Final Liga Champions: Antara Obsesi dan Kebebasan

Ada yang bilang bahwa mereka yang menjadi raja bukanlah mereka yang punya takhta. Melainkan mereka yang bebas dan bisa berbuat sekehendak hati.
Gampangnya, dengan bebas berkehendak sesuka hati dan melakukan apa yang mereka mau, mereka bebas dari keterkungkungan. Tidak ada kekangan ataupun syarat-syarat dan peraturan-peraturan yang wajib mereka penuhi.
Dari situ kemudian kita mengenal dalam ucapan-ucapan klise khas sepakbola yang diplomatis, seperti "Kami akan tampil 120% untuk menaklukkan mereka" atau "Skuat mereka lebih bagus, merekalah favoritnya, bukan kami." dan masih banyak yang lainnya lagi.
Di antara ucapan-ucapan klise itu muncul Jose Mourinho. Kita mengenalnya sebagai orang yang piawai mengolah kata, menaruhnya satu per satu, saling bersebelahan, hingga membentuk sebuah kalimat yang kadang kala bersayap. Singkat kata, Mourinho punya "klise"-nya sendiri, punya kebebasannya sendiri ketika berbicara.
Dia tidak akan bilang skuat lawan lebih bagus dan oleh karenanya layak jadi favorit, tapi akan menyebut lawan adalah sebuah kuda kaya yang lebih berpengalaman. Dia juga tidak akan bilang akan berusaha 120%, tapi akan mengatakan bahwa apapun agenda Chelsea, dia tidak akan memberikan "free pass" kepada lawan.
Menyoal ucapan soal "free pass" tersebut, yang secara lugas bisa diartikan Chelsea akan berusaha sebisa mungkin, Mourinho mengucapkannya beberapa hari menjelang laga melawan Liverpool di Anfield pada 27 April lalu.
Semua tahu, laga tersebut bak jadi laga penentu untuk Chelsea ataupun Liverpool. Namun, bagaimana kubu Chelsea dan Liverpool menghadapinya sungguh berbeda. Liverpool, yang sudah amat lama tidak menjadi juara, begitu serius sampai-sampai Steven Gerrard memberikan "pidato" singkat usai mengalahkan Manchester City. Gerrard dengan lantang meminta rekan-rekannya tidak lengah, jangan sampai terpeleset, jangan sampai trofi yang sudah hampir digapai lepas.
Sementara Chelsea, lewat Mourinho, menyikapinya lebih santai --atau setidaknya terlihat demikian. Pria asal Portugal itu melontarkannya seolah-olah Chelsea tidak punya peluang dan Liverpool sudah pasti menang. Lewat ucapan tersebut, Mourinho seolah-olah hanya akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak kalah. Ya, "seolah-olah".
Cerita selanjutnya, Chelsea menang 2-0 dan Gerrard melakukan blunder dengan terpeleset ketika hendak memberikan operan.
Dari beberapa teori yang beredar, Gerrard disebut gugup. Ada tekanan tersirat ketika Gerrard menyerukan peringatan untuk tidak berbuat kesalahan satu kali pun yang ironisnya malah dia lakukan sendiri. Di sisi lain, Mourinho yang terkenal jago psy war itu justru berhasil mengangkat beban dari pundak para pemainnya.
Setelah pertandingan, Mourinho dengan santainya malah berucap bahwa tidak masalah jika Chelsea akhirnya tidak juara. Toh, mereka sudah berhasil mengalahkan Liverpool dan Manchester City --dua tim yang disebutnya lebih layak jadi juara-- dua kali.
Berbeda dengan Gerrard yang berada dalam keterkungkungan dan pengaruh kewajiban untuk menang, Mourinho justru kebalikannya. Dengan santainya dia memasang taktik yang disebut Brendan Rodgers "memarkir dua bus" dan pulang dengan raupan poin penuh. Berbeda pula dengan Liverpool yang merasa wajib untuk tampil menyerang guna menang, Chelsea dan Mourinho merasa tidak masalah menerapkan taktik ultra-defensif.
Kita kemudian tahu bahwa tidak satu pun dari Chelsea dan Liverpool yang keluar sebagai juara. Namun, setidaknya, Mourinho telah memperlihatkan bahwa kebebasan dari sebuah keterkungkungan, bisa membuat seseorang atau sebuah tim mencapai tujuan.
====
Berkaca pada apa yang terjadi pada Chelsea dengan Mourinho-nya dan juga Liverpool, menarik untuk melihat bagaimana Atletico Madrid dan Real Madrid yang akan bertemu di final Liga Champions, Sabtu (24/5/2014).
Sama seperti Liverpool yang amat merindukan gelar juara liga, Madrid juga amat merindukan trofi Liga Champions. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka memenanginya; 12 tahun. Jangan heran, jika sejak musim ini bergulir yang keluar dari ucapan para penggawa Madrid adalah melulu soal La Decima.
"Sejak hari pertama saya di sini, segala sesuatunya selalu soal La Decima," ucap Ancelotti seperti dilansir Marca.
Seakan-akan, kegagalan Madrid menjuarai La Liga bisa termaafkan begitu mereka merengkuh trofi kesepuluh di Liga Champions. Sama seperti Liverpool, andai mereka keluar sebagai juara Premier League musim ini, hal tersebut akan terasa seperti sebuah pembebasan. Sebuah impian yang akhirnya dicapai jua.
Tapi, yang mengerikan dari sebuah keinginan yang lama terpendam dan tak kunjung tercapai adalah lama-lama dia akan berubah jadi sebuah obsesi. Sebuah obsesi yang tak kunjung tercapai akan membuat siapa pun yang menginginkannya bakal jadi putus asa.
La Decima pun tidak lain dan tidak bukan dianggap oleh sebagian pihak sebagai obsesi pribadi Madrid. Tentu, hal ini dibantah mentah-mentah oleh Madrid. Lewat mulut Gareth Bale, mereka menyebut bahwa keinginan memenangi Liga Champions semata-mata sebuah kelumrahan, hal wajar yang diinginkan tim mana pun. Bukan obsesi.
"La Decima bukanlah sebuah obsesi. Jika Anda bertanya kepada pemain mana pun di dunia ini, memenangi Liga Champions adalah sebuah mimpi," tegas Bale.
Namun, pemain termahal di dunia itu melanjutkan pernyataannya dengan kalimat demikian: "Ini adalah tekanan yang kami bebankan pada diri kami sendiri. Tapi, saya berharap kami bisa menanggungnya."
Ya, Bale cukup melek untuk menyadari bahwa keharusan memenangi Liga Champions adalah sebuah tekanan. Yang melegakan, tentunya untuk para pendukung Madrid, Bale berbesar hati untuk menanggungnya.
Di sisi lain, Atletico adalah tim yang cukup pintar untuk mengelak dari tekanan. Ambil contoh dari bagaimana mereka bermain. Ketika tim-tim besar seperti Madrid dan Barcelona memilih untuk bermain menyerang dan terbuka, Atletico tidak keberatan untuk menumpuk pemain rapat-rapat dan tampil bertahan ketika sudah unggul.
Manajer mereka, Diego Simeone, tidak ragu menggunakan tekel sebagai salah satu cara untuk bertahan dan memenangi perebutan bola. Baginya, ball possession bukanlah segala-galanya. Atletico boleh jadi bukan tim yang bagus dalam menguasai bola, tapi mereka justru bagus ketika sedang tidak menguasai bola.
Simeone, dalam hal ini, mirip-mirip dengan Mourinho. Dia tidak ragu untuk menerapkan sesuatu yang dipandang oleh sebagian besar orang tidak pantas atau miring.
Bandingkan pandangan Simeone akan tekel tersebut dengan filosofi Xabi Alonso. Dalam wawancaranya dengan Guardian beberapa tahun silam, gelandang Madrid tersebut mengatakan, cara terbaik dalam bertahan adalah menjaga daerah dan menutup ruang lawan, hampir sama dengan pandangan sepakbola modern.
"Saya tidak memandang tekel sebagai sesuatu yang hebat. Tekel adalah sebuah recurso (usaha terakhir)."
"Tekel adalah sesuatu yang harus disimpan, bukan dijadikan karakter dari permainan Anda. Di Liverpool, saya biasa membaca match programme dan saya membaca wawancara dengan para pemain dari tim muda. Mereka akan bertanya: umur, pemain idola, kelebihan, dll. Lalu, mereka akan menjawab: tendangan dan tekel."
"Saya tidak paham mengapa pendidikan sepakbola menganggap tekel sebagai sesuatu yang penting, sesuatu yang harus dipelajari, sesuatu yang harus diajarkan, atau jadi karakteristik permainan. Bagaimana mungkin itu jadi sesuatu yang dinilai dari sebuah permainan? Dalam hal itu, saya sama sekali tidak mengerti."
"Tekel adalah usaha terakhir. Anda akan membutuhkannya, tapi bukan sebagai sebuah tujuan, bukan sebagai sebuah pemahaman. Sangat sulit untuk mengubahnya karena sudah mengakar dalam sepakbola Inggris, tapi saya benar-benar tidak memahaminya," kata Xabi.
Ini jadi menarik ketika Atletico, yang tercatat melakukan lebih dari 25 tekel per pertandingan, akhirnya menjadi juara. Simeone tidak terpaku pada satu atau dua norma tertentu. Ada banyak cara untuk meraih kemenangan. Asalkan berani untuk bersikap bebas, lepas dari keterkungkungan, maka ada kemungkinan sebuah tim untuk berhasil.
Kita tentu ingat pula dengan karakter Peter Pan. Sang pencipta, J.M. Barrie, mendesain Peter sebagai bocah yang berpikiran bebas. Yang ada di benaknya hanya bersenang-senang. Andaikan Peter susah sedikit saja atau merasa terbebani, dia tidak akan bisa terbang.
Semoga kedua tim yang akan bermain di final Liga Champions malam ini tampil lepas --dengan caranya masing-masing. Tanpa ada keterkungkungan.
====
*penulis adalah wartawan detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza