Pep Guardiola adalah rajanya inovasi yang kadang-kadang tidak penting ini. Ketika Philipp Lahm yang berpostur sebagai seorang fullback ditempatkan sebagai gelandang bertahan, reputasi Guardiola membuat kita menganggapnya sebuah penemuan agung. Demikian juga ketika Javi Martinez diplot oleh Guardiola sebagai bek tengah, berbeda dengan posisi asliya sebagai seorang gelandang bertahan.
Contoh lain adalah Thomas Mueller, sang manipulator ruang. Sebagai seorang pemain menyerang, gaya permainan Mueller sukar didefinisikan. Ia tentu saja punya naluri yang tajam dalam mencetak gol, namun menyimpulkan dirinya sebagai striker klasik juga tidak tepat. Fisiknya biasa saja, bahkan cenderung terlalu kurus untuk seorang pemain depan. Barney Ronay dari The Guardian menyebut Mueller lebih mirip mahasiswa kedokteran gigi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu datang striker Brasil, Fred...
Dengan tren false nine dan defensive forward dewasa ini, kita tak lagi asing melihat pemain depan yang turun jauh ke bawah untuk membuka ruang atau striker yang punya tugas sampingan untuk mengganggu deep-lying playmaker lawan. Pendeknya, penonton sepak bola modern sudah bisa menerima bahwa terkadang ada penyerang yang tugasnya bukan untuk mencetak gol.
Tapi tren tersebut juga membuat para pengamat kerap terlalu tenggelam dalam menganalisis seorang pemain yang kontribusinya di lapangan secara kasat mata tak menonjol dan mengambil kesimpulan yang seolah-olah membuat pemain tersebut luar biasa atas nama sepak bola modern.
Sudah 2 pertandingan diarungi Brasil di Piala Dunia kali ini dan dalam kedua partai tersebut Fred selalu menjadi starter. Pada partai pertama melawan Kroasia, Fred sama sekali tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada Selecao. Tidak sekali pun tendangan ke gawang, tidak ada assist, dan tidak juga melakukan solo run ke final third pertahanan tim lawan. Satu-satunya sumbangsih Fred pada Brasil hari itu hanyalah ketika wasit secara gegabah memberikan penalti usai dirinya jatuh dengan dramatis usai berbenturan dengan Dejan Lovren.
Pada partai kedua melawan Meksiko, kontribusi Fred meningkat tapi sama sekali jauh dari memuaskan. Ia tercatat melakukan 2 tendangan ke gawang Meksiko yang semuanya bisa dimentahkan oleh kiper Guillermo Ochoa yang bermain fantastis dalam laga itu. Tapi, selain sepasang tembakan yang ia hasilkan, tak ada lagi yang dilakukan Fred di lapangan bagi Brasil. Statistik tambahan yang tak berpihak pada Fred: Dari 16 operan bola yang ia lepaskan kepada rekannya, hanya separuhnya yang sampai tepat sasaran.
Penampilan Fred ini membuat banyak orang bertanya, sebenarnya apa kegunaan dari Fred di lapangan? Buruknya penampilan Fred membuat Brasil seolah-olah bermain dengan 10 orang. Pada partai pertama kritik masih bisa dibendung karena Brasil menang. Namun, usai partai imbang melawan Meksiko, Fred tak lagi bisa dibela. Pelatih Luiz Felipe Scolari pun mengganti Fred di menit ke-68.
Adalah sesuatu yang vital bila Scolari sampai jengah melihat penampilan Fred di lapangan. Scolari adalah orang yang menghidupkan kembali karier Fred di timnas Brasil. Ia menjadi pilihan utama di lini depan Brasil setelah Scolari menggantikan Mano Menezes. Sejak Scolari kembali menjadi pelatih Brasil tahun 2012, Fred telah mencetak 10 gol untuk tim nasional, sebuah pencapaian yang hanya bisa dilampaui oleh Neymar.
Bahkan jika dirunut, dalam skuat yang dibawa Scolari di Piala Dunia kali ini, Fred adalah pemain yang memiliki jumlah gol paling banyak (17) yang hanya bisa dikalahkan oleh Neymar (33). Tahun lalu pun Fred menjadi pencetak gol terbanyak di Piala Konfederasi, sebuah pencapaian yang sempat membungkam para pengkritiknya sejenak.
Melempemnya Fred sebagai striker membuat publik Brasil terkenang kembali pada sosok Serginho, penyerang Selecao saat bermain di Piala Dunia 1982. Dalam skuat yang dipenuhi seniman-seniman Samba seperti Socrates dan Zico, Serginho dianggap sebagai robot kaku yang tak jelas fungsinya apa di lapangan.
Serginho mencetak 2 gol dari 5 penampilannya di Piala Dunia 1982 tapi itu tidak mengurangi anggapan miring kepada dirinya yang membuat bekas pelatih Brasil, Joao Saldanha sampai mengatakan, "Sekarang bola sudah bundar lagi" usai Serginho diganti pada sebuah pertandingan tahun itu.
Tidak menonjolnya penampilan Serginho kala itu karena ia lebih banyak ditugaskan untuk sebagai poros di depan untuk membuka ruang dan membiarkan para gelandang kreatif di belakangnya untuk berkreasi. Ini membuat Serginho berperan sebagai seorang unsung hero, pahlawan yang tak pernah mendapat cukup apresiasi karena aktivitasnya yang tak kasat mata.
Baru pada beberapa tahun belakangan saja berbagai tulisan dan analisa yang diturunkan para wartawan Eropa mencoba untuk menggali lagi kiprah Serginho dan merehabilitasi namanya. Munculnya false nine dan defensive forward membuat pemain seperti Serginho sekarang tak terlihat aneh, namun tidak pada dekade 80-an di mana strategi dan mikro-taktik belum serumit sekarang.
Hanya di skema Scolari sajalah Fred bisa terpakai. Dalam deretan artis di dalam starting line-up Brasil, Fred hanyalah pemeran pembantu yang keberadaan untuk menegaskan peran para aktor utama. Fungsi Fred di lapangan adalah untuk menggelar karpet merah agar para pangeran seperti Neymar dan Oscar bisa berjalan di atasnya.
Perdebatan mengenai peran Fred bisa sangat panjang bila memakai argumen yang sama dalam mengapresiasi Serginho. Tapi betapa pun seorang striker diplot menjadi seorang pemain post-modern, pola gerak Fred yang minim sentuhan dan tusukan di wilayah pertahanan lawan benar-benar memprihatinkan. Dengan catatan torehan golnya, Fred sejatinya tidak hanya diharapkan untuk membuka ruang, namun juga menjadi lumbung gol. Bagaimana pun ia adalah pemain dengan jumlah gol terbanyak kedua di skuat Scolari ini.
Sebenarnya keberadaan Fred ini hanya puncak gunung es dari masalah sebenarnya yaitu minimnya striker berkualitas yang dimiliki Brasil sekarang. Cadangan dari Fred hanyalah Jo dan kedua pemain ini bahkan tak layak untuk mengikat sepatu para penyerang Brasil terdahulu seperti Ronaldo dan Romario.
Keberadaan Fred sebagai non-scoring striker ini mengingatkan kepada penyerang Prancis pada Piala Dunia 1998, Stephane Guivarcβh. Tak sekali pun Guivarcβh mencetak gol pada turnamen itu dan dianggap sebagai titik terlemah dari skuat Les Bleus yang menjuarai Piala Dunia. Pelatih Aime Jacquet membela Guivarcβh dengan mengatakan bahwa perannya yang paling utama adalah menjadi pivot para gelandang dan bukan mencetak gol.
Pembelaan yang sama juga bisa diterapkan dalam kasus Fred, namun seperti halnya Guivarcβh yang terlupakan usai Piala Dunia 1998, seandainya Brasil jadi juara dunia kali ini pun tak akan banyak yang mengingat Fred. Bahkan kiper lawan pun sering lupa kalau Fred bermain di lapangan.
====
* Penulis adalah satiris dan penulis sepakbola. Dia juga presenter di BeIn Sport Indonesia. Bisa dihubungi melalui akun twitter @pangeransiahaan
(a2s/roz)











































