Christo, sapaan karib Christopher, menjadi petenis terbaik Tanah Air dalam sepuluh tahun belakangan. Peringkat pertama nasional didapatkan saat dia berusia 18 tahun. Kini, di usia 28, Christo tak tergeser.
Boleh dibilang dia tak memiliki pelapis. Kemampuan dan pengalaman petenis di bawahnya terpaut cukup jauh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu gambarannya ditunjukkan pada play off Grup II Piala Davis Zona Asia-Oceania. Indonesia berada dalam posisi terjepit itu setelah dikalahkan Filipina 1-4 di babak pertama ajang tenis beregu itu. Dalam ajang itu, PP Pelti tak menyertakan Christo.
Untuk tetap bertahan di Grup II, Indonesia harus menjalani babak play off menghadapi Sri Lanka. PP Pelti tak memiliki banyak pilihan. Mereka memanggil Christo pulang.
Bersama Christo, Indonesia aman di Grup II. Merah Putih menang 3-1 atas Sri Lanka. Tiga poin yang didapatkan berkat kontribusi Christo, dua poin dari nomor tunggal dan satu lagi ganda bersama Justian Bakri.
Situasi itu bukan kali pertama diemban Christo. Sudah dalam lima kali Piala Davis, Christo menjadi penentu kemenangan Indonesia. Makanya, oleh netizen Christo kerap diledek dengan kalimat ala Balotelli itu, 'why always me?'
Baca Juga: Dua Turnamen Bidikan Christopher Rungkat: Asian Games 2018 dan Wimbledon
"Situasi itu menyimpan plus minus buat saya. Bagusnya, saya selalu memacu diri saya terus untuk selalu siap setiap kali dibutuhkan. Untuk Piala Davis, SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade," kata Christo dalam wawancara One on One dengan detikSport.
"Sisi minusnya, saya khawatir petenis di bawah saya tak merasa tercambuk untuk bisa mengejar saya. Saya khawatir mereka berpikir,'Masih ada Christo, kok'. Diakui atau tidak belakangan situasinya seperti itu," tutur dia.
"Saya berharap, petenis muda yang ada menyadari level mereka masih jauh makanya mau berlatih ekstra. Kalau saya lihat pemain-pemain umur 19 tahun kayak nunggu kesempatan, bukan menjemput. Itu harus diubah agar mereka nanti tak berjuang sendirian seperti saya saat ini," ujar dia.
(fem/fem)