Profesionalisme Berbasis Perserikatan

Profesionalisme Berbasis Perserikatan

- Sepakbola
Sabtu, 20 Des 2014 14:38 WIB
Profesionalisme Berbasis Perserikatan
Ilustrasi: Sebuah pertandingan Indonesia Super League. (ANTARA)
Jakarta -

Menarik sekali mencermati satu lagi fenomena sepakbola di Indonesia, ketika sebuah klub yang dibangun di sebuah daerah kemudian memutuskan pindah mencari tempat baru.

Apa yang terjadi pada Putra Samarinda (baru berganti nama menjadi Bali United Pusam), kita tahu bukan yang pertama kali. Sebelumnya pernah ada Persijatim (Jakarta Timur) yang kemudian hijrah ke Solo (Persijatim Solo FC), dan pindah lagi ke Palembang menjadi Sriwijaya FC.

Yang lain adalah Pelita Jaya FC, dari Jakarta, Karawang, dan kini di Bandung (Pelita Bandung Raya). Juga salah satu klub bersejarah di Jawa Timur, Niac Mitra (Surabaya) yang menjadi cikal bakal lahirnya Mitra Surabaya sebelum menyeberang lautan ke Kalimatan, menjadi Mitra Kalteng Putra -- dan saat ini Mitra Kutai Kartanegara (Mitra Kukar).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

===

Ini sebuah ilustrasi mengapa saya sejak lama berkeyakinan perserikatan harus tetap hidup di Indonesia hanya dalam bungkus yang profesional. Atau profesionalitas sepakbola di Indonesia harus berbasis sepakbola perserikatan.

Tahunnya mungkin 1984, 1985 atau 1986. Sebuah pertandingan persahabatan di gelar di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, antara PSIM lawan Sari Bumi Raya. Dua-duanya dari Yogyakarta. Satunya perserikatan, satu lainnya anggota galatama -- klub profesional -- pindahan dari Bandung.

Saya tak terlalu ingat mengapa pertandingan itu digelar. Kemungkinan untuk menandai kepindahan striker andalan PSIM saat itu, Andi Pangeran, ke Sari Bumi Raya. Saya juga tak terlalu ingat akhir hasil pertandingan.

Hal yang tak pernah saya lupa adalah bagaimana penonton di seluruh stadion mendukung PSIM habis-habisan. Jelas bukan karena sentimen SBR pindahan dari Bandung, karena toh klub itu sudah tiga atau empat tahun pindah ke Yogyakarta. Lebih lagi, sebagian besar pemain SBR saat itu adalah bekas pemain teras PSIM.

Menurut saya ada persoalan yang lebih mendasar dari sekadar itu. Anda tahu, klub profesional di Indonesia saat itu, bahkan hingga sekarang, seolah turun dari langit. Ia tidak lahir secara organik dari masyarakat. Ia ahistoris dan akultural. Tidak mewakili sesuatu yang bersifat publik.

Tengoklah sejarah, bagaimana klub-klub profesional itu dibentuk (dihidupi) oleh para cukong atau perusahaan-perusahaan besar untuk memenuhi program kompetisi atas nama profesionalitas. Keberlangsungan mereka bukan berasal dari masyarakat tetapi β€œbudi baik” cukong atau perusahaan-perusahaan itu.

Perserikatan sementara adalah gagasan (kebersamaan). Ia perwakilan akan ide, imajinasi, khayal sebuah kebersamaan. Ia lahir dan bermula, dan dalam batas tertentu tidak akan pernah bisa sepenuhnya lepas, dari sebuah perwakilan berbatas kedaerahan. Ia sebuah tribalisme (dalam pengertian kita berhadapan dengan mereka).

Dalam skala kecil perserikatan adalah imagined community (khayal akan sebuah komunitas) – meminjam istilah Indonesianis terkenal Benedict Anderson saat menjelaskan lahirnya negara bangsa (nation state) usai masa kolonialisme. Imagined community sebenarnya kabur nilai tetapi hanya tahu seperasaan bahwa mereka harus bersatu dalam satu kebersamaan. Ada tautan pengalaman yang menyatukan.

Karenanya bisa dimengerti dalam konteks PSIM melawan SBR, penonton sepakbola Yogya memihak PSIM. Sehebat-hebatnya SBR, seberapapun usaha mereka, kehadiran mereka bukanlah berawal dari sebuah letupan kedaerahan-kesukuan-kesatuan pengalaman yang kemudian berkembang menjadi lebih bermakna.

Singkatnya, SBR berbasis di Yogya. Namun PSIM adalah Yogya. SBR ada di Yogya tetapi PSIM berakar di Yogya. Bentang posisinya layaknya bumi dan langit.

Bukan saja perserikatan lebih populer, tetapi saya berani bertaruh bahwa perserikatan akan lebih tahan hidup ketimbang klub profesional. Perserikatan, berbeda dengan klub profesional di Indonesia, memenuhi persyaratan dasar yang diperlukan sebuah klub sepakbola untuk terus hidup: mewakili sebuah entitas kebersamaan.

Membandingkan pertandingan sepakbola profesional dan perserikatan, kita dihadirkan oleh sifat pertandingan yang sangat berbeda. Sepakbola perserikatan adalah persoalan kita lawan mereka, satu daerah lawan daerah lain, satu suku lawan suku lain, satu gagasan kebersamaan lawan gagasan kebersamaan lain. Tribal.

Sepakbola profesional (di Indonesia) mereduksinya hanya pertandingan antara satu tim lawan tim lain di lapangan. Hambar. Tidak ada semangat perwakilan akan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertandingan bola.

Kita tahu kasus PSIM dan SBR tidaklah unik. Kita bisa berbicara perbandingan serupa di sekian banyak kota yang memiliki perserikatan dan klub profesional.

Siapapun boleh mendirikan klub profesional di Bandung misalnya, tetapi posisi Persib tak akan pernah goyah. Begitupun Surabaya dengan Persebaya-nya, Medan dengan PSMS-nya, Banda Aceh dengan Persiraja-nya, Makasar dengan PSM-nya, Padang dengan PSP-nya, Jayapura dengan Persipura-nya, dan seterusnya.

Perbandingan bisa dilebarkan ke luar negeri. Cobalah lihat persepakbolaan Eropa yang menjadi contoh profesionalisme sepakbola dunia.

Klub-klub Eropa yang sekarang menjadi klub profesional rata-rata tidaklah lahir sebagai klub profesional tetapi klub komunitas, mewakili entitas kebersamaan tertentu. Lahir dan berkembang secara organik di sebuah komunitas.

Bisa jadi mereka sekarang menjalani kehidupan klub layaknya perusahaan atau bahkan dimiliki individu (yang datang dari antah berantah). Bermetamorfosa. Tetapi tidak pernah mereka akan memotong sumbu akar kehidupan mereka: tetap melestarikan perwakilan entitas kebersamaan. Entah itu atas nama daerah, kesukuan, kelas sosial, gagasan, atau campur aduk dari semuanya. Sebuah imagined community (khayal akan sebuah komunitas).

Cetak biru (blue print) dari khayal akan sebuah komunitasnya selalu dilestarikan dan bisa dirunut kebelakang. Sejarah yang selalu bisa diingat dan dibuka kembali. Seperti mata air sumber kehidupan.

Itu sebabnya pendukung klub-klub itu akan bisa dengan fasih berbicara tentang asosiasi keterwakilan mereka. Tentang mengapa mereka mendukung klub itu.

Bahkan pendukung itu pada perkembangannya tidak harus datang dari daerah dibmana klub itu berasal. Asal mereka bisa masuk dalam imagined community itu, sah sudah. Terbuka kelenturan. Bukankah begitu banyak pendukung klub Eropa itu sekarang berasal dari negara lain, termasuk juga Indonesia ini?

Kita memang bisa berdebat bahwa perserikatan agak berbeda dengan awal klub-klub Eropa. Perserikatan lebih sebagai wadah klub-klub kecil di daerah, sementara klub-klub Eropa pada dasarnya adalah semacam klub-klub kecil di daerah yang kemudian tumbuh menjadi besar.

Tetapi saya tidak ingin menyoroti aspek ini. Sorotan adalah pada pelestarian perwakilan entitas kebersamaan. Syarat dasar untuk hidup dan lestari. Perserikatan mempunyai modal itu tetapi tidak pada klub-klub profesional yang ada di Indonesia.

Saya kira akan lebih baik kalau klub-klub profesional yang ahistoris, akultural, dan tidak berakar itu dibubarkan saja. Lalu resmi profesionalkan perserikatan. Baik dari segi pengelolaan, kepemilikan, dan perputaran kompetisinya.

Bagaimana caranya tentu adalah pihak yang berwenang yang harus duduk bersama dan membahasnya. Tetapi jangan sia-siakan modal dasar yang dimiliki oleh klub-klub perserikatan itu.

====

*Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68

(a2s/nds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads