Mineirazo: Petaka yang Tersisa Seusai Pesta

Mineirazo: Petaka yang Tersisa Seusai Pesta

- Sepakbola
Selasa, 15 Jul 2014 11:33 WIB
FIFA via Getty Images/Alex Livesey
Jakarta -

"Bubar! Pulang kalian! Pesta telah usai!"

Kata-kata itulah yang mungkin jadi teriakan sunyi rakyat Brasil atas kejengahan pada Piala Dunia yang digelar di negeri mereka.

Sebagaimana digambarkan oleh Wright Thompson melalui artikelnya yang berjudul "Scenes of Defeat on The Streets of Brazil", sesaat setelah Brasil kalah dari Jerman di semifinal Piala Dunia 2014, kesunyian dan duka memang turun melingkupi udara salah satu favela (perkampungan kumuh) di Rio de Janeiro. Padahal, sehari-harinya favela itu dipenuhi keberisikan dan suara nyaring, entah itu siang dan malam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di kala tersadar bahwa pertandingan yang baru saja mereka saksikan adalah laga terburuk dalam sejarah sepakbola Brasil, jalanan itu menjadi senyap. Tidak ada yang berteriak. Hanya ada suara yang datang dari televisi-televisi yang masih menyala, atau suara air hujan yang menetes ke jalanan.

Orang-orang di perkampungan itu tidak tidur atau meratap. Mereka berkumpul di depan pintu-pintu bar tempat mereka baru saja menyaksikan Selecao bermain. Bersama-sama, tapi sendirian. Masing-masing menjalani neraka pribadinya dan sibuk menerka-nerka apa yang baru saja terjadi.

Jurnalis lain yang juga sedang berada di Brasil menggambarkan suasana di Pantai Copacabana, tempat fan festival favorit para turis yang pergi ke Tanah Samba untuk melihat Piala Dunia. Sebagaimana jalanan favela, pantai itu juga sepi. Tak ada tarian, atau musik. Hanya ada sekumpulan polisi yang berjaga-jaga mengantisipasi hal terburuk yang mungkin terjadi.

Pesta memang telah usai.

Kekalahan yang tercatat sebagai kekalahan terbesar di semifinal sepanjang sejarah Piala Dunia ini jelas mencoreng superioritas Brasil sebagai sebuah negeri adidaya sepakbola.

Maka, tak heran jika kekalahan di Stadion Mineirao itu begitu membuat pilu pendukung Brasil. Membikin siapa saja yang menyaksikan pembantaian itu tersentuh hatinya. Jangankan yang hanya duduk menonton di televisi, Mesut Oezil sang pemain Jerman yang ikut menundukkan Tim Kenari pun merasa iba hatinya ketika melihat wajah-wajah Brasil yang semula ceria berubah menjadi muram. Penuh kedukaan dan isak tangis.

"Kalian mempunyai negeri yang indah, orang-orang yang mengagumkan, dan juga pesepakbola yang hebat. Kekalahan ini tak akan mengubah kebanggaan kalian," tulis Oezil dalam akun jejaring sosial Twitter.

Namun keibaan hati Oezil itu, toh, tak ada gunanya juga. Brasil tetap saja kalah dan gagal tampil di partai final. Selecao terusir dari Maracana dan harus mengungsi ke Brasilia. Pesta yang sudah disusun sedemikian rupa harus berakhir sebelum dimulai. Bahkan mereka harus rela menerima kenyataan bahwa sang musuh bebuyutan, Argentina, akan tampil di Maracana melawan Jerman di partai puncak.



Tentu mereka tak mau stadion yang dianggap suci itu menjadi venue pesta sang rival abadi. "Argentina tak boleh menang di sini!" kata Liliana Viana, seorang pendukung Brasil yang berusia 44 tahun, pada BBC.

Ketidakrelaan itulah yang tampaknya akan membuat publik Brasil melakukan hal sama dengan tifosi Italia pada Piala Dunia 1990. Saat itu, tifosi Gli Azzurri, yang kesal lantaran dikalahkan Jerman Barat lewat drama adu penalti di semi final, lebih memilih mendukung Argentina di partai final.

"Saya mendukung siapa saja, kecuali Argentina," seru salah seorang rakyat Brasil lainnya, Luiz Amorim. "Jika Argentina menang, saya tak akan menonton pertandingan bola lagi!" seru Gabriele Tedde, menimpali pernyataan Amorim.

Keduanya tentu berharap sejarah tak akan berulang kembali di partai final nanti. Pasalnya, pada 1990, justru jagoan tuan rumah yang menelan kekalahan dan Jerman Barat mengangkat piala.

Jika guratan sejarah kembali menorehkan duka, akan terulang pula Tragedi Maracana 1950 (baca: “Sebuah Tragedi di Tanah Brasil”). Saat Maracana diubah menjadi tempat pesta rival abadi Brasil. Bedanya, pada tahun 1950, Uruguay yang berpesta.

Namun, untuk yang satu ini, Brasil masih mendapatkan sedikit hiburan. Argentina kalah. Horor melihat rival mereka berpesta di rumah suci mereka tidak terlaksana. Jerman-lah yang keluar sebagai juara.

Kesemuan Piala Dunia

Selain banyak jalan menuju Roma, sebenarnya, ada banyak jalan juga menuju Maracana. Namun, jalan yang ditempuh Brasil adalah jalan yang penuh dengan banyak darah dan juga isak tangis.

Untuk sampai di Maracana, Brasil tega memperkosa hak-hak rakyatnya. Menghalalkan segala cara, termasuk di antaranya adalah "membersihkan" jalanan dari anak-anak jalanan dan juga para Pekerja Seks Komersil. Semata hanya untuk membangun citra. Agar dunia tahu, bahwasanya Brasil adalah negeri yang titi tentrem kerta raharja. Negeri yang aman dan nyaman untuk didatangi wisatawan yang hendak menonton langsung Piala Dunia. Tidak lebih, tidak kurang.

Kekalahan 1-7 itu memang menyakitkan. Namun, kekalahan itu bisa saja menyadarkan Brasil. Bahwa mereka semua, yang pro maupun yang kontra dengan penyelenggaraan Piala Dunia, harus kembali bersatu padu untuk turun ke jalan. Melanjutkan perjuangan menuntut penghidupan layak, menuntut transparasi anggaran yang selama ini dihambur-hamburkan pemerintah untuk menyelenggarakan Piala Dunia. Menuntut pendidikan yang murah dan juga perbaikan kesehatan.

Setumpuk masalah yang tampaknya akan menjadi bias jika Brasil keluar sebagai juara Piala Dunia.

Karena memang Piala Dunia tak memberikan dampak apa-apa. Biaya 11 miliar dolar AS yang digelontorkan untuk membangun stadion dan juga infrastruktur pendukung Piala Dunia, ternyata hanya akan memberikan efek jangka pendek bagi perekonomian Brasil.



Pada kenyataanya, pertumbuhan PDB Brasil pasca Piala Dunia hanya akan menyentuh angka 0,004% saja. Hal ini tentu tak sebanding dengan besarnya dorongan ekonomi yang selalu digembar-gemborkan pemerintah selama 7 tahun ke belakang. Sebelumnya, negeri Samba diprediksi akan mengalami peningkatan PDB sebesar 10% pasca Piala Dunia.

Dengan demikian, pemerintah Brasil juga gagal menekan angka kemiskinan dan juga angka pengangguran. Seusai pesta ini, angka kemiskinan Brasil akan tetap stabil berada di angka 16%. Begitu juga dengan angka pengangguran, akan tetap stabil di angka 4,9%. Negara tetap harus memikirkan bagaimana caranya memelihara 32 juta orang miskin dan 9,8 juta pengangguran.

Hal inilah yang membuat beberapa ekonom memperkirakan Brasil akan kembali menaikkan suku bunga, dari 11% menjadi 12,5% seusai Piala Dunia nanti. Agak miris, memang. Tapi apa boleh buat. Menaikkan suku bunga bank sentral memang merupakan salah satu stimulus untuk menekan laju inflasi yang diperkirakan akan semakin tinggi.

Itu baru menyangkut ekonomi. Belum dengan aspek politik. Kegagalan Brasil merengkuh trofi Piala Dunia membuat elektabiltas Dilma Rousseff, presiden Brasil saat ini yang akan kembali mencalonkan diri pada pemilu Oktober mendatang, mengalami penurunan drastis. Sebelum Brasil kalah di Mineira, presiden yang diusung partai buruh ini diperkirakan akan mendulang 60-70% suara pada pemilu mendatang. Namun, setelah kekalahan Brasil, angka ini menurun jadi 40% saja.

Turunnya elektabiltas presiden incumbent ini tak terlepas dari sentimen negatif publik yang menilai Rouseff telah gagal menjaga identitas nasional Brasil.

Rousseff sendiri tentu tak bertanggung jawab secara langsung atas kekalahan 1-7 dari Jerman tersebut. Tapi, tanpa adanya prestasi di atas lapangan yang bisa diperbincangkan dan dibanggakan, diskusi akan kembali berputar pada isu bagaimana Piala Dunia tak memberikan apa-apa bagi masyarakat Brasil.

Kalah dan (Hanya) Kalah

Melihat demikian tingginya biaya politik, biaya sosial, dan tentu biaya sebenarnya dari Piala Dunia Brasil ini, entah pihak mana yang bisa mengklaim kemenangan atas diselenggarakannya turnamen akbar itu di Tanah Samba.

Kursi Rousseff dan jajaran kabinetnya jelas sedang terancam, karena pihak oposisi tak akan membiarkan isu empuk ini lewat begitu saja. Sang pelatih tim nasional, 'Big Phil' Scolari, sudah mengundurkan diri dengan hati yang remuk redam. Demikian pula dengan para pemain Selecao yang seumur hidupnya akan menanggung aib kekalahan terburuk Brasil sepanjang masa.

Apalagi untuk rakyat Brasil. Jelas tak ada kemenangan yang menanti mereka. Beberapa hari dari sekarang, para turis akan pulang, dan penghasilan dadakan mereka –dengan menjajakan barang dagangan—selama Piala Dunia ini akan berangsur menghilang.

Yang tersisa hanyalah stadion-stadion mewah dan tumpukan tagihan biaya sekolah dan rumah sakit yang belum terbayarkan, dan entah kapan terbayarkan. Kesenangan selama satu bulan berbaur dan bersenda gurau dengan para wisatawan dari seluruh penjuru dunia akan cepat berganti dengan kepusingan mencari pekerjaan esok hari.

Maka, jika Maracanazo 1950 dianggap sebagai petaka terbesar dalam sepakbola Brasil, Mineirazo bisa kita kategorikan sebagai petaka di dalam dan di luar lapangan sepakbola negeri Samba.

Namun, petaka itulah yang bisa menyadarkan masyarakat Brasil. Bahwa mereka semua, sebenarnya, masih punya banyak persoalan menyangkut hajat hidup yang harus sesegera mungkin diselesaikan. Persoalan yang memang tidak bisa diselesaikan dengan hanya memainkan dan menonton sepakbola.



====

*ditulis oleh @prasetypo dari @panditfootball




(roz/mfi)

Hide Ads