Jakarta -
Sepak bola makin bergerak maju. Para pemain yang mengaku gay makin diterima di lapangan hijau. Namun, stigma miring tetap akan terus ada.
Beberapa waktu lalu, Josh Cavallo dengan berani menyatakan dirinya gay. Pemain Adelaide United itu menjadi pemain profesional pertama yang menyatakan dirinya gay.
"Saya pesepakbola dan seorang gay. Yang saya inginkan adalah bermain dan diperlakukan sama," katanya dalam cuplikan video yang dibagikan klubnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Langkah yang sama kemudian dilakukan James Adcock. Wasit asal Inggris, yang memimpin pertandingan dari Liga Amatir hingga Premier League, juga dengan tegas menyatakan dirinya gay.
 Josh Cavallo, pemain Adelaide United yang mengaku dirinya gay. Foto: Twitter @AdelaideUnited |
Dalam perayaan National Coming Out Day bulan lalu, ia bercerita bagaimana persepsi yang diterimanya ketika mengungkap dirinya gay. Adcock mengaku senang bisa diterima.
"Ketika saya beralih dari menjadi wasit paruh waktu ke penuh waktu penuh di sepak bola, beberapa tahu dan beberapa tidak," katanya, seperti dilansir BBC beberapa waktu lalu.
 Wasit James Adcock menyatakan dirinya gay. Foto: Jordan Mansfield/Getty Images |
"Sekarang semua rekan saya tahu, dan itu hanya norma. Dan, sejujurnya, ada minat dari rekan kerja yang mengatakan, 'Saya bangga padamu, James, bahwa kamu bisa menjadi gay secara terbuka dalam olahraga,' karena mereka mengetahui hambatannya masih ada," katanya.
Apa yang diekspresikan Cavallo dan Adcock sebenarnya mulai diterima banyak pihak di lapangan hijau. Banyak bintang-bintang top memuji keduanya karena dianggap membawa sepak bola bergerak ke arah yang lebih terbuka bagi semua kalangan.
Meski begitu, tetap ada stigma miring dialamatkan kepada mereka yang berani mengekspresikan dirinya.Homofobik masih ada, dan sepak bola belum sepenuhnya menjadi ruang yang aman.
Masih Ada Stigma Buruk
Di ajang Piala Eropa 2020 lalu misalnya, masih terdengar chant atau nyanyian homofobik di tribune stadion. Spanduk-spanduk yang menyerang LGBT juga terbentang.
Hal itu sendiri disebabkan karena UEFA tak tegas. Asosiasi Sepak Bola Eropa itu masih 'setengah hati' menerima keberadaan LGBT di lapangan hijau.
Begitu juga sikap dingin FIFA, sebagai induk asosiasi sepakbola sedunia. Terkait gelaran Piala Dunia 2022 di Qatar misalnya, isu LGBT sempat panas karena negara teluk itu punya aturan ketat soal kampanye LGBT. Sejak 2010, baru pada 2020 Qatar memutuskan akan menerima bendera LGBT di dalam stadion.
 Bendera pelangi LGBT di kompetisi Premier League. Foto: Julian Finney/Getty Images |
Di tengah stigma yang terus mengalir, upaya perlawanan tetap hadir dari lapangan hijau. Seperti yang coba diperlihatkan Manuel Neuer, kiper Timnas Jerman, di ajang Euro 2020 kemarin.
Pemain yang membela klub Liga Jerman, Bayern Munich, itu mengenakan ban kapten berwarna pelangi, yang menjadi simbol keberagaman LGBT. UEFA, yang sempat menginvestigasinya, akhirnya mengurungkan niatnya karena protes global pecinta sepak bola.
 Kiper Jerman Manuel Neuer mengenakan ban kapten pelangi simbol LGBT di ajang Euro 2020. Foto: Matthias Hangst/Getty Images |
Adcock mengakui, pr besar saat ini adalah melawan stigma di lapangan hijau. Ia berharap dengan pemikiran masyarakat yang makin maju, dia dan para gay di lapangan hjau bisa diterima total ke depannya.
"Masih ada stigma tentang orang menjadi homoseksual dalam olahraga," katanya.
"Akan selalu ada di benak saya apa yang mungkin diteriakkan seorang penggemar jika mereka berpikir ada keputusan yang meragukan terhadap tim mereka.
"Tapi mudah-mudahan seiring dengan perkembangan masyarakat, jika ada gerakan atau komentar homofobia, ada orang di sekitar yang akan melaporkannya," katanya.
Hal senada juga dilontarkan Cavallo. Ia mengaku menjadi diri sendiri akan diterima banyak orang.
"Saya ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa menjadi diri sendiri dan bermain sepakbola tidak masalah. Jika ada, Anda akan mendapatkan lebih banyak rasa hormat dari orang-orang," kata pemain 21 tahun tersebut.