Tambal Lubang di Lini Belakang dan Berharap Magis Ronaldo

Tambal Lubang di Lini Belakang dan Berharap Magis Ronaldo

- Sepakbola
Minggu, 15 Jun 2014 19:57 WIB
AFP/Franck Fife
Jakarta - Portugal datang ke Piala Dunia 2014 Brasil dengan sejumlah kekhawatiran. Lini belakang dan lini depan sama rapuhnya. Meski mampu mencetak lima gol ke gawang Kamerun pada Maret lalu, hasil tersebut tidak menunjukkan ketajaman lini depan. Kemenangan 1-0 atas Meksiko pada Jumat (6/8) pun tidak menunjukkan ketangguhan lini belakang mereka.

Serangan Portugal akan dipusatkan pada sang bintang sekaligus kapten, Cristiano Ronaldo. Bila pemain Real Madrid ini absen, maka Portugal akan kehilangan variasi serangan. Dari lima pertandingan terakhir, pelatih Paulo Bento masih mengutak-atik pemain di semua lini -- termasuk penjaga gawang. Ia sadar beberapa pemain yang dipanggil belum sepenuhnya memiliki pengalaman level internasional.

Taktik yang diusung Bento sebenarnya tidak serumit Spanyol atau Italia. Mereka hanya menunggu lawan lengah, lalu cepat-cepat berikan bola ke Ronaldo hingga eks pilar Manchester United ini mengeluarkan “sihir” terbaiknya. Permainan Portugal memang sesimpel itu.
Formasi 4-1-2-3 akan menjadi andalan Bento. Tapi tak perlu terkejut bila tiba-tiba berubah menjadi 4-2-3-1 atau 4-4-2. Bento sudah terbiasa melakukannya. Asalkan mereka tidak kebobolan dan Ronaldo mencetak banyak gol, itu sudah cukup bagi Portugal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lubang di Lini Belakang

Pada lima pertandingan terakhir, lini pertahanan Portugal selalu diisi empat bek. Joao Pereira, Pepe, Bruno Alves, dan Fabio Coentrao menjadi pilihan utama Bento. Di atas kertas, keempatnya mampu membuat ketar ketir penyerang lawan.

Pengalaman yang diraih Pepe, Coentrao, Pereira, maupun Alves di klub masing-masing, semestinya mampu memperkokoh lini belakang Portugal. Tapi ini tim nasional, bukan klub. Mereka belum mendapatkan chemistry yang tepat untuk mengawal lini pertahanan Portugal.

Rapuhnya lini pertahanan Portugal terlihat jelas kala menghadapi Meksiko di pertandingan pemanasan jelang Piala Dunia pada 7 Juni lalu. Bukan sekali atau dua kali saja mereka kewalahan menjaga dua penyerang Meksiko. Beruntung, tidak ada bola yang bersarang ke gawang Eduardo sehingga Portugal unggul 1-0 berkat gol Alves.

Sebenarnya keempat pilar ini selalu disiplin berada di daerah kotak penalti saat menerima serangan. Bahkan, ketika tiga gelandang Portugal terlambat turun membantu pertahanan, empat bek Portugal ini sudah berdiri rapi di kotak penalti.

Tapi, inilah masalahnya. Rendahnya garis pertahanan keempat bek tersebut justru membuat penyerang lawan lebih leluasa untuk melepaskan tendangan dari luar kotak penalti.

Empat bek Portugal biasanya bermain disiplin. Dua bek tengah menjaga penyerang dan dua fullback menjaga sisi lebar pertahanan. Tapi area kosong di depan empat bek tersebut justru mampu dieksploitasi lawan. Sejumlah gol yang menjebol gawang Portugal berasal dari area itu ketika para gelandang lambat turun membantu pertahanan. Second line lawan biasanya telah siap menendang bola dari luar kotak penalti atau menarik bek Portugal "keluar" mengejarnya.

Ini yang terjadi saat Portugal menghadapi Kamerun pada Maret lalu. Ketika bek Portugal terpancing menutup gelandang Kamerun yang berdiri bebas, mereka meninggalkan Vincent Aboubakar sendirian di depan. Usaha untuk menjebaknya menjadi offside tidak berguna karena masih ada satu bek yang tertinggal di belakang. Aboubakar pun dengan mudah mencetak gol tunggal ke gawang Beto dalam pertandingan yang berakhir 5-1 tersebut.

Portugal mesti berhati-hati dengan lawan yang menerapkan taktik serangan balik. Lini belakang mereka diprediksi akan kepayahan, ditambah lagi jika Bento tidak menurunkan satu gelandang bertahan yang memang diinstruksikan untuk tidak ikut menyerang.

Butuh Gelandang Bertahan

Nama William Carvalho sejatinya masih asing bagi publik sepakbola. Tapi, pemain kelahiran 1992 ini diprediksi akan bersinar bersama Portugal di Brasil. Di Liga Portugal, ia membela Sporting Lisbon dan telah berada di tim junior sejak 2005.

Posisi Carvalho tidak terlampau unik, hanya gelandang bertahan. Perannya hampir mirip dengan Luiz Gustavo di lini tengah Brasil. Carvalho jarang ikut menyerang dan justru bak pemain kelima di lini belakang Portugal.

Diberkahi postur besar setinggi 1,86 meter nan ideal, Carvalho tampil lugas dalam memotong umpan maupun menahan serangan lawan. Dialah pemain tertinggi di lini tengah Portugal.

Kehadirannya membuat para pemain lain di lini tengah untuk menyerang dengan tenang. Perubahan formasi Bento dari 4-2-3-1 menjadi 4-1-4-1 atau 4-1-2-3 dalam rangka mengakomodasi posisi Carvalho sebagai gelandang bertahan. Dengan formasi ini, dua gelandang yang beroperasi di tengah bisa lebih fokus menyerang, karena Carvalho memegang peran cover pertahanan.

Ini terlihat di pertandingan leg kedua melawan Swedia pada play-off Piala Dunia di Solna, November 2013. Pada menit ke-73 saat Portugal tertinggal 1-2, Carvalho masuk menggantikan Raul Meireles. Kehadirannya membuat Miguel Veloso maupun Joao Moutinho lebih leluasa mendukung pergerakan Nani dan Ronaldo di sayap. Hasilnya, Ronaldo menceploskan dua gol untuk memastikan kemenangan Portugal 3-2 dan lolos ke Brazil dengan skor agregat 4-2.

Carvalho juga bisa dijadikan solusi atas terbukanya area di depan kotak penalti Portugal. Jika mereka menghadapi lawan yang biasa menyimpan satu penyerang di depan, empat bek Portugal tak akan punya masalah. Tapi bagaimana bila lawan menyerang dengan tiga pemain? Sulit membayangkan apa yang akan dilakukan bek Portugal. Apakah akan man to man marking atau zonal marking? Masing-masing punya resiko sendiri andai tak ada dukungan dari gelandang bertahan yang mumpuni seperti Carvalho.

Menutup area di depan bek akan menjadi tugas yang berat baginya. Tapi sejatinya, ia akan menjadi kunci keberhasilan Portugal di Brasil nanti.

Berharap Magis Ronaldo

Ronaldo adalah juru selamat Portugal. Tanpa permainan impresif dan— tentu saja— tiga golnya ke gawang Swedia, Portugal tidak akan lolos ke Piala Dunia 2014. Saat menghadapi Kamerun, peran Ronaldo sebagai striker pun begitu vital dalam membentuk serangan.

Secara umum, Bento akan menginstruksikan Ronaldo dan Nani untuk merobek sisi sayap lawan lewat serangan balik dan menyodorkan umpan matang kepada Hugo Almeida atau Helder Postiga di posisi terdepan.

Namun ketika Ronaldo atau Nani absen, maka Portugal bakal menemui masalah. Kualitas Silvestre Varela dan Vieirinha sebagai pelapis terlampau jauh dari dua pemain pertama. Begitu pula timpangnya kemampuan Almeida atau Postiga bila dibandingkan dengan Ronaldo. Tak satu pun pemain di skuat Portugal yang mampu menandingi kemampuan bintang berusia 29 tahun tersebut.

Sebagai seorang striker, Almeida cenderung memerankan penerima bola yang langsung masuk ke jantung pertahanan lawan untuk mencetak gol. Kelemahannya, pemain Besiktas ini tak akan berdaya guna ketika minim pasokan bola.

Lain halnya dengan Ronaldo. Top skorer La Liga 2013-2014 ini tidak sungkan turun ke tengah dan meminta bola. Penempatan posisinya menjadi nilai plus bagi serang Portugal. Lihat saja bagaimana dengan cerdik Ronaldo mencetak tiga gol ke gawang Swedia. Seluruhnya datang dari umpan terobosan yang dengan mudah dijangkau CR7.

Bento pasti lebih suka bermain dengan 10 orang plus Ronaldo di dalamnya, ketimbang tampil dengan 12 pemain tanpa kehadiran Ronaldo. Pemain terbaik FIFA 2013 ini merupakan andalan Bento dan masyarakat Portugal untuk bisa berbicara banyak di Piala Dunia nanti.

Mandulnya Lini Depan

Bento sebenarnya membawa delapan penyerang ke Brasil, yakni Ronaldo, Nani, Almeida, Vieirinha, Eder, Rafa Silva, Varela, dan Postiga. Dengan opsi dua penyerang ditarik bermain melebar dengan dua cadangan, maka tinggal empat pemain yang antre masuk line up lini depan.

Bento lebih sering memainkan Postiga sebagai penyerang utama berkat pengalamannya di liga domestik (Serie A) dan internasional. Tapi, pemain berusia 30 tahun ini sering dikritik. Setelah menjalani musim yang kurang baik dengan Valencia, Postiga dipinjamkan ke Lazio. Tapi di Lazio musim lalu, eks pemain Tottenham Hotspur ini baru lima kali tampil dan mandul.

Itu sebabnya, Bento sering mengubah komposisi penyerang di beberapa pertandingan Portugal belakangan. Bento kerap merotasi antara Postiga, Eder atau Almeida. Di timnas Portugal, Postiga telah mencetak 27 gol dalam 68 pertandingan. Dia dan Ronaldo merupakan pilar yang mengantar Portugal menjadi runner-up Piala Eropa 2004.

Selain Almeida, tiga penyerang lain belum menunjukkan kapasitasnya sebagai pemain tim nasional. Pemain lain yang benar-benar berposisi sebagai penyerang hanyalah Eder. Sehingga ketika Postiga maupun Almeida tidak bisa bertanding, Eder pilihan utama sebagai pengganti.
 
Di dua pertandingan terakhir, Eder gagal membuktikan diri sebagai striker berkelas. Penyerang SC Braga ini dan Vieirinha baru bermain delapan kali untuk Portugal. Padahal keduanya tidak muda lagi, Vieirinha 26 tahun dan Eder 28 tahun.

Sementara Valera biasa bermain sebagai sayap yang bertugas menyisir lebar lapangan. Ketika Ronaldo atau Nani absen maka Valera dan Vieirinha jadi alternatif bagi Bento.

Portugal jelas krisis penyerang berkualitas. Entah Bento yang tidak mampu mengolah mereka sebagai mesin gol kelas dunia, atau memang belum ada "Ronaldo" lain di Portugal.
 
Jadi, mengandalkan Postiga atau Almeida di lini depan bukan sebuah kesalahan. Mereka memiliki pengalaman bertanding lebih banyak ketimbang Eder, Valera, Vieirinha, dan Silva. Bento hanya memilih dari ketersediaan pemain yang ada dan berharap mereka dapat menunjukkan kemampuan terbaiknya serta tidak lupa bagaimana caranya mencetak gol.

Prediksi Line-up



Lolos Grup Sudah Untung

Di Piala Dunia 2014 sulit untuk memprediksi akan sampai mana Portugal melaju. Ini berbeda ketika mereka meraih partai final Piala Eropa 2004. Dukungan pengalaman pemain senior macam Rui Costa, Luis Figo, Ricardo Carvalho, Nuno Gomes maupun Maniche sudah tak ada lagi.

Itu sebabnya ada handicap mental bertanding dan kini hanya Ronaldo yang memberi motivasi. Sebagai kapten, kharisma Ronaldo tidak seterang Figo. Ronaldo bahkan tipe pemain yang meledak-ledak dan tidak segan memarahi rekannya ketika tidak mendapat bola.

Dalam pertandingan babak play-off menghadapi Swedia, wajah para pemain Portugal terlihat tegang. Teriakan frustrasi Ronaldo kala gagal mencetak gol memperburuk situasi itu. Para pemain tidak bisa mengkambinghitamkan ego Ronaldo karena mereka memang membutuhkan jasa pemain terbaik dunia tersebut.

Belum padunya lini belakang membuat mereka sangat rentan kebobolan terutama menghadapi tim yang mengandalkan serangan balik. Para pemain Portugal belum mulus melakukan transisi antara menyerang dan bertahan. Akibatnya, penyerang lawan bisa menerobos masuk ke jantung pertahanan.
Sulit bagi Portugal untuk bisa menyamai 2004 atau prestasi generasi Eusebio di Piala Dunia 1966. Bergabung di Grup G bersama Jerman, Ghana, dan Amerika Serikat (AS), peluang Portugal untuk lolos relatif sulit. Mereka boleh berharap AS atau Ghana bermain buruk sehingga bisa mendampingi Jerman sebagai unggulan utama ke babak selanjutnya.

Jika Portugal mampu lolos dari grup, maka A Selecao diprediksi bakal mampu melaju hingga perempat final karena ujian berat sebenarnya terletak di fase grup.

Jadi mampukah Portugal kembali berkuasa di negeri jajahannya? Tampaknya tidak mungkin.

====

*dianalisis oleh @panditfootball

(roz/mrp)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads