Liga Champions: City 1-0 PSG
Skema Tiga Bek dan Cedera Thiago Motta yang Membunuh PSG

Seperti pada leg pertama, PSG sebenarnya mampu mendominasi permainan dengan keunggulan penguasaan bola 65% berbanding 35%. Hanya saja, jika pada leg pertama PSG mampu mencetak 16 tembakan, pada leg kedua kali ini mereka hanya mampu menciptakan enam kali tembakan.
Persoalannya memang ada pada minimnya kreativitas di lini tengah PSG. Absennya sejumlah pemain membuat Pelatih PSG, Lauren Blanc, bereksperimen dengan skema yang berbeda. Namun, skema tersebut tak berjalan sesuai rencana, hingga akhirnya 'membunuh' mereka sendiri.
Skema Tiga Bek PSG yang Membuat Lini Tengah Minim Kreativitas
Blanc mempersoalkan lini pertahanan pada leg pertama. Menurutnya, para pemain PSG di lini pertahanan terlalu menyediakan ruang kosong untuk dimanfaatkan oleh City. Karenanya pada leg kedua ini ia mencoba membenahi hal tersebut.
Namun, masih belum pulihnya Marco Verratti serta hukuman suspensi yang diterima Blaise Matuidi dan David Luiz membuat Blanc tak bisa memainkan komposisi pemain terbaiknya. Para pemain pengganti yang ada, seperti Benjamin Stambouli di lini tengah, masih belum dipercayai Blanc untuk tampil di laga sepenting menghadapi The Citizens ini.
Alhasil ia bereksperimen dengan formasi dasar 3-5-2. Ia bahkan menempatkan Serge Aurier, yang idealnya bermain sebagai full-back kanan, sebagai bek tengah bersama Thiago Silva dan Marquinhos. Sementara itu, untuk mengisi pos yang ditinggalkan Matuidi, Blanc menempatkan Angel Di Maria sebagai gelandang tengah, bukan penyerang sayap.
Ternyata skema ini berpengaruh pada cara PSG melancarkan serangan. Tak adanya gelandang kreatif seperti Verratti atau Matuidi yang biasanya menjadi gelandang box-to-box, membuat aliran bola ke sepertiga akhir minim. Bahkan PSG seperti terlihat memainkan Zlatan Ibrahimovic sebagai gelandang no.10.
![]() |
Heatmap Ibrahimovic yang sering bergerak di tengah lapangan β sumber: Squawka
Sayangnya skema ini mampu diantisipasi Man City yang masih memasang double pivot dalam formasi 4-2-3-1. Gaya bertahan yang menjaga kedalaman ditambah tekel yang terlalu agresif membuat barisan pertahanan Man City lebih memfokuskan diri covering area ketika tak menguasai bola.
Hal ini memaksa aliran bola PSG selalu berhenti di middle third atau tengah lapangan. Bahkan pada babak pertama, mereka hanya satu kali menciptakan peluang. Para pemain depan terisolir dan harus bergerak turun ke tengah untuk menjemput bola. Alhasil tak ada pemain depan yang bisa menjadi target operan di lini pertahanan Man City.
![]() |
Heatmap Cavani yang menjelajah lapangan tengah untuk mendapatkan bola β sumber: Squawka
Meski minim kreativitas kala menyerang, sebenarnya lini pertahanan PSG menjadi lebih kuat dengan pola ini. Pada babak pertama, selain satu kesempatan Manchester City dari tendangan penalti yang gagal dikonversi menjadi gol oleh Sergio Aguero, total hanya empat kali skuat asuhan Manuel Pellegrini melepaskan tembakan (termasuk penalti). Dan dari keempat tembakan tersebut, tak ada satupun yang mengarah ke gawang.
Lini pertahanan menjadi lebih baik karena dua wing-back, Maxwell dan Gregory van der Wiel, lebih difokuskan menjaga pertahanan. Hal ini juga yang membuat serangan sayap PSG buntu. Maxwell dan Van der Wiel bermain hati-hati di sayap, tidak terlalu sering melakukan overlap.
![]() |
Grafis operan sepertiga akhir PSG pada babak pertama yang tertahan di tengah β sumber: Squawka
Cederanya Thiago Motta dan Perubahan Pola Menyerang Man City
Saat PSG kesulitan menyerang namun memiliki lini pertahanan yang cukup kokoh, petaka terjadi di penghujung babak pertama. Thiago Motta, satu-satunya gelandang inti PSG yang tersisa pada laga ini, mengalami cedera yang memaksanya harus diganti.
Blanc menyikapi hal ini dengan perubahan strategi yang terbilang ekstrem. Formasi dasar 3-5-2 tak dipertahankan. Ia memasukkan Lucas Moura yang merupakan seorang pemain sayap.
Formasi dasar pun berubah menjadi 4-3-3 dengan Marquinhos sebagai pemain yang mengisi posisi Motta sebelumnya. Hanya saja Marquinhos memainkan peran half-back sehingga ia pun sering berdiri sejajar dengan Aurier dan Silva yang bermain sebagai bek tengah ketika PSG tak menguasai bola.
Namun, situasi agregat 2-2 yang artinya PSG harus segera mencetak gol memaksa Blanc memutar otaknya kembali. Apalagi hingga menit ke-60, skuat asuhannya hanya melepaskan dua tembakan saja. Yang dilakukan pelatih asal Prancis tersebut kemudian adalah dengan memasukkan Javier Pastore, menarik keluar Aurier.
Perubahan kembali terjadi. Marquinhos dikembalikan ke posisi aslinya, bek tengah. Pastore sendiri bermain sebagai gelandang serang menemani Di Maria. Posisi gelandang bertahan diisi oleh gelandang muda asal Prancis, Adrien Rabiot.
Rabiot bukanlah seorang gelandang perebut bola. Ia lebih bermain ofensif, terbukti dengan catatan golnya yang sudah mengoleksi tiga gol di ajang Liga Champions dari total tujuh kali bermain. Dan hal tersebut melahirkan petaka bagi lini pertahanan PSG.
Rabiot tak mampu bermain sebagai half-back seperti Marquinhos. Paling fatal adalah ketika gol Kevin de Bruyne terjadi. Pada momen tersebut, Rabiot bermain terlalu dalam dan meninggalkan area depan kotak penalti. De Bruyne pun menerima bola dengan cukup leluasa sebelum akhirnya menempatkan bola ke pojok kiri gawang PSG yang dikawal Kevin Trapp.
![]() |
Momen ketika De Bruyne melepaskan tembakan
Pada gambar di atas, terlihat Rabiot (lingkaran merah) sedang tak berada di posisinya. Hal ini bahkan memaksa Edinson Cavani yang harus berusaha merebut bola. Selain itu, Marquinhos dan Thiago Silva pun harus menutup jalur tembakan De Bruyne (yang tentunya memengaruhi pandangan Kevin Trapp).
Tak hanya kesalahan Rabiot seorang memang. Jika dilihat lagi, Javier Pastore yang idealnya berada di tengah, bermain terlalu melebar. Di Maria yang harusnya bersanding dengan Pastore di tengah pun tak ikut membantu pertahanan. Padahal para pemain menyerang Man City menumpuk di area tengah.
Skema ini pun merupakan buah dari perubahan skema alur menyerang Man City. Awalnya, Man City menyerang sisi kanan pertahanan PSG yang menggunakan skema 3-5-2. Man City berusaha mencecar Aurier yang canggung memainkan posisi bek tengah. Hal ini juga cukup diwajarkan mengingat bek kanan asal Pantai Gading tersebut melakukan blunder pada leg pertama yang berbuah gol kedua Manchester City.
![]() |
Grafis operan Man City yang menyerang sisi kanan pertahanan PSG pada babak pertama β sumber: Squawka
Namun, ketika PSG kembali bermain dengan formasi dasar 4-3-3, terlebih Aurier ditarik keluar, Man City mengubah fokus serangan mereka. Cederanya Thiago Motta dan ditarik keluarnya Aurier membuat Man City menyerang area tengah PSG.
Dari sini peluang demi peluang Man City pada babak kedua banyak tercipta. Tercatat empat dari lima peluang City pada babak kedua (termasuk gol De Bruyne), lahir dari operan kunci di area tengah atau area depan kotak penalti lini pertahanan PSG. Seperti yang terlihat dari grafis di bawah ini.
![]() |
Grafis operan kunci Man City pada babak kedua β sumber: Squawka
Kesimpulan
Skema tiga bek awalnya tak begitu bermasalah bagi lini pertahanan. Namun skema tiga bek membuat kreativitas Paris Saint-Germain di lini tengah menjadi minim. Akhirnya PSG kesulitan menciptakan peluang, hanya menciptakan enam kali tembakan sepanjang 90 menit.
Sementara itu Manchester City kembali bermain dengan baik dengan pendekatan strategi yang tak terlalu berbeda seperti pada leg pertama. Meski kalah penguasaan bola, Kevin de Bruyne dkk mampu mencetak lebih banyak peluang dengan sembilan kali.
Man City pun akhirnya mampu memanfaatkan celah di lini tengah, setelah Thiago Motta ditarik keluar, untuk memenangkan pertandingan dengan skor 1-0.
====
*dianalisis oleh @panditfootball, profil lihat di sini.
(roz/roz)