Jakarta -
3 April menjadi hari yang kelam dalam sejarah Persebaya Surabaya. Gelandang andalan mereka, Eri Irianto, meninggal di tengah laga Bajul Ijo pada tanggal itu.
Eri tengah menikmati masa emasnya sebagai pemain profesional. Usianya baru 26 tahun dan menjadi andalan untuk tim besar sekelas Persebaya.
Jumat (3/4/2020) ini, menandakan peristiwa itu telah berlalu 20 tahun atau dua dekade. Eri menjadi korban memilukan dari benturan antar-pemain yang kerap terjadi dalam pertandingan sepakbola.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria asal Sidoarjo tampil membela Persebaya yang tampil melawan PSIM Yogyakarta di Liga Indonesia 1999/2000 atau Ligina VI. Laga terselenggara di Stadion Tambaksari, Surabaya, sore hari.
Pertandingan nampak berjalan sebagaimana biasanya. Sampai akhirnya terjadi benturan antara Eri dengan pemain PSIM asal Gabon, Samson Noujine Kinga.
Eri memberikan isyarat untuk ditarik keluar dan permintaan itu dikabulkan dengan masuknya Nova Arianto. Eri pun dilarikan ke RSUD DR Soetomo.
Setelah menjalani berbagai perawatan, Eri akhirnya mengembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit. Tak ada yang mengira benturan itu bakal berakibat fatal.
"Berbenturan. Ya saya main di pertandingan yang sama. Saya dan teman-teman yang lain berpikir tak ada masalah," kata rekan Eri," Uston Nawawi kepada detikSport.
"Karena semua kan mengiranya itu benturan biasa, begitu kan. Itu kejadiannya di babak pertama, memang saat itu cuacanya sedang terik, panas," ujarnya menambahkan.
Uston mengingat-ingat lagi kejadian itu. Disebutnya situasinya hampir mirip dengan insiden yang menimpa Choirul Huda yang tewas saat memperkuat Persela Lamongan pada Liga 1 2017.
Keduanya sama-sama meninggal setelah dilarikan ke rumah sakit. Kematian Eri dan Choirul sama-sama baru diketahui setelah pertandingan berakhir.
[Gambas:Instagram]
"Kami berpikir itu pelanggaran biasa, tak menyangka sampai fatal seperti itu. Setelah pertandingan, kami baru tahu almarhum meninggal, iya seperti Choirul Huda," tutur Uston.
Nova Arianto juga ikut membagikan pengalaman buruk itu. Berbeda dengan Uston, Nova baru mengetahui kematian rekannya itu setelah tiba di Semarang keesokan harinya. Ya, setelah pertandingan Nova memutuskan pulang sejenak ke kampung halamannya.
"Saat itu normal seperti pertandingan biasa. Saya menggantikan almarhum karena almarhum mengeluh sakit, jadi dia digantikan saya saat itu," tutur pria yang kini menjadi staf pelatih Timnas Indonesia itu.
"Dan setelah pertandingan pun saya menjalaninya secara normal saja. Saya bersama Agus Murod kembali ke Semarang (seusai laga)," ucapnya.
"Dan baru mendapat kabar pagi setelah kami sampai di Semarang. Kami semua nggak percaya saat itu," kenangnya.
Kematian Eri menjadi kabar duka yang mengejutkan Persebaya dan insan sepakbola nasional. Maklum, namanya memang kerap menghiasi Timnas Indonesia era 90-an akhir.
Semusim sebelumnya, Eri juga jadi bagian penting Persebaya yang melaju ke final Ligina 1998/99. Ia turut bermain melawan PSIS Semarang di Stadion Klabat, Manado, 9 April 1999.
Eri gagal juara bersama Persebaya. PSIS yang menjadi pemenangnya berkat gol semata wayang dari Tugiyo.
Itu bukan pengalaman pertama Eri bermain di final Ligina. Bersama Petrokimia Putra, Eri juga bermain di final 1994/95.
Semua itu adalah seolah menjadi bukti bahwa Eri bukan pemain biasa. Sosoknya bisa membuat suatu klub tampil kompetitif.
Persebaya pun melakukan gestur penghormatan mendalam kepadanya. Nomor 19 miliknya dipensiunkan oleh Bajul Ijo. Mes Persebaya juga diberi nama Wisma Eri Irianto.