Apa yang Memotivasi Pemain Sepakbola untuk Berlaku Curang?

Sport Science

Apa yang Memotivasi Pemain Sepakbola untuk Berlaku Curang?

- Sepakbola
Minggu, 22 Feb 2015 19:34 WIB
Getty Images/Richard Heathcote
Jakarta - Dalam segala lapisan di kehidupan ini, kecurangan dan ketidakjujuran sering terjadi dimana-mana. Tak terkecuali di dunia olahraga, dari mulai olahraga besar seperti sepakbola, rugbi, kriket, golf, dan lain-lain; sampai olahraga minor seperti bowling, catur, squash, sepak takraw, dan sebagainya.

Mengutip Philip Larkin mengenai kecurangan, "Segala jenis olahraga yang ada, pernah dikunjungi (oleh perilaku curang dan tidak jujur)."

Doping, pengaturan skor, judi, intimidasi, mengulur waktu, diving, dan lain-lain. Sejak olahraga ada di muka bumi ini, pasti ada peraturan yang mengikatnya. Namun, seiring berjalannya waktu, peraturan tersebut malah ada untuk dilanggar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk setiap kecurangan dan ketidakjujuran dalam olahraga, motif utamanya adalah antara kemenangan atau uang; atau keduanya.

Namun, jika dua hal di atas adalah inti dari segalanya, maka tidak heran jika perilaku curang sangat bervariasi, mulai dari tindakan remeh sampai tindakan kriminal berat.

Satu contoh terbaru, ketika Wayne Rooney terjatuh untuk mendapatkan penalti saat melawan Preston North End di Piala FA, banyak yang mengecamnya sebagai bentuk dari simulasi diving.



Proses pelanggaran terhadap penalti Rooney – sumber: The Telegraph

Kapten Manchester United dan tim nasional Inggris itu terjatuh setelah kiper Preston, Thorsten Stuckmann, meluncur untuk menghalau bola. Kemudian Rooney sendiri yang berdiri untuk mengkonversi penalti yang memenangkan United 3-1.

Debat tentang apakah Rooney benar-benar terjatuh atau melakukan diving memang tidak akan ada habisnya. Di sini juga kami sedang tidak memperdebatkan gambar di atas, jadi Anda boleh menghakiminya menurut pertimbangan Anda masing-masing.

Jauh sebelum kasus Rooney di atas, yang paling terkenal adalah ketika FIFA menghukum Luis Suarez larangan empat bulan tidak boleh terlibat dalam sepakbola setelah ia menggigit bek Italia, Giorgio Chiellini, pada pertandingan di Piala Dunia 2014.

Insiden itu memicu kemarahan di seluruh dunia, dengan banyak mengatakan hukuman itu terlalu lunak untuk "kejahatan keji" seperti itu.

Tapi di tengah semua perdebatan di atas, kami akan mencoba mencari tahu dari mana awalnya perilaku tidak sportif ini berasal. Karena Suarez bukanlah satu-satunya pemain yang melakukan diving, pelanggaran atau tekel kotor, dan perilaku tak terpuji lainnya yang terjadi di atas lapangan. Semua perilaku di atas tentunya membuat kita bertanya-tanya kenapa pemain kadang-kadang bertindak dengan cara ini.

Penelitian psikologi olahraga menunjukkan bahwa jelas ada beberapa karakteristik pribadi yang mempengaruhi pemain untuk berlaku curang dan tidak jujur, tapi lingkungan sosial juga memainkan peran kunci.

Pengertian Kesuksesan

Tujuan dari permainan dalam sepakbola tentunya adalah sebuah kemenangan. Tidak mengherankan, selain uang, kecurangan sebagian besar didorong oleh keinginan untuk menang, berhasil, atau sukses.

Menurut psikologi olahraga, ada dua jenis keberhasilan, yaitu obyektif dan subyektif.

Keberhasilan obyektif secara umum dapat diukur dengan banyaknya jumlah gol yang bisa suatu tim cetak, yang pada akhirnya akan menentukan siapa yang memenangkan permainan.

Namun, ada juga kesuksesan yang subyektif. Hal ini dapat diterapkan dalam menghadapi kekalahan dan dimana pemain memiliki pengertiannya tersendiri tentang kesuksesan yang mereka kembangkan dari waktu ke waktu, terutama melalui sosialisasi dengan orang lain yang signifikan, seperti keluarga, suporter, atau pelatih.

Pemain yang berlaku curang sering memiliki ego yang besar dan penempatan posisi yang salah dalam rangka menentukan keberhasilan yang berkaitan dengan orang lain. Untuk seorang pemain, kepuasan melalui prestasi adalah tergantung pada bagaimana ia melakukan lebih baik daripada orang lain.

Sebaliknya, pemain lain cenderung untuk merasa berhasil ketika mereka mencapai kemenangan melalui kerja keras dan kesungguhan hati. Sukses menurut pemain tipikal seperti ini akan memiliki nilai dan makna ketika dicapai bukan melalui kecurangan, tetapi melalui usaha pribadi.

Pemain yang mengutamakan ego cenderung menipu dan menjatuhkan orang lain, sedangkan pemain yang menghargai kerja keras lebih mungkin untuk bermain sesuai dengan aturan.

Nilai Identitas Moral



Pemain sepakbola memiliki karakteristik yang berbeda jika dikaitkan dengan pentingnya sebuah nilai moral. Beberapa merasa bahwa sifat-sifat tertentu seperti adil dan jujur merupakan bagian penting dari identitas mereka, dan ini akan memotivasi tindakan moral mereka.

Dalam sebuah karya tulis di sebuah jurnal yang berjudul "Goal orientations and moral identity as predictors of prosocial and antisocial functioning in male association football players", kami menemukan pemain sepakbola dewasa yang memiliki identitas moral yang kuat dilaporkan memiliki frekuensi yang rendah pada perilaku antisosial seperti diving, handball yang disengaja, dan mencoba untuk mencederai lawan dengan sengaja.

Secara banal, bisa dibilang Luis Suarez bukan merupakan pemain dengan karakteristik seperti yang disebutkan di atas, setidaknya di atas lapangan.
Meskipun perbedaan individu bisa membedakan pemain sepakbola yang curang dan yang tidak curang, pengaruh yang paling penting berasal dari lingkungan tim, terutama pelatih.

Melalui penghargaan yang pelatih atau manajer berikan, dan cara mereka berinteraksi dengan pemain, pelatih berkomunikasi tentang apa yang penting dalam sepakbola menurut mereka.

Sebagai contoh, ketika pelatih hanya menghargai pemain terbaik, dan selalu menekan pemain untuk menang, mereka secara tidak langsung akan mengirim pesan yang jelas bahwa: kemenangan adalah segalanya.

Demikian pula, ketika pelatih mendorong pemain untuk diving, yang bisa mereka utarakan melalui sebuah pesan dalam wawancara yang menanyakan opini tertentu, atau membenarkan pemain mereka yang diving dengan berkata itu adalah hal yang wajar, maka mereka mengirim pesan bahwa perilaku ini dapat diterima.

Hal ini dapat membuat pemain untuk mempertimbangkan melakukan diving atau tindakan serupa lainnya ketika mereka mendapatkan kesempatan.

Dalam penelitian lainnya, yang berjudul "Contextual influences on moral functioning of male youth footballers", Maria Kavussanu dan Christopher M. Spray menyatakan bahwa pemain sepakbola yang merasa bahwa pelatih mereka mendorong perilaku curang seperti diving untuk mengelabuhi wasit, akan cenderung melakukan kecurangan tersebut.

Menariknya, pemain-pemain ini juga berpikir bahwa tindakan mereka adalah tepat. Artinya, mereka tidak ragu untuk diving atau berlaku curang.

Perilaku Manipulasi sebagai Dasar Segala Kecurangan

Pada tahun 1960 sampai 1970-an, kita bisa melihat ada yang salah dengan pola pikir para pemain sepakbola. Pada masa itu, pemain “merayakan” keahliannya dengan cara yang berbeda seperti yang sekarang ini.

Contohnya ada Norman Hunter dan Billy Bremner dari Leeds United, Tommy Smith dari Liverpool, Ron Harris dari Chelsea, Peter Storey dari Arsenal, sampai Nobby Stiles dari Manchester United.

Mereka semua adalah pemain yang terkenal karena kemampuan manipulasi mereka, tepatnya adalah memanipulasi secara fisikal dari lawan mereka. Dengan pemain seperti ini, apa yang kita lihat adalah apa yang akan kita dapatkan, meskipun sangat menyakitkan.

Misalnya, apa yang akan Anda lakukan jika lawan menendang Anda? Tentunya Anda dapat membalas dengan menendangnya lagi, atau malah berlaku sedikit "pintar" dengan membuat mereka mendapatkan masalah, sementara Anda bisa keluar dari masalah, yaitu dengan memanipulasi kontak fisik dengan melebih-lebihkan reaksi Anda.

[Untuk lebih memahami tentang diving, Anda bisa membaca artikel berikut: Menolak Diving!]

Pada satu kesempatan, Robin van Persie pernah mengaku, "Anda berhak untuk menunjukkan kepada wasit bahwa Anda dilanggar. Itu bukanlah diving, itu lebih kepada berkata bahwa: 'Sit (wasit), dia melanggar saya, nih!' Kadang itu diperlukan."

Adu fisik dalam sepakbola memang seringkali dimanfaatkan oleh banyak pemain untuk mendapatkan tendangan bebas atau tendangan penalti. Kebiasaan itu sudah mengakar di sepakbola jauh sebelum kasus Rooney, Suarez, maupun Bremner.



"Kecerdikan" bisa jadi sudah "disalahgunakan". Apapun alasannya, di sini si pemain justru bertindak tepat dengan memindahkan "beban moral" kepada wasit, si penentu keputusan.

Namun, dari semua manipulasi di atas, tidak ada manipulasi yang lebih hebat daripada saat Juergen Klinsmann, yang terkenal suka diving, datang ke Tottenham Hotspur dan dihujat sebagai diver. Kemudian saat jumpa pers, ia malah bertanya kepada wartawan, "Apa ada sekolah diving (menyelam) di London?"

Puncaknya adalah saat ia mencetak gol pada debutnya melawan Sheffield Wednesday di Hillsborough, ia mematenkan pernyataannya dengan sebuah perayaan gol diving yang juga diikuti oleh rekan-rekannya.

Saat itu, Klinsmann bukan saja berhasil memanipulasi kontak fisik, ia juga berhasil memanipulasi peraturan dan juga memanipulasi audiens. Sangat brilian.

Glorifikasi sebagai Pembenaran

Dalam sepakbola, ada juga pemain yang berlaku curang secara berulang-ulang. Untuk kasus yang paling up to date, mau-tidak-mau kami harus kembali menyebut nama Luis Suarez.

Ia sudah dituduh menggigit lawan sebanyak tiga kali (Otman Bakkal saat di Ajax, Branislav Ivanovic saat di Liverpool, dan Chiellini saat di Piala Dunia 2014) dan dia selalu berusaha untuk mengecilkan signifikansinya.

Banyak yang terkejut dengan kurangnya rasa bersalah atau rasa malu dari dirinya, yang merupakan emosi yang biasanya menghalangi orang dari perilaku tidak bermoral. Hal ini dicerminkan dengan seringnya ia melakukan kecurangan serupa.

Bagaimana "penjahat" ini di lapangan bertindak seperti yang mereka lakukan tanpa merasa buruk? Perilaku dibenarkan melalui pelepasan moral, yang merupakan satu set mekanisme yang digunakan orang untuk membenarkan kecurangan atau bentuk lain dari perilaku yang tidak pantas.

Misalnya, pemain dapat menyerahkan tanggung jawab atas tindakan mereka kepada pelatih mereka, dengan mengatakan bahwa pelatih mengatakan kepada mereka untuk melakukannya. Atau juga mereka mungkin menyalahkan pemain dari tim lain dengan mengklaim bahwa mereka sudah terprovokasi. Atau bisa juga mengatakan bahwa mereka melakukannya untuk membantu tim mereka.



Intinya si pelaku curang bisa mengecilkan konsekuensi dari tindakan mereka untuk orang lain, atau bahkan mereka bisa mengatakan bahwa "semua orang juga melakukannya". Seperti membuang sampah sembarangan pada masyarakat kita.

Pada contoh lainnya, tapi masih dari pemain yang sama, Suarez melakukan handball di depan gawang untuk menggagalkan tendangan yang dianggap akan menjadi sebuah gol kemenangan untuk Ghana pada perempat-final Piala Dunia 2010.

Suarez memang setelah itu diusir, tapi tendangan penalti Ghana meleset, dan pada akhirnya Uruguay berhasil melaju ke semi-final dengan memenangkan pertandingan melalui drama adu penalti.

Setelah itu, Oscar Tabarez, pelatih timnas Uruguay, malah membela Suarez dengan mengatakan bahwa tindakannya adalah "instingtif". Begitupun rekan-rekan setimnya merayakan kemenangan bersama Suarez seolah membenarkan tindakannya. Bahkan masyarakat Uruguay juga menganggapnya sebagai "pahlawan yang rela berkorban untuk negaranya" dan menjuluki tindakannya sebagai "Tangan Tuhan" (menyerupai kasus serupa dalam gol Maradona). Pengakuan besar-besaran seperti itu adalah sebuah glorifikasi, dimana sebuah tindakan yang tidak dibenarkan (secara peraturan maupun secara moral) malah dirayakan sebagai sebuah kejayaan.

Pembenaran ini memungkinkan pemain untuk meminimalkan emosi negatif yang biasanya dialami ketika seseorang melakukan kecurangan. Dalam jurnal "Effects of goal orientation and perceived value of toughness on antisocial behavior in soccer: the mediating role of moral disengagement", peneliti menemukan bahwa pemain sepakbola selalu melepaskan emosi negatif dari beban moral dengan perilaku antisosial yang tinggi, seperti berlaku curang.

Khusus untuk Suarez, seberapa banyak pun yang menghujatnya, ia selalu memiliki banyak orang di belakangnya yang mendukungnya.

Mengubah Perilaku

Jawaban yang lebih baik dari segi moral terletak langsung pada lingkungan sosial si pemain, yaitu rekan tim, suporter, dan manajer mereka. Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab di atas, glorifikasi menjadi penghalang utama dalam perubahan perilaku dan juga moral pelanggar.
Keputusan FIFA untuk menghukum Suarez larangan terlibat dalam kegiatan sepakbola selama empat bulan sudah mengirimkan pesan bahwa perilaku ini tidak dapat diterima. Tapi ini bukan pertama kalinya Suarez telah bertindak dengan cara ini dan mendapat hukuman.

Mengingat bahwa perilaku ini sudah terjadi berulang, hukuman yang lebih berat akan lebih mungkin untuk ditindak sebagai pencegahan bagi perilaku kecurangan di masa depan.

Jelas, pemain pasti akan mendapat manfaat dari lingkungan sosial yang tidak mendorong perilaku semacam ini. Padahal, dari dua unsur kita bahas pada awal tulisan ini ―yaitu motif utama kecurangan dalam olahraga adalah antara kemenangan atau uang; atau keduanya― kita baru membahas soal kemenangan (kesuksesan).

Sedangkan unsur uang belum kita bahas. Perjudian, doping, dan pengaturan skor juga sudah mengakar pada sepakbola (dan olahraga), tapi memang tak ada yang bisa memastikan.

Satu hal yang jelas yang menjadi pegangan kita semua: peraturan pertama dan utama dalam berlaku curang adalah, jangan sampai ketahuan. Sedangkan sisanya adalah: Ya, sama-sama tahu aja, lah.

***

Sumber jurnal ilmiah dan buku:

  • Luke Sagea, Maria Kavussanua, Joan Duda. Goal orientations and moral identity as predictors of prosocial and antisocial functioning in male association football players. Journal of Sports Sciences, Volume 24, Issue 5, 2006.
  • Maria Kavussanu, Christopher M. Spray. Contextual influences on moral functioning of male youth footballers. (2006). The Sport Psychologist, 20 (1). pp. 1-23. ISSN 0888-4781.
  • Ian David Boardley, Maria Kavussanu. Effects of goal orientation and perceived value of toughness on antisocial behavior in soccer: the mediating role of moral disengagement. (2010). Journal of Sport and Exercise Psychology, 32 (2). pp. 176-192. ISSN 0895-2779.
  • Mike Rowbottom. Foul play: the dark arts of cheating in sport. Bloomsbury, London, 2013.
====

*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball dan banyak membahas soal sport science, beredar di dunia maya dengan akun @dexglenniza

*Foto-foto: AFP dan Getty Images



(roz/roz)

Hide Ads