Menguntungkan (?) tapi Dilarang

Kepemilikan Pihak Ketiga (3)

Menguntungkan (?) tapi Dilarang

- Sepakbola
Jumat, 30 Jan 2015 10:47 WIB
SHAUN CURRY/AFP/Getty Images
Jakarta - Setelah kasus Carlos Tevez dan Javier Mascherano pada Agustus 2006, operator Liga Inggris, Premier League, bergerak cepat. Setelah melalui serangkaian diskusi, pada Juni 2008, Premier League bersama mayoritas klub sepakat untuk melarang segala praktik kepemilikan pihak ketiga/Third Party Ownership (TPO) di Inggris.

Saat kasus tersebut terkuak, FIFA sebenarnya telah membuat aturan pada Oktober 2007. Aturan yang tertuang dalam “Peraturan Status dan Transfer Pemain” pasal 18 menyatakan bahwa tidak boleh ada pihak ketiga yang memengaruhi keputusan pemain maupun keputusan klub. Namun, praktik TPO nyatanya masih berlangsung hingga saat ini, dengan keluhan dari sejumlah klub yang merasa dilangkahi kekuasaannya lewat praktik TPO.

Tak puas dengan aturan yang dibuat FIFA, UEFA berusaha mengambil alih dengan melarang tegas praktik TPO. Liga Inggris, Liga Prancis, dan Liga Polandia sudah setuju untuk melarang praktik TPO di negaranya. UEFA kecele karena kompetisi terbaik versi IFFHS, Liga Spanyol, marak menggunakan praktik TPO, bersama dengan Liga Portugal dan kompetisi di Eropa timur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tanah Eropa, UEFA menolak anggapan bahwa TPO adalah praktik yang menguntungkan. Presiden UEFA, Michel Platini, berjanji di bawah kepemimpinannya, UEFA akan menindak tegas praktik TPO di Eropa.

"Kami tidak bisa menerima seorang pemain dimiliki oleh agen, atau institusi finansial. Sulit dimengerti bahwa pesepakbola yang seharusnya independen terhadap klub, berakhir dengan dikontrol oleh TPO," tutur Platini seperti dikutip The Guardian.

Hal ini ditegaskan Chief Executive Premier League, Richard Scudamore, pada awal tahun lalu. Kepada The Guardian, Scudamore membandingkan TPO dengan 'perbudakan modern'.

Menurut Law in Sport, terdapat tiga alasan yang membuat TPO tidak disetujui hadir di sepakbola: transparansi (transparancy), keberlanjutan (sustainability), dan bursa transfer (transfer market).

Mengarah kepada 'Money Laundering' dan 'Match-Fixing'

Investor TPO bukanlah warga negara yang menampakkan batang hidungnya di kantor pajak. Umumnya, mereka mendaftarkan perusahaannya di negara antah berantah yang kerap menjadi surga bagi pengemplang pajak.

Praktik TPO menjadi masalah bagi pemerintah Brasil dan Argentina. Kedua negara tersebut merasa kecolongan karena tidak bisa menerapkan pajak kepada investor. Investor TPO umumnya anonim dan tidak diketahui siapa pemilik utamanya.

Pemerintah Argentina bahkan harus mengeluarkan peraturan baru terkait sistem pajak. Pasalnya, Undang-Undang yang ada sekarang, tidak mengatur secara tegas praktik TPO. Meskipun praktik TPO merupakan hal yang lazim di Argentina, tapi pemerintah kesulitan mengidentifikasi siapa di balik praktik tersebut. Dalam beberapa kasus, uang yang keluar-masuk tidak bisa dikenai pajak. Maka, pemerintah pun membuat aturan yang mewajibkan klub dan federasi memperbarui informasi terkait investor TPO.

Dengan tertutupnya investor TPO, dikhawatirkan uang yang masuk adalah bagian dari pencucian uang. Selain itu, investor TPO biasanya tidak hanya memiliki saham satu pemain. Dengan kepemilikian di klub yang berbeda, mereka bisa saja merancang hasil pertandingan, seperti yang mereka inginkan. Pemain sulit menolak, apalagi yang hidupnya ditanggung 100% oleh TPO.

Jika kasus ini terkuak, kepercayaan publik terhadap liga bisa turun. Akibatnya industri sepakbola menjadi stagnan dan berangsur-angsur mengarah pada kehancuran.

Keberlajutan Industri Sepakbola

Sepakbola adalah salah satu industri besar di dunia. Salah satu faktor yang membuat industri sepakbola terus berlanjut, selain kepercayaan penonton, tentu karena uang yang berputar di situ-situ saja. Misalnya, uang penjualan Luis Suarez, digunakan Liverpool untuk membeli sejumlah pemain lain seperti Lazar Markovic, Adam Lallana, hingga Mario Balotelli.

Kehadiran TPO membawa uang investasi keluar dari industri sepakbola. Penjualan Marcos Rojo misalnya. Dari 16 juta pounds, 12 juta pounds lainnya diterima Doyen Sports Investmens (baca bagian kedua tulisan ini) sebagai investor TPO. Belum ada yang bisa memastikan apakah uang 12 juta pounds ini akan digunakan Doyen untuk berinvestasi di sepakbola, atau digunakan untuk hal lain.

Bisa saja investor TPO merupakan pengusaha di bidang pertambangan. Keuntungan dari praktik TPO digunakan untuk menguatkan usahanya. Sementara itu, klub yang mengorbitkan pemain hanya mendapatkan sebagian kecil, atau bahkan tidak sama sekali dari hak ekonomi pemain. Klub akan merugi karena sebenarnya membutuhkan pemain tersebut, tapi terpaksa melepasnya karena klausul dalam kerjasama dengan TPO.

Sporting Lisbon masih tetap akan hidup dan kuat walau Rojo pindah ke United. Namun, bagaimana jika 20 pemain kuncinya, yang dikuasai TPO, dipaksa untuk pindah, dan Sporting tak kuasa menolak? Mereka mendapatkan sejumlah kecil dari nilai transfer, tapi harus kehilangan amunisi yang tak bisa dibeli secara instan.

Pada akhirnya, klub-klub kecil akan merasakan derita yang sama. Mereka, mau tak mau menjalin kerjasama dengan TPO karena tak mampu menggaji pemain mahal, atau terpaksa menjual saham pemain agar bisa tetap hidup.

Merusak Tatanan Bursa Transfer dan Piramida Pengembangan Pemain

Investor TPO baru dapat untung jika pemain pindah ke klub lain. Meskipun kesepakatan antar klub tidaklah sama, tapi biasanya investor TPO mencantumkan klausul khusus yang memberi keleluasaan bagi mereka untuk meraup untung. Klausul tersebut biasanya meminta agar klub tidak menolak jika ada tawaran transfer dari klub lain.

Dengan klausul ini, pemain bisa sewaktu-waktu pindah sesuai dengan 'arahan' investor. Akibatnya, pemain menjadi sulit menyatu untuk berintegrasi dengan satu klub, atau klub yang ia bela. Selain itu, TPO dapat menghancurkan karier pemain karena murni mengincar keuntungan, bukan pengembangan.

Dengan 'arahan' investor, perpindahan pemain terkadang diwarnai dengan hal yang mengejutkan, seperti kasus Radamel Falcao yang lebih memilih pindah ke AS Monaco yang bermain di Liga Prancis, ketimbang memperkuat kesebelasan Liga Inggris.

Director of Governance Premier League, Jane Purdon, dalam tulisannya di Sport Law Bulletin, mengungkapkan bahwa TPO dapat merusak piramida pengembangan pemain.

Seorang pemain biasanya berasal dari akademi klub. Klub lantas mengembangkan pemain tersebut hingga masuk ke tim utama. Pemain muda tersebut bermain cemerlang bagi tim utama. Bakatnya pun memesona klub lain yang menginginkan jasanya. Jika sang pemain masih terikat kontrak, maka peminat harus membayarkan uang transfer yang menjadi hak ekonomi pemain. Uang transfer tersebut kembali digunakan klub salah satunya untuk pengembangan pemain muda.

Lewat TPO, dana pengembangan pemain muda dari proyeksi biaya transfer menjadi lebih sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Pada akhirnya, klub lebih memilih untuk “meminjam” pemain berbakat dari investor TPO ketimbang harus mahal-mahal mengembangkan pemain dari akademi sendiri.

Mengapa TPO Masih Bisa Hidup?

FIFA kesulitan untuk melarang praktik TPO. Mereka hanya melarang klub menjalin kesepakatan dengan pihak ketiga yang bisa memengaruhi keputusan klub maupun pemain. Pasalnya, praktik ini jamak ditemukan di Amerika Selatan, Eropa Timur, dan Spanyol serta Portugal.

Berdasarkan penelitian EPFL, aturan FIFA terkait pengaruh TPO telah diterapkan di 12 negara di Eropa. Sembilan negara menerapkan aturan yang sama persis dalam aturan liga yang mereka buat. Sementara tiga negara; Inggris, Polandia, dan Prancis, memiliki aturan tambahan yang secara jelas melarang praktik TPO di kompetisinya.

UEFA berkelit bahwa TPO dapat menghancurkan aturan FFP yang telah mereka buat. TPO menjadikan neraca keuangan klub lebih stabil.
Presiden Traffic Sports Agency, mengatakan bahwa 90% pemain di Liga Brasil, terkait dengan aktivitas TPO. Lalu lintas uang dari hak ekonomi 60 pesepakbola pada 2007 saja tercatat mencapai 75 juta dollar.

Melarang TPO secara radikal, berarti menghabisi klub yang secara finansial bergantung pada praktik TPO. Lalu, bagi sejumlah pemain yang digaji di bawah standar, mereka akan berbondong-bondong mencoba peruntungan di Eropa.

Seperti yang telah dijelaskan di tulisan sebelumnya, klub kecil bisa menyetarakan kualitas dengan klub besar, salah satunya dengan membiarkan pemain mahal digaji pihak ketiga. Dengan segala model yang ditawarkan, kedua belah pihak diharapkan mampu mendapatkan untung.

Saat UEFA dengan beringas ingin menghapus praktik TPO, 21 kesebelasan dari Campeonato Brasiliero, mengirim surat terbuka kepada FIFA. Mereka, termasuk Corinthians,, berpendapat aturan TPO akan berdampak negatif pada neraca keuangan mereka.

Sebenarnya, ada sejumlah aturan yang bisa diterapkan agar praktik TPO pada akhirnya tidak membunuh industri sepakbola. FIFA bisa saja membatasi berapa maksimal jumlah saham yang dimiliki investor. Selain itu, FIFA dapat membatasi jumlah pemain yang dimiliki investor di klub, serta membatasi jumlah klub yang dimiliki investor di liga.

Benarkah TPO Menguntungkan?

UEFA mungkin kesal karena dari beberapa kasus terlihat bagaimana klub dalam posisi rugi, dan investor TPO dalam posisi untung. Namun benarkah demikian?

Praktik ini terdengar dan terlihat menguntungkan bagi kedua belah pihak. TPO berinvestasi kepada pemain lewat klub. Dana segar tersebut bisa digunakan klub untuk menopang pengeluaran. Lagi pula, klub tidak akan terlalu rugi jika investor hanya membeli 30% atau 70% hak ekonomi pemain. Toh, klub masih mendapat persentase saat pemain tersebut dijual.

Pemain yang diinvestasikan TPO bisa saja cepat terjual lewat jaringan TPO di seluruh dunia. Mereka bisa mempromosikan sang pemain jauh lebih baik dan efektif daripada yang dilakukan klub.

Namun, klub juga merasa dirugikan. Seperti yang diungkapkan Presiden Sporting Lisbon, Bruno de Carvalho. Salah satu alasan mengapa Rojo bisa dinilai 16 juta pounds oleh United adalah karena penampilannya bersama Sporting. Namun, Carvalho tidak bisa berkelit karena Sporting nyatanya memang menjual saham Rojo kepada Doyen.

Dari sini malah terlihat bahwa klub mau menang sendiri. Padahal, jika melihat dari sisi lain, investor TPO juga bisa merugi. Misalnya begini, 90% pesepakbola Brasil dikaitkan dengan TPO. Lantas, berapa persen dari mereka yang bisa mendapatkan nilai ekonomi lebih dari 10 juta pounds?

Berdasarkan data dari Transfermarkt.co.uk, hanya ada 19 transaksi transfer di atas 10 juta pounds yang masuk dan keluar dari Liga Brasil. Tidak seperti investasi tanah yang harganya cenderung naik, investasi saham pemain lebih mirip perjudian. Investor membeli saham biasanya pemain yang belum begitu tenar. Mereka bertaruh, meski tidak ada yang tahu berapa nilai ekonomi sang pemain saat ia pindah ke klub lain.

Dalam hal ini, kedua belah pihak, baik klub maupun investor TPO sama-sama merasakan kerugian. Klub rugi karena nilai ekonomi pemain melonjak naik, investor rugi karena sifatnya sebagai spekulan, yang sulit diperkirakan seberapa besar untung ruginya.

TPO sebagai Puncak Gunung Es Persoalan Ekonomi Sepakbola

Melihat alasan-alasan yang dikemukakan, wajar rasanya jika UEFA melarang praktik TPO. Integritas yang menjadi kunci dari industri sepakbola dipertaruhkan. Namun, semua pihak mestinya menelisik lebih dalam faktor apa yang membuat TPO berkembang sedemikian hebatnya di Amerika Selatan.
TPO terjadi karena kesebelasan tak memiliki cukup dana untuk menopangkeuangan mereka. Kesebelasan mengeluarkan banyak dana untuk menggaji pemain yang mengancam pindah ke Eropa. TPO pula yang menjadi solusinya.

Selama tidak ada penyamarataan soal gaji, agaknya praktik TPO masih akan terus berkembang. Sekalipun praktik tersebut dilarang oleh FIFA pada akhirnya, investor TPO malah akan semakin hati-hati dalam bersembunyi. Praktik TPO makin tidak terasa, karena investor tak lagi menampakkan batang hidungnya. Sementara di sisi lain, FIFA tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak bisa memberikan sanksi, karena investor bukanlah bagian dari sepakbola.

Banyak yang menyarankan FIFA tidak melarang TPO, melainkan melakukan apa yang dilakukan pemerintah Argentina. FIFA dapat memaksa klub dan federasi memberikan informasi terkait siapa dibalik investor TPO yang mereka ajak kerjasama. Dengan keterbukaan ini, setidaknya dapat menghapus kekhawatiranrusaknya integritas sepakbola.

Jadi bagaimana?


=====

*penulis adalah penulis dari @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @aditz92

(din/cas)

Hide Ads