Seberapa Besar Brexit Akan Memengaruhi Timnas Inggris?

Seberapa Besar Brexit Akan Memengaruhi Timnas Inggris?

Doni Wahyudi - Sepakbola
Jumat, 24 Jun 2016 15:26 WIB
Foto: REUTERS/Max Rossi
Jakarta - Punya kompetisi liga yang diklaim sebagai terbaik di dunia, Inggris lebih sering terpuruk di level tim nasional. Benarkah Brexit bisa membuat The Three Lions bertaji?

Melalui referendum yang dilakukan Kamis (23/6/2016) kemarin, rakyat Inggris sudah membuat keputusan untuk memilih keluar dari Uni Eropa. Keputusan tersebut dinilai mengejutkan dan diyakini akan memunculkan banyak pengaruh di berbagai aspek sosial dan ekonomi.

Hal lain yang bakal kena pengaruh sangat besar adalah pada bidang olahraga, utamanya sepakbola. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan secara langsung memberi pengaruh pada Premier League. Utamanya pada izin kerja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

[Baca juga: Menakar Efek Brexit untuk Premier League dan Sepakbola Inggris]

Uni Eropa memberi kebebasan pada tenaga kerjanya untuk mencari pekerjaan di seluruh wilayah mereka (28 negara anggota), itu artinya seseorang bisa keluar-masuk di antaranegara tanpa work permit - termasuk pemain sepakbola. Premier League adalah kompetisi domestik yang memanfaatkan sebesar-besarnya dan kemudian mendapatkan untung setinggi-tingginya aturan tersebut.

Lihat saja nilai pemasukan US$ 4,8 miliar yang didapat Premier League musim 2014/2015. Angka tersebut dua kali lebih besar dari jumlah pemasukan dua pesaingnya yang digabungkan: Bundesliga mendapatkan US$ 2,6 miliar dan La Liga mendapatkan US$ 2,1 miliar.

Premier League terus berjaya sebagai kompetisi domestik paling mentereng di Eropa. Sayangnya itu tak pernah sejalan seiring dengan prestasi timnasnya. Sejak terakhir masuk semifinal Piala Eropa (1996), Inggris dua kali tersingkir di fase grup turnamen mayor, sekali gagal lolos, dan raihan terbaiknya cuma perempatfinal.

Ada yang menganggap jeleknya Timnas Inggris adalah efek buruk dari gemerlapnya Premier League. Pemain-pemain muda Inggris tidak pernah punya kesempatan yang cukup untuk unjuk kemampuan. Tim-tim Premier League, dan bahkan Championship, lebih memilih pemain luar Inggris karena sudah punya skill lebih baik - meski harus dibayar sedikit lebih mahal.

Pemerintah Inggris tidak diam saja. Home Office (Kementrian yang menangani persoalan imigrasi, keamanan, dan hukum) Inggris dan FA pada Mei 2016 mengeluarkan aturan baru soal izin kerja bagi pemain Non-Uni Eropa. Presiden FA, Greg Dyke, menyebut jika sistem tersebut diterapkan lima tahun lalu maka saat ini jumlah pemain Non-Uni Eropa di Liga Inggris akan berkurang sebanyak 42 orang.

Jika kebijakan yang sama kini diterapkan ke pemain asal Uni Eropa, itu artinya ada lebih banyak posisi kosong untuk diisi pemain-pemain muda Inggris.

Yang kemudian jadi pertanyaan adalah, apakah keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan berarti makin terbukanya peluang pemain muda Inggris main di Premier League yang pada akhirnya akan membantu meningkatkan performa The Three Lions?

Tak ada jaminan untuk itu. Dengan uang sangat besar yang didapat dari kesepakatan hak siar baru mulai musim depan, klub-klub Premier League bisa saja tetap memilih mendatangkan pemain non-Inggris. Pemberian kesempatan pada pemain muda Inggris untuk tampil di klub sama sekali tak berkait dengan Brexit.

Kalau saat ini pemain Inggris jadi 'nomor dua' di Premier League, itu merupakan pertanda kalau banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan FA terkait pembinaan pemain.

Berdasarkan data UEFA Coaching Statistic 2013, jumlah pelatih di Inggris saat ini masih minim jika dibanding negara yang timnasnya meraih sukses. Spanyol memiliki pelatih tiga kali lebih banyak dibanding Inggris, sementara Jerman punya pelatih dua kali lebih banyak.

Masih berdasarkan data yang sama, Jerman dan Spanyol juga memiliki sistem pengembangan sepakbola belia yang lebih baik. Seluruh komponen tersebut berperan besar mengantar Spanyol dan Jerman menguasai Piala Eropa dan Piala Dunia dalam delapan tahun terakhir.

Pihak-pihak yang menentang Brexit menyebut langkah Inggris keluar dari Uni Eropa sebagai upaya membangun tembok tinggi demi melindungi diri sendiri. Padahal Jerman, Spanyol, dan beberapa negara lain justru meraih sukses dengan keterbukaan. Betapa Jerman sangat tidak takut pada kaum (pekerja) imigran, dan justru menjadikan mereka bagian dari timnasnya, menunjukkan hal itu.


(din/mrp)

Hide Ads