Asosiasi Pesepakbola Profesional Dunia (FIFPro) mengkritik keras PSSI, terkait penetapan standar pemotongan gaji pemain Shopee Liga 1 dan Liga 2 2020 yang dinilai sepihak.
PSSI mempersilakan klub Shopee Liga 1 dan Liga 2 membayar gaji pemainnya maksimal 25 persen. Keputusan itu tertuang dalam penetapan force majeure kompetisi yang ditandatangani Ketum PSSI, Mochamad Iriawan, pada 27 Maret lalu.
Keputusan itu langsung mendapat reaksi dari Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI). Kini giliran FIFPro yang angkat bicara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama krisis ini kami telah melihat banyak keputusan dari asosiasi sepakbola yang tidak sebagaimana mestinya," kata Direktur Legal FIFPro Roy Vermeer dalam rilisnya.
"Mereka membuat resolusi yang sangat mengabaikan hak dasar pekerja. PSSI melakukan intervensi dalam hubungan kerja tanpa inisiatif untuk mengundang pemain ke meja yang sama," ujarnya menambahkan.
Dalam rilisnya, FIFPro juga menyoroti besaran gaji pemain di Liga 2. Dalam kondisi normal pun gaji di Liga 2 mereka sebut sudah di bawah standar.
Dari informasi yang mereka dapat, tak ada klub Liga 1 yang membayar gaji lebih dari 25 persen sejak Bulan April. Bahkan ada dua klub yang menggaji tak lebih dari 10 persen. Di Liga 2 lebih parah karena 24 klub hanya membayar 10-15 persen saja.
"Sebelum pemotongan, pemain Liga 2 hanya mendapat 200 US Dollar (sekitar Rp 2,9 juta) dan itu pun sudah di bawah standar minimum regional (UMR) sekitar Rp 300 US Dollar (sekitar Rp 4,4 juta). Dengan pemotongan 75 persen, gaji menjadi 50 US Dollar (sekitar Rp 736 ribu) atau hanya 17 persen dari gaji minimum (UMR)," sebut rilis FIFPro.
"Dengan fakta bahwa kebijakan ini masih berlaku sejak Maret adalah bukti kalau PSSI tak peduli dengan standar internasional bahkan dengan standar kesejahteraan di Indonesia sendiri," tutur Roy Vermeer lagi.
(krs/krs)