Dari sisi kompetisi, sebagai lahan penyemaian benih-benih sepakbola, hiruk pikuk dan dinamika kompetisi lokal sejak dileburnya perserikatan dan galatama ke dalam Liga Indonesia (1994-2007), kemudian berubah menjadi Indonesia Super League/ISL (2008-2011/2012-2017), Liga Primer Indonesia/LPI (2011), dan Liga 1 (2017-2019), kualitas kompetisi kita belum mampu mengangkat level para pemain untuk membentuk timnas senior yang tangguh. Ini tentunya menjadi sebuah anomali di mana kita memiliki klub sepakbola dan penduduk yang relatif banyak, tetapi belum mampu mengelola industri dan kompetisi sepak bola dengan maksimal.
Wajah kompetisi sepakbola perlu dipoles ulang untuk menciptakan iklim kompetisi yang efektif dan efisien. Perlu dikaji ulang format kompetisi tertinggi sepakbola nasional, terutama dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan kemampuan pembiayaan klub. Selain itu, masih banyak hal yang dapat dibenahi di ranah kompetisi sepakbola nasional. Di sektor perwasitan misalnya, kualitas wasit-wasit nasional masih perlu di-upgrade.
Di berbagai kesempatan, kualitas kepemimpinan wasit sering kali memicu kerusuhan-kerusuhan di dalam dan di luar lapangan. Di sini tergambar bahwa pola rekrutmen dan pembinaan/pengembangan wasit dan peringkat pertandingan perlu diperhatikan. Rekrutmen wasit misalnya, sejauh ini sekali lagi akses rekrutmen wasit masih belum terbuka. Contohnya saya sendiri pernah terbersit keinginan untuk mendaftar menjadi wasit sepak bola, namun karena minimnya informasi dan akses rekrutmen, niat tersebut urung dilanjutkan. Pola rekrutmen dan pembinaan/pengembangan wasit ini merupakan salah satu faktor kunci di balik kualitas kompetisi sepak bola.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Stakeholder lainnya yang tidak boleh dipinggirkan yaitu eksistensi para suporter. Kita selalu menyaksikan stadion-stadion selalu penuh di kala timnas atau klub-klub kesayangan masing-masing berlaga. Kefanatikan suporter kita mungkin yang terbaik di dunia, namun kefanatikan ini selalu dikecewakan dengan capaian timnas yang terus memble. Kelompok suporter inilah yang sebenarnya pengorbanannya paling besar, karena selalu mengeluarkan uang untuk mendukung tim kebanggaan, baik berupa tiket masuk ataupun biaya perjalanan.
Ironisnya, kelompok suporter memiliki kesempatan tingkat partisipasi yang minim dalam pengelolaan sepakbola nasional. Namun mereka tetap berusaha menjadi bandul penyeimbang dalam proses perjalanan kemajuan sepakbola Tanah Air. Perkembangan suporter sepakbola sendiri patut diapresiasi, meskipun masih terdapat riak-riak kecil di kasta kompetisi yang lebih rendah (Liga 1 dan Liga 3). Bagaimanapun kelompok-kelompok suporter telah berusaha berkembang menjadi suporter-suporter yang elegan untuk melengkapi puzzle kemeriahan di setiap pertandingan.
Membenahi sepakbola nasional memang tidak mudah, tetapi bukan mustahil. Kalau Jepang yang proses reformasi sepak bolanya berbarengan dengan kita serta Thailand dan Vietnam yang datang belakangan saja bisa mengatur sepakbolanya menuju prestasi terbaik, niscaya kita juga bisa. Kuncinya adalah komitmen dan kesungguhan dari seluruh stakeholder sepakbola dalam mengabdikan perannya sesuai dengan porsinya masing-masing semata-mata demi kemajuan sepakbola nasional tanpa embel-embel kepentingan pribadi /golongan tertentu.
Bravo Sepakbola Nasional! Jangan pernah lelah mendukung Timnas Garuda!
(cas/mrp)