-an mirip dengan apa yang terjadi sekarang, di mana duopoli Real Madrid dan Barcelona merajalela. Namun angin segar berhembus musim itu karena Deportivo La Coruna di bawah manajer legendaris Javier Irureta menyeruak naik ke atas menjadi penantang gelar liga. Di akhir musim kelak Super Depor menjadi kampiun La Liga dan ketika Valencia masuk ke final Liga Champions di Stade de France, optimisme membubung tinggi bahwa era baru kekuatan sepakbola Spanyol sedang merekah di ufuk timur.
Buruknya performa Real Madrid di kompetisi domestik (mereka finis di peringkat 5 di La Liga musim itu) membuat mereka tak serta merta menjadi favorit dalam partai final. Apalagi pada 2 pertemuan di liga musim itu, tak sekalipun mereka bisa mengalahkan Valencia (kalah di Santiago Bernabeu dan imbang di Mestalla). Para pandit memprediksi bahwa final akan berjalan ketat dan Valencia punya peluang besar untuk sekali lagi mengalahkan raksasa.
Sayangnya, Valencia yang muncul di final bukanlah Valencia yang mengalahkan Barcelona dan Lazio di babak sebelumnya. Valencia kembali mengandalkan kokohnya tembok pertahanan mereka dan laga berjalan seimbang hingga ketika sundulan Fernando Morientes membawa Madrid unggul jelang akhir babak pertama.
Dalam kondisi tertinggal, Cuper menyuruh timnya untuk keluar menyerang namun mereka malah kebobolan lagi melalui gol voli spektakuler Steve McManaman di menit 67. Ketika Raul Gonzalez mencetak gol ketiga 8 ment kemudian, kondisi Valencia sudah tidak tertolong.
Seperti lazimnya tim kejutan di akhir musim, Cuper tak berdaya melihat para pemain kunci Valencia dijarah klub yang lebih besar. Gerard Lopez dicaplok Barcelona, Farinos hijrah ke Inter Milan, dan Claudio Lopez hengkang ke Lazio. Sinar ketiga pemain ini di klub barunya tak pernah segemilang saat mereka di Valencia.
Namun hasil penjualan trio tersebut dan daya tarik mereka sebagai tim papan atas membuat Valencia bisa mendapatkan pengganti yang bahkan lebih bagus dalam diri Pablo Aimar, John Carew, Ruben Baraja, dan Roberto Ayala.
Karena performa memble di La Liga, ketika di tahun 2001 Cuper hanya bisa membawa timnya finis di peringkat 5, dunia sepakbola Eropa kembali terbelalak tatkala setahun sesudah dibantai Madrid, Valencia kembali ke final Liga Champions untuk kedua kali berturut-turut.
Kali ini lawan mereka adalah Bayern Muenchen yang masih segar dalam kekecewaan mereka kalah di injury time dalam final dua musim sebelumnya dari Manchester United. Perjalanan Valencia menuju final di San Siro pun meyakinkan setelah menyingkirkan dua tim Inggris, Arsenal dan Leeds United di fase knock-out.
Sepertinya Dewi Fortuna menaungi Cuper ketika pada menit ketiga Valencia mendapatkan penalti setelah Patrik Andersson mengenai bola dengan tangannya. Gaizka Mendieta mengonversi tendangan 12 pas dengan sempurna. Angin semakin berhembus kencang seturut Valencia ketika beberapa menit kemudian Bayern Muenchen mendapatkan penalti, namun Mehmet Scholl tidak bisa mengarahkan bola melewati kaki Santiago Canizares.
Tapi ketika Bayern mendapatkan penalti lagi di awal babak kedua, kali ini Stefan Effenberg melesakkannya tanpa cela. Pertandingan berakhir imbang dalam 120 menit dan laga ditentukan dalam adu penalti.
Entah Dewi Fortuna punya dendam apa terhadap Cuper karena lagi-lagi ia memberikan harapan palsu. Penendang pertama Bayern, Paulo Sergio gagal dan ketika asa Cuper membubung tinggi, Zlatko Zahovic sebagai penendang ketiga Valencia malah ditepis penaltinya oleh Oliver Kahn.
PHP dari Dewi Fortuna mencapai puncaknya ketika penendang kelima Bayern, Patrik Andersson diselamatkan oleh Canizares. Valencia hanya butuh penendang terakhir mereka, Amadeo Carboni untuk mencetak gol dan mereka akan jadi raja Eropa. Ketika Carboni berjalan mendekati titik penalti untuk mengatur posisi bola, rasanya Cuper sudah membayangkan foto dirinya di halaman depan semua surat kabar dunia esok harinya.

Tapi malang bagi Cuper, Kahn kembali beraksi dan menggagalkan penalti Carboni. Ketika Thomas Linke sukses mengecoh Canizares sebagai penendang ketujuh, dan Mauricio Pellegrino luput melakukan hal yang sama terhadap Kahn, maka untuk kedua kalinya Cuper dikhianati oleh takdir.
Kekalahan dari Bayern ini membuat beberapa pilar Valencia seperti Mendieta angkat kaki dari Mestalla ke Lazio. Cuper sendiri juga ikut terbang ke Italia setelah menerima tawaran untuk melatih Inter Milan.
Kemalangan Valencia yang gagal di dua final Liga Champions berturut-turut ini tak terlalu memukul reputasi mereka karena pengganti Cuper, seorang pelatih yang relatif tak dikenal kala itu bernama Rafa Benitez, membawa El Che juara La Liga 2 kali dalam 3 musim.
Namun reputasi Cuper-lah yang terkikis habis karena kegagalan beruntun tersebut, apalagi di Inter Milan ia juga gagal meraih juara liga ketika di pekan terakhir kalah dari Lazio yang membuat scudetto jatuh ke Juventus. Karir Cuper tak pernah kembali ke level yang sama ketika ia di Valencia. Tengoklah CV-nya dalam beberapa tahun terakhir dan anda akan melihat tim-tim seperti Aris Thessaloniki, Orduspor, Al-Wasl, dan timnas Georgia.

Sebegitu mudah bandul nasib berayun. Jika Cuper memenangkan kedua final tersebut bersama Valencia, namanya jelas akan masuk sebagai salah satu pelatih terbaik sepanjang masa dan Valencia 2000-2001 akan dikategorikan di kolom yang sama dengan Barcelona-nya Pep Guardiola. Seandainya ia memenangkan salah satu dari dua final tersebut saja, kariernya dijamin akan tetap berada di tingkat elite Eropa, tak peduli jika ia gagal total di klub-klub berikutnya.
Valencia 2000 - 2001 adalah personifikasi kata โnyarisโ dan Hector Cuper mungkin satu-satunya pelatih sepakbola yang pernah dua kali bertunangan dengan Dewi Fortuna untuk kemudian ditinggal kawin demi pria lain.
====
* Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola, presenter BeIN Sports Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan
** Foto-foto: Getty Images
(a2s/din)