Banyaknya klub sepakbola yang muncul di Surabaya ini memungkinkan mereka membuat sebuah federasi sepakbola yang menaungi semua aktivitas mereka. Pada Februari 1897, federasi sepakbola di Surabaya pun berdiri. Organisasi ini menaungi keberadaan klub-klub yang baru muncul pada saat itu. Tidak diketahui nama federasi yang ddiirikan pada 1897 itu. Barulah pada 1902 muncul federasi baru yang dinamai OJVB (Oost Java Voetbal Bond/Federasi Sepakbola Jawa Timur).
Setelah dibentuknya OJVB inilah pertandingan-pertandingan antarklub bisa lebih rutin digelar. Umumnya mereka menggelar pertandingan setiap akhir pekan. Untuk merayakan terbentuknya OJVB inilah digelar kompetisi kecil pada 1902, tak lama setelah pendirian OJVB itu. Final kompetisi ini mempertemukan ECA melawan THOR [klub ECA ini notabene adalah pecahan dari klub THOR]. THOR memenangkan pertandingan tersebut dengan skor 1-0.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua tahun setelah OJVB menggelar kompetisi, hal serupa terjadi di Batavia 2 tahun kemudian. Hanya saja, karena di Batavia belum muncul sebuah federasi, maka inisiatif menggelar kompetisi malah muncul dari surat kabar Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie. Ide digelarnya turnamen ini datang dari sang pemimpin redaksi [hoofd-redactuer], Karel Wysbrand.
Turnamen yang memperebutkan hadiah medali emas dan perak. Empat klub yang sudah disebutkan di atas [BVC, Hercules, OLVEO, VIOS] ikut dalam turnamen ini. Satu tim tambahan yang ikut kompetisi adalah siswa-siswa STOVIA [Sekolah Dokter Jawa]. VIOS keluar sebagai juara dengan catatan meyakinkan: 6 kali menang dan hanya sekali menderita kekalahan (dari OLVEO dengan skor tipis 2-3).
Ada beberapa catatan menarik dari turnamen di Batavia ini. Pertama, keikutsertaan siswa-siswa STOVIA dalam turnamen ini menunjukkan dengan jelas bagaimana kaum bumiputera sudah bermain bola di awal abad-20. Ini lagi-lagi menegaskan peranan anak-anak sekolahan dalam perkembangan sepakbola di Hindia Belanda [lihat artikel Genealogi Sepakbola di Indonesia bagian 3]. Jika di lapangan pergerakan politik siswa-siswa STOVIA ini yang menginisiasi Boedi Oetomo, di lapangan bola pun mereka bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling awal berkiprah.
Sayang, kiprah siswa-siswa STOVIA ini masih buruk. Sepanjang turnamen mereka gagal meraih poin dengan agregat gol yang sangat timpang: kemasukan 32 gol dan hanya bisa mencetak 1 gol saat melawan BVC.
Kedua, turnamen ini berlangsung bukannya tanpa cacat. Protes datang dari BVC yang menuduh VIOS telah menggunakan bola yang lebih ringan dari seharusnya. Saat itu VIOS berhasil mengalahkan BVS dengan skor telak 5-1 pada laga yang digelar di di Generaal Staal Laan, Jatinagera, pada 24 Juli 1904. Skor itu sempat dihapuskan sementara. Akan tetapi, di akhir kompetisi, skor itu dinyatakan sah setelah merujuk aturan pertandingan yang dibuat oleh federasi sepakbola Belanda yaitu KNVB [Koninklijke Nederlandsche Voetbal Bond].
Kedua, turnamen ini berlangsung cukup lama yaitu sekitar 2,5 bulan [dimulai pada 17 Juli 1904 dan berakhir pada 29 September 1904]. Lamanya waktu turnamen ini disebabkan karena menggunakan sistem kompetisi penuh, di mana tiap klub bertemu dua kali secara home and away. Inilah kiranya yang membuat Berretty, penulis buku 40 Jaar Voetbal in Nederlandsch-Indie 1894-1934, berkeyakinan kalau turnamen inilah yang bisa disebut sebagai kompetisi sepakbola pertama di Hindia Belanda.
Memang benar bahwa dalam waktu yang persis bersamaan, di Surabaya juga sudah digelar kompetisi yang menggunakan sistem kompetisi penuh home and away. Kompetisi di Surabaya juga diikuti oleh 5 klub. Dimulai pada 17 Juli 1914 [persis berbarengan dengan kompetisi di Batavia], kompetisi di Surabaya ini tersendat-sendat sedemikian rupa sehingga baru selesai pada 5 Maret 1905. Lagi pula, 2 dari 5 klub yang terlibat sebenarnya berasal dari klub yang sama. THOR dan ECA sebagai klub terkuat di Surabaya masing-masing mengirim 2 tim sekaligus. Belum lagi jika mengingat fakta kalau ECA sendiri adalah pecahan dari THOR.
Kendati demikian, turnamen di Surabaya ini punya kelebihannya tersendiri. Kendati hanya diikuti oleh 3 klub [ECA dan THOR mengirim 2 tim], antusiasme masyarakat Surabaya memang sudah terlihat menonjol. Pertandingan antara tim utama THOR dan ECA, 2 klub terkuat di Surabaya saat itu, pada 30 Oktober 1904, dilaporkan dihadiri oleh sekitar 4 ribu penonton.
Pada artikel Genealogi Sepakbola Indonesia bagian 4, telah digambarkan antusiasme publik Surabaya terhadap sepakbola bahkan sudah terlihat sejak 8 tahun sebelumnya, saat digelar pertandingan sepakbola pertama antara Victoria melawan Sparta pada Juli 1986. Cukup jelas tergambar bagaimana riwayat antusiasme Surabaya terhadap permainan ini sehingga antusiasme Bonek di zaman sekarang mestinya tak perlu lagi diherankan.
Sejak itulah kompetisi-kompetisi di level kota [staden-wedstrijden] bermunculan di beberapa kota besar. Di Semarang, juga di tahun yang sama, sudah muncul kompetisi pertama dengan SVB [Semarangsche Voetbal Bond] menjadi kampiunnya. Pada 1907, kompetisi pertama di Bandung pun dimulai dengan SIDOLIG [Sport In De Open Lucht Is Gezond] keluar sebagai juara.
Sumatera yang sebenarnya lebih dulu mengenal sepakbola ketimbang Jawa, lebih belakangan menggelar kompetisi. Pertama kali kompetisi digelar di Sumatera setelah didirikannya federasi sepakbola pertama di wilayah itu, DVB [Delische Voetbal Bond], pada 16 Juli 1907. Lima hari setelah DVB berdiri kompetisi digelar hanya dengan 3 klub. Menariknya, 3 klub yang terlibat sudah merepresentasikan apa yang kelak menjadi kutub kekuatan sepakbola di Hindia Belanda: Voorwaarts (orang-orang Eropa), Maimoen S.C. (orang-orang bumiputera] dan Chinese S.C [orang-orang Tionghoa].
Kompetisi-kompetisi setingkat kota itu secara rutin digelar dan umumnya dilakukan pada sekitar bulan Juni atau Juli [sekitar musim panas dalam iklim Eropa]. Di luar itu, pertandingan-pertandingan persahabatan di antara klub-klub sekota atau klub-klub antar kota juga cukup sering digelar. Klub ECA dari Surabaya dan Go Ahead dari Malang pernah saling berkunjung pada 1898. Setahun kemudian, klub SVV dari Semarang menjamu kedatangan klub Vitesse dari Surabaya pada Mei 1899.
Pada 1904, klub UNI [Uitspanning na Inspanning] dari Bandung juga bertanding dengan BVC [Bataviaasche Voetbal Club]. Selanjutnya, karena di Bandung belum ada kompetisi setingkat kota, maka UNI pun sempat ikut kompetisi di Batavia pada 1906. Saat itu UNI menduduki peringkat 5 dari 7 klub yang terlibat.
Kompetisi antarkota baru benar-benar terwujud pada 1914 saat berlangsung perhelatan Koloniale Tentoonstelling [Pameran Kolonial] di Semarang. Dalam ingatan warga Semarang, momen ini dikenal dengan "Pasar Sentiling", sebentuk salah-ucap "Tentoonstelling" dalam lidah lokal. Sebagai upaya pemerintah kolonial untuk mengenalkan dirinya, momen itu digunakan untuk memamerkan berbagai kemajuan yang sudah dibuat oleh pemerintah, dari mulai teknologi sampai hasil bumi. Guna meramaikan pameran, tiap malam digelar juga pasar malam di beberapa tempat sekaligus. Digelar juga beberapa pertunjukan teater, musik sampai olahraga. Kriket dan sepakbola lagi-lagi ikut ambil bagian.
Khusus sepakbola, di momen inilah untuk pertama kalinya digelar kompetisi antarkota yang melibatkan kota-kota penting di Jawa yaitu Batavia, Surabaya, Bandung dan Semarang. Mulanya, Singapura juga mengirimkan tim yang bermaterikan tentara tapi rencana itu gagal karena meletusnya Perang Dunia I. Batavia akhirnya muncul sebagai juara di kompetisi ini.
Hadiah turnamen ini adalah piala yang diserahkan langsung oleh Residen Semarang dan juga lencana-lencana untuk para pemain dari klub yang jadi pemenangnya. Karena meningkatnya animo masyarakat untuk menonton pertandingan sepakbola yang dimainkan oleh klub-klub terkemuka yang saling bertemu, turnamen yang awalnya hanya untuk memeriahkan Koloniale Tentoonstelling pun akhirnya menjadi turnamen rutin tahunan. Antusiasme ini tampak jelas dari banyaknya telegram yang masuk yang menginginkan turnamen ini diadakan secara rutin.
Sejak itulah kompetisi antarkota tak putus-putusnya digelar setiap tahun dengan masing-masing kota bergiliran menjadi tuan rumah. Setelah berdirinya NIVB [Nederlands Indisch Voetbal Bond], federasi sepakbola Hindia Belanda, pada 1919, kompetisi ini pun pengelolaannya diambilalih oleh NIVB. Untuk diketahui, NIVB yang didirikan oleh bond-bond dari Surabaya, Batavia, Bandung dan Semarang resmi menjadi anggota FIFA pada 24 Mei 1924.
Selama 8 tahun, dari 1914 sampai 1921, kompetisi digelar dengan sistem gugur. Empat klub yang bertanding bertemu langsung di babak semifinal. Masing-masing klub yang menang melaju ke babak final untuk menentukan sang juara. Barulah pada 1922 digelar dengan sistem setengah kompetisi di mana 4 klub peserta saling bertemu satu sama lain. Tim dengan poin terbanyak otomatis akan menjadi juara.
Memasuki tahun 1925, NIVB menerima banyak anggota baru. Banyak kota-kota yang akhirnya membentuk [bond atau federasi lokal]. Pada 1925, Cirebon, Tegal dan Pekalongan mendirikan NJVB [Noord-Java Voetbal Bond] dan diterima oleh NIVB. Setahun berikutnya menyusul Malang, Pasuruan, Solo, Yogyakarta, Sukabumi dan Magelang menjadi anggota NIVB. Pada 1929, Blitar, Kediri dan Madiun mendirinya SCVD [Stadelijke Combinati Voetbal Bond] dan ikut bergabung dengan NIVB.
Sejak keanggotaan NIVB bertambah di luar empat kota utama itu, kompetisi antarkota pun statusnya resmi menjadi Steden Kampioens-wedstrijden, setelah sebelumnya hanya berstatus Steden wedstrijden. Maksudnya: tim-tim yang bertanding di kompetisi NIVB adalah juara di wilayahnya masing-masing. Pada 1925, misalnya, Bandung harus melewati laga kualifikasi melawan NJVB. Pada 1926, Surabaya juga harus melalui laga kualifikasi melawan Malang lebih dulu.

Popularitas sepakbola semakin tak tertahankan setelah bond-bond sepakbola bumiputera yang merasa kesulitan memasuki kompetisi yang sudah ada, memutuskan mendirikan federasi sendiri pada 19 April 1930 dengan nama PSSI [Persatoean Sepakraga Seloeoroeh Indonesia]. Selain menggelar kompetisi antarkota, bond-bond sepakbola bumiputera itu juga mulai menggelar kompetisi tingkat kota di daerahnya masing-masing.
Masing-masing federasi menggelar kompetisinya sendiri. Dan umumnya polanya mengikuti pola kompetisi yang digelar oleh NIVB. Di tingkat tertinggi adalah Steden Kampioens-wedstrijden. Untuk bisa mengikuti Kampioens-wedstrijden, suatu tim harus lebih dulu memenangkan steden-wedstrijden. Nah, di level kompetisi kota sendiri terdapat jenjang kompetisi, terbagi ke dalam dua jenjang yaitu Eerste Klaas [Kelas/Divisi Satu] dan Tweede Klaas [Kelas/Divisi Dua].
Dan, serunya lagi, semua itu digelar oleh tiga federasi sekaligus. Dualisme federasi dan dualisme liga? Aih, jangan keliru. Sejak 1930 di negeri ini malah pernah ada tiga federasi dan tiga liga.
===
* Akun twitter penulis: @zenrs dari @panditfootball
Baca artikel sebelumnya:
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 1): Nusantara Bermain Bola
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 2): Sepakbola dan Kolonialisme
Politik sebagai Panglima Sepakbola Indonesia
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 3): Minke, Edgar, dan Sepakbola Anak-Anak Sekolah
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 4): Klub-klub Bermula dari Surabaya
(krs/a2s)