[Baca bagian pertama di sini: Mementingkan Hak Ekonomi Ketimbang Prestasi]
FIFA kesulitan melarang praktik kepemilikan pihak ketiga/third party ownership (TPO) karena praktik TPO tumbuh subur di mayoritas negara di Amerika Selatan, Eropa Timur, serta Portugal dan Spanyol.
Melarang praktik TPO secara radikal membutuhkan penyesuaian yang tidak sebentar. Praktik TPO merupakan simbiosis mutualisme bagi negara-negara di Amerika Selatan,bahkan bagi FC Porto dan Benfica. Malah pelarangan tersebut akan merusak sistem Liga Amerika, MLS, yang semua pemainnya dimiliki oleh operator liga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tumbuh Subur di Amerika Selatan
Kultur sepakbola di Amerika Selatan membuat banyak anak yang mempertaruhkan hidupnya untuk sepakbola. Maka tidak sedikit investor yang mencari celah untuk mempromosikan pemain muda dalam bentuk pemandu bakat. Praktik TPO telah menyusup hingga hal yang paling dasar.
Ahli Hukum Olahraga yang tinggal di Argentina, Ariel Reck, dalam artikelnya "Third party player ownership: current trends in South America and Europe", menuliskan bahwa investor TPO di Amerika Selatan umumnya berasal dari negara maju. Mereka sadar bahwa ada keuntungan besaryang bisa didapatkan dari biaya transfer pemain.
Gayung bersambut karena kesebelasan di Amerika Selatan pada umumnya memiliki kekuatan finansial yang terbatas. Mereka tidak seperti kesebelasan di Liga Primer Inggris yang bisa mendapatkan revenue minimal 60 juta pounds setiap musimnya. Kultur di Amerika Selatan membuat klub kesulitan memaksimalkan keuntungan seperti dari merchandise dan pengelolaan tetek bengek di stadion.
Ini berpengaruh pada nilai kontrak pemain. Gaji, bonus, serta exposure yang ditawarkan klub Eropa, membuat di sanalah tujuan utama pesepakbola. Maka, jangan heran jika banyak pemain Amerika Selatan yang bermigrasi ke seluruh dunia, utamanya Eropa.
Meskipun sempat masuk dalam lima liga terbaik versi majalah World Soccer pada 2013, nyatanya masih ada sejumlah masalah yang mendera pengelolaan Liga Brasil. Dua klub besar, Flamengo dan Vasco da Gama, tengah menghadapi badai krisis finansial.
Berdasarkan laporan Inside World Football, pada Oktober 2014 atau empat bulan setelah Piala Dunia, Liga Brasil didera krisis baru di mana 50% pesepakbola profesional dan ofisial, gajinya belum dibayar. Beberapa klub bahkan dikabarkan hampir bangkrut karena krisis ini. Salah satu alasannya adalah klub yang menggaji pemain terlalu tinggi, karena menyesuaikan dengan standar gaji pesepakbola di Eropa.
Hampir semua klub mengandalkan investor TPO untuk membantu keuangan mereka. Terutama bagi klub kecil yang sebenarnya tak mampu menggaji pemain dengan nilai sebesar itu. Maka, selama belum dilarang secara tegas, praktik TPO masih akan menjamur di Amerika Selatan.

Merangsek Ke Eropa Lewat Kultur yang Sama
Brasil adalah negara pengekspor pesepakbola terbesar di dunia. Berdasarkan liputan Goal, hingga 2013, Brasil sudah "mengekspor" 1.558 pesepakbola ke luar negeri.
Salah satu tempat tujuan mereka yang eksodus dari Brasil adalah Portugal. Secara geografis, Portugal adalah negara Eropa dengan ibukota yang paling dekat dengan Brasil. Secara budaya, ada kesamaan seperti sama-sama menggunakan bahasa Portugis.
Aktivitas TPO di Amerika Selatan pun merambah ke Spanyol. Mayoritas warga Amerika Latin umumnya menggunakan bahasa Spanyol sebagai bahasa penutur. Kesamaan ini juga terlihat dari pengelolaan klub sepakbola baik di Amerika Selatan, maupun di Portugal dan Spanyol.
Spanyol adalah liga terbaik di dunia untuk tahun 2014 versi IFFHS. Namun, kondisi finansial klub-klub di Spanyol tidak sebaik seperti mereka yang berkompetisi di Liga Primer Inggris. Uang di Spanyol adalah tentang Real Madrid dan Barcelona.Klub-klub lain tidak bisa dibilang kaya, tidak juga disebut kekurangan. Karena bahkan klub seperti Athletic Bilbao saja tak bisa melepaskan diri dari pengaruh TPO.
Ada kesenjangan ekonomi dan kualitas yang besar di Spanyol. Cara klub lain di Spanyol untuk menyaingi Barcelona dan Real Madrid adalah dengan mendatangkan pemain berkualitas. Contohnya saja saat (klub sekelas) Atletico Madrid mendatangkan Radamel Falcao.
Dipinjamkan untuk Dijual
Apakah Anda percaya Atletico Madrid sengaja menjual Falcao di tengah kondisi lini serang yang membutuhkan ketajaman?
AS Monaco membeli Falcao seharga 52,8 juta pounds, yang menambah pemasukan Atleti dari penjualan pemain pada musim 2013/2014 mencapai 70 juta pounds. Di saat yang sama, mereka hanya belanja 30 juta pounds.Lantas, mengapa Falcao setuju pindah ke Monaco di saat sejumlah klub besar di Premier League membutuhkan jasanya?
Benar, Falcao terjebak dalam praktik TPO. Menurut Dailymail, kepindahannya dari River Plate ke Porto pada 2009, disertai dengan klausul baru: 55% hak ekonominya dikuasai Doyen Sports, perusahaan yang dibentuk super agen, Jorge Mendes.
Karena Spanyol tidak melarang praktik TPO, maka Doyen masih bisa menancapkan pengaruhnya di Atleti. Kepindahan Falcao dari Porto ke Atleti pada 2011/2012 senilai 40 juta euro, tak lepas dari pengaruh Doyen. Menurut Calcio & Finanza, separuh biaya transfer tersebut ditutup oleh Doyen.
Tentu, Doyen tidak meminjamkan separuh biaya transfer kepada Atleti, karena mereka tahu, Atleti sendiri adalah klub yang masih berutang. Pada akhir 2011, berdasarkan The Grantland, Atleti memiliki utang hingga 500 juta euro, dengan revenue hanya 100 juta euro.

Kepindahan Falcao ke AS Monaco disebut-sebut karena ada pengaruh dari investor TPO. Mereka memengaruhi keputusan Falcao dan Atleti untuk melepas penyerang timnas Kolombia tersebut ke Liga Prancis. Dugaan lainnya adalah Monaco masih memiliki hubungan dengan Doyen Sports Investment, sehingga nilai transfer dari kepindahan Falcao ke Monaco bisa direkayasa.
Pemain yang dipinjamkan untuk dijual lainnya adalah kasus paling fenomenal: Carlos Tevez dan Javier Mascherano. Kepindahannya ke West Ham United, diduga hanya akal-akalan Kia Joorbachian untuk meningkatkan nilai ekonomi keduanya.West Ham dipilih karena bisa menjadi etalase yang memikat.
Hal yang Biasa
Di tempat asalnya, di Amerika Selatan, TPO adalah hal yang biasa. Berdasarkan liputan Goal, sekitar 90% pesepakbola Brasil, terkait dengan TPO. Contohnya, sebanyak 10 pemain Corinthians yang mengalahkan Chelsea dalam Piala Dunia Antar Klub 2012, adalah bagian dari TPO.
Dengan pemasukkan yang lebih kecil, sulit bagi klub untuk tidak menaikkan kontrak pemain yang ingin pindah ke Eropa. Klub berargumen bahwa praktik TPO pada dasarnya bisa membuat klub lebih kompetitif untuk bersaing dengan kesebelasan yang jauh lebih kuat secara finansial, maupun kualitas pemain.
Kondisi di Amerika Selatan sebenarnya mirip dengan apa yang terjadi di Liga Portugal. Dua klub besar Liga Portugal, Benfica dan Porto, memperlihatkan kenyataan yang mengagetkan. Berdasarkan data tahunan Benfica untuk musim 2012/2013, hanya sembilan dari 27 pemain yang benar-benar dimiliki Benfica. Sementara itu, berdasarkan data yang dikeluarkan KEA-CDES pada Januari 2013, sebanyak 20 dari 27 pemain FC Porto, dimiliki oleh investor TPO!
Laporan yang disusun auditor internasional, KPMG, pada 2013 silam menunjukkan bahwa 75% dari keseluruhan nilai pasar pemain di liga-liga Eropa, berada di bawah negara yang memperbolehkan TPO. Sementara Liga Inggris, Prancis, dan Polandia, hanya menyumbangkan 25% atau setara 5,1 miliar pounds.
Aktivitas ini lambat laun menjadi hal yang biasa terjadi. Bagi Benfica dan FC Porto, TPO dapat menjadi sumber dana segar bagi mereka untuk mengarungi kompetisi Eropa. Untuk bisa bersaing dengan klub top Eropa, diperlukan skuat yang luar biasa, bukan?
Bertemu dengan Orang Misterius
Perpindahan Marcos Rojo ke Manchester United, membuat geram Presiden Sporting Lisbon, Bruno de Carvalho. Pasalnya, kepindahan tersebut tidak atas persetujuan klub.
Berdasarkan laporan Telegraph, Sporting menerima tawaran untuk Rojo pada 2 Agustus 2014. Meskipun tidak tahu dari klub mana, Sporting dengan tegas menolak tawaran tersebut. Pasalnya, Rojo merupakan pemain penting di skuat Sporting. Namun, negosiasi tetap berlanjut tanpa persetujuan klub.

Tiba-tiba saja, perwakilan klub yang meminati Rojo datang ke Estadio Jose Alvalade. Mereka menggunakan bahasa Inggris, sehingga klub menganggapnya sebagai perwakilan dari Manchester United. Kenyataannya, mereka adalah orang-orang dari Doyen.
Setelah penolakan tersebut, Doyen memperingatkan jika Sporting masih menolak, Rojo akan menyebabkan masalah di klub. Salah satu contohnya adalah saat ia menolak untuk berlatih sebagai bentuk protes agar ia bisa pindah Old Trafford.
Namun, Doyen menolak untuk dilibatkan. Mereka mengeluarkan pernyataan yang menolak tuduhan bahwa Doyen turut campur dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Sporting.
Merusak Sistem MLS
Sistem Liga Sepakbola Amerika, MLS, berbeda dengan sistem yang diterapkan oleh liga-liga lain di dunia. Mereka menerapkan sistem franchise. Artinya, pemilik tinggal menyerahkan persyaratan termasuk modal untuk bisa membentuk klub. Pemilik tidak perlu pusing-pusing mencari pemain, karena seperti halnya perusahaan franchise, MLS sebagai operator liga sudah menyediakan pemain yang bisa dipilih oleh klub.
Advokat asal Prancis, Victoriano Melero dan Romain Soiron, dalam artikelnya "The Dilemma of Third-Party Ownership of Football Players", menuliskan bahwa hak federatif di Liga Amerika tidak dimiliki oleh klub melainkan oleh MLS sebagai operator liga. Artinya, semua klub yang berpartisipasi di MLS tidak memiliki hak ekonomi atas pemain.
"Jika FIFA melarang segala tipe TPO atas hak federatif pemain, hal tersebut dapat merusak keseluruhan sepakbola Amerika, dan berpotensi (merusak sistem) di banyak negara lain," tulis Melero dan Soiron.
Sebegitu berpengaruhnya investor TPO bagi kesebelasan yang kesulitan dana. Investor memegang peranan penting, karena merekalah yang menambahkan nilai atas seorang pemain, terkadang, mereka juga yang menutup biaya transfer sang pemain.
Jika Doyen Sports Investments tidak datang ke Madrid pada saat itu, untuk menalangi Falcao, barangkali Atletico Madrid sudah diseret ke pengadilan karena tak sanggup bayar.
Lalu, jika memiliki pengaruh besar, mengapa UEFA tidak suka? Mengapa Premier League menyebutnya sebagai perbudakan modern?
[Bersambung]
====
*penulis adalah penulis dari @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @aditz92
*Foto-foto: AFP dan Getty Images
(roz/krs)