Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Detik Insider

    Sesukamulah, Pep

    - detikSport
    AFP/Patrik Stollarz AFP/Patrik Stollarz
    Jakarta - Namanya Josep Guardiola i Sala. Usianya baru 42 tahun, namun sudah mendapatkan hampir segala hal yang diidamkan para manajer. Hobinya adalah mengaplikasikan apa yang menurutnya menarik. Pokoknya, sesuka dialah.

    Ketika dirinya ditunjuk untuk menangani Barcelona pada 2008, usianya baru 37 tahun. Semua orang tahu siapa Pep Guardiola i Sala. Dia adalah salah satu gelandang jempolan, salah satu yang terbaik di generasinya, sehingga dijadikan role model untuk para gelandang yang tengah dibina di La Masia sana. Tapi, sebagai pelatih, siapa pula Pep?

    Dia belum pernah menangani tim manapun sebelumnya. Boro-boro gelar, mengatur pemain senior saja dia belum pernah. Tapi, sebagai orang dalam Barcelona yang juga pernah diberi tugas menangani tim B, Pep tahu luar-dalam soal klubnya itu. Dia tahu apa yang perlu diperbarui dan ditingkatkan ketika Barca mulai stagnan.

    Untungnya Pep juga diberkahi oleh benak yang imajinatif dan sikap untuk tidak ragu-ragu bertindak. Ketika Barca perlu dirombak, maka dirombaklah semua. Bintang atau bukan, kalau tidak cocok dengan skemanya, mau tidak mau dia depak. Betul-betul sesuka dia.

    ***

    Apa yang kemudian terjadi ketika Pep diberikan wewenang menangani tim seperti Bayern --yang bisa dibilang punya tim mapan dan kualitasnya teruji musim kemarin? Duduk ongkang-ongkang kaki? Santai? Tidak.

    Bahwa tiap manajer punya ego masing-masing, bisa jadi ada benarnya. Pep yang disebut berada di zona nyaman dengan diwariskan tim sedemikian bagusnya seperti enggan mengangguk pada pendapat tersebut. Bayern milik Pep Guardiola dipastikannya bakal berbeda dengan Bayern-nya Jupp Heynckes. Perubahan pun tidak terhindarkan.

    "Sistem 4-1-4-1 itu aneh. Ini benar-benar baru dan berbeda. Kami harus berlatih, berkomunikasi, dan belajar untuk bisa menyempurnakannya. Wajar-wajar saja jika pelatih ingin mencoba hal-hal baru," kata Franck Ribery kepada Bild.

    Pep tidak pernah secara gamblang membeberkan seperti apa idenya di depan media. Akhirnya, yang ada, orang-orang pun hanya bisa melihat apa yang diaplikasikan Pep di lapangan. Simon Kuper, penulis buku terkenal Football Against The Enemy, pernah berusaha mengupas seperti apa benak Pep demi memahami apa yang akan dia aplikasikan di lapangan.

    Kuper bahkan sampai meluangkan waktu untuk berbincang dengan Albert Capellas. Orang yang disebut terakhir ini adalah asisten manajer di Vitesse saat ini. Namun, yang menarik adalah latar belakangnya. Capellas adalah orang yang membawa Sergio Busquets ke dalam tim Barcelona, sekaligus melatih Andres Iniesta ketika dia masih berada di tim junior. Sedikit (atau banyak) Capellas tahu bagaimana Barca berkerja --dan akhirnya, bagaimana Pep bekerja.

    Pada perbincangan tersebut, Kuper mengaku dirinya mengalami banyak momen di mana hatinya berkata, "Benar juga!". Apa yang dilihatnya dari taktik Pep di lapangan dan apa yang dituturkan oleh Capellas pun menjadi klop.

    Sebelum final Liga Champions tahun 2011 di Wembley, Sir Alex Ferguson pernah mengatakan bahwa bagaimana Barca-nya Pep melakukan pressing sungguh melelahkan. Fergie mengalami hal itu ketika Manchester United bersua Barca pada final tahun 2009. Dia menganggap, Pep tidak akan melakukan strategi serupa di Wembley. Tapi, rupanya pria asal Skotlandia itu salah.

    Pressing jadi salah satu filosofi penting dalam sepakbola Pep. Di Barca, dia tidak mentolerir apa yang namanya kehilangan bola. Tiap kali seorang pemain kehilangan bola, maka dia diharuskan untuk mengejar dan mendapatkan bola itu kembali. Si pemain yang kehilangan bola itu tidak sendiri, pemain lain yang juga berada di dekat bola diharuskan membantu.



    Tactical plan Pep tidak hanya sampai di situ. Andai bola yang sudah dikuasai lawan tidak berhasil didapatkan lagi dalam waktu lima detik, maka mereka mulai mundur ke baris pertahanan. Di sana, mereka akan membentuk tembok yang terdiri dari 10 orang pemain.

    Sampai di sini, bisa dipahami mengapa Pep sampai menjadikan Philipp Lahm sebagai gelandang dalam beberapa laga pramusim Bayern. Tentu saja ini bisa dinilai sebagai "taktik suka-suka Pep" lagi, tapi tentu ada alasannya. Lahm adalah full-back jempolan, dia disebut punya positioning bagus --syarat yang juga dibutuhkan untuk jadi full-back kelas wahid--, dan cepat turun ke belakang ketika timnya kehilangan bola. Terlihat 'kan, apa yang diinginkan Pep dari tugas Lahm sebagai gelandang?

    Kuper juga menyebut bahwa Pep punya aturan 'Tiga Lawan Satu'. Dia mengharuskan salah satu pemain bertahannya untuk melakukan tekel terhadap lawan yang sedang membawa bola. Sementara, dua rekan lainnya berdiri tidak jauh untuk meng-cover bola yang lepas. Pep disebut mendapatkan ide ini ketika bermain di Italia dan melihatnya sebagai sebuah hal yang simpel, tapi efektif.

    Pergerakan pemain pun tidak kalah penting. Pep menilai bahwa seorang pemain yang butuh lebih dari satu detik untuk menemukan ke mana rekannya akan bergerak berpotensi untuk merusak arus. Oleh karenanya, jangan heran jika tak semua pembeliannya di Barca berjalan sukses. Hanya mereka yang benar-benar memahami sistem Barca saja yang bisa melakukannya. Bahkan, David Villa saja pernah mengaku bahwa gaya main dirinya di Barca hanya meng-copy apa yang dilakukan oleh Pedro Rodriguez.

    Entah seberapa absurd Anda memandang taktik Pep, mulai menempatkan Javier Mascherano jadi bek --sesuatu yang mungkin dia lakukan juga pada Javi Martinez-- atau mengubah formasi Bayern dari 4-2-3-1 menjadi 4-1-4-1, tentu ada alasan-alasan yang berkaitan dengan filosofinya itu.

    Pokoknya, sesuka dirinyalah.


    ===

    * Penulis adalah wartawan @detiksport . Akun twitter: @RossiFinza




    (roz/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game