Mencermati Sepak Terjang Peter Lim dalam Industri Sepakbola

Jika Barcelona dan Real Madrid ada di level atas sepakbola Spanyol, maka Valencia (bersama Atletico Madrid dan Athletic Bilbao) bisa dibilang ada di level berikutnya. Ya, tim yang bermarkas di Mestalla ini merupakan salah satu yang relatif konsisten di Spanyol.
Valencia sudah mencicipi semua gelar domestik, dari juara La Liga (enam kali), Copa del Rey (tujuh kali), hingga Supercopa de Espana (satu kali). Di kancah Eropa, mereka hanya belum sempat mencicipi gelar juara Piala/Liga Champions -- hanya pernah dua kali menjadi runner-up pada 2000 dan 2001. Sisanya, seperti Piala Winners (yang sudah tidak digelar lagi), Piala/Liga UEFA, hingga UEFA Super Cup sudah pernah pula mereka menangi.
Tapi memasuki 2009, krisis keuangan menghantam kesebelasan berjuluk Los Che tersebut. Utang mereka sempat mencapai 300 juta euro, yang memaksa rencana pembangunan stadion baru berkapasitas 73 ribu penonton yang diharapkan selesai pada 2011 menjadi tertunda.
Valencia pun kelimpungan. Mereka terpaksa menjual para bintangya seperti David Villa, David Silva, Joaquin Sanchez, Raul Albiol, Emiliano Moretti dan lainnya.
"Kami harus berjuang untuk menstabilkan ekonomi klub lagi. Saat ini, masalah finansial sangat penting. Jauh lebih penting dari kesuksesan olahraga," ujar Vicente Soriano, mantan Presiden valencia, seperti dikutip dari Independent.
Rupanya melego para pemain penting masih belum cukup menutupi utang, apalagi untuk melanjutkan pembangunan stadion dan membangun skuat yang mumpuni. Alhasil, pilihan pun semakin sedikit. Salah satu yang tersisa adalah menjual kepemilikan Valencia. Dan pilihan itulah yang akhirnya diambil.
Peter Lim, pengusaha asal Singapura, mendapatkan suara mutlak dari 22 anggota direksi Valencia dalam bidding penjualan Los Che pada Mei 2014. Orang terkaya ke-10 di Singapura tersebut berhasil menarik hati dewan direksi Valencia karena berjanji akan membantu klub menyelesaikan utang, sehingga pembangunan stadion baru bisa segera rampung. Tak lupa ia pun menjanjikan akan mendatang pemain-pemain baru untuk memperkuat skuat.
Lim berambisi mendatangkan Luis Nani dan Radamel Falcao. Namun mengingat turunnya performa kedua pemain tersebut, ia membatalkan merekrutnya. Ia pun mengalihkan bidikan kepada Nicolas Otamendi, Shkordran Mustafi, Enzo Perez, Alvaro Negredo dan lainnya.
Hasilnya sungguh menakjubkan. Kesebelasan yang dibesut Nuno Espirito Santo ini kembali ke habitatnya dengan mengakhiri klasemen di peringkat empat pada musim 2014/2015. Padahal di musim 2013/2014 mereka hanya menempati peringkat delapan di klasemen akhir La Liga. Valencia, dengan demikian, bisa kembali ke Liga Champions (melalui babak play-off).
Ketenangan Pekerja Keras Lim dalam Mengambil Risiko
Lim dikenal sebagai sosok yang tidak menyukai publikasi. Latar belakangnya sebagai anak dari keluarga yang sederhana dan penuh keterbatasan agaknya menyumbang banyak untuk karakternya yang cenderung pemalu.
Ia lahir dari pasangan suami istri penjual ikan yang sederhana. Anak ketiga dari empat bersaudara itu pernah bekerja sebagai sopir taksi, koki dan pelayan untuk memenuhi biaya kuliahnya di Perth, Australia. Lim sejak remaja sudah dikenal sebagai pekerja keras yang gigih berjuang mengejar mimpi dan cita-citanya, juga keras bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri.
Semasa kuliah ia lebih sering mengalah dengan tidur di ruang tamu, di lantai atau di manapun, ketimbang beristirahat pada dua kasur yang dipakai secara bergantian bersama 11 teman-temannya di sebuah kontrakan yang disewa secara patungan.
Tapi pengorbanannya di masa muda itu kini menuai hasil yang gilang gemilang. Ia memiliki 80 persen dari 11 lantai kondominium Abelia di Ardmpre Park, Singapura.
Setelah menyelesaikan kuliahnya di jurusan akuntansi University of Western Australia, ia langsung mempraktikkan ilmunya itu dengan bekerja sebagai akuntan. Kemudian ia terjun ke dunia saham dengan menjadi seorang broker saham. Di bisnis yang terakhir itulah ia mulai menuai sukses. Ia kemudian mulai dikenal sebagai broker saham yang sangat dipercaya berbagai kalangan, tidak terkecuali dari Indonesia.
Dari pengalaman bekerja di bursa saham yang membutuhkan kendali emosi dan kecermatan berhitung serta intuisi, ia kemudian bergerak ke berbagai lini usaha lainnya. Lim melakukan ekspansi dengan tenang, cermat dan jauh dari tergesa-gesa. Forbes sempat menyebutnya sebagai usahawan yang sangat pintar mengukur medan yang akan dijelajahinya.
Dari kecermatan dan ketenangan itulah ia justru berani mengambil risiko lebih memilih membeli Valencia ketimbang AC Milan. Ia tidak ingin membuang-buang waktu bernegosiasi habis-habisan dan alot dengan Silvio Berlusconi yang sesungguhnya masih belum rela kehilangan kekuasaan di Milan.
"Ketika anda memegang saham, jika naik jangan terlalu senang, ketika terbenam jangan terlalu sedih," ujar Lim dikutip Weekender.
Tentu saja mengambil risiko merupakan makanan sehari-hari bagi setiap pengusaha besar. Tak terkecuali Lim. Hanya saja ia bisa dengan santai menghadapi semua risiko karena yakin benar perhitungannya tidak akan meleset.
Salah satu contohnya ketika investasi pribadi sebesar 10 juta dollar di Wilmar, sebuah perusahaan minyak sawit yang beroperasi di Indonesia, sempat terancam hangus. Soalnya, iklim investasi yang berantakan memasuki akhir dekade 1990an, juga rentetan kerusuhan dan instabilitas sosial politik, membuat siapa pun wajar merasa was-was dengan uang yang kadung ditanamkan di Indonesia.
Akan tetapi perubahan drastis nilai mata uangrupiah pada 1998 membuatnya mendapat angin. Wilmar yang sempat terancam kolaps pelan tapi pasti mampu membayar utang-utangnya. Pada 2010, utang itu pun terbayar. Lim tentu kebagian jatah. Dari awalnya hanya 10 juta dolar, nilai saham miliknya di Wilmar kini sudah menjadi 1,5 miliar dolar.
Lim Perkuat Gengsi Asia pada Sepakbola Eropa
Jurnalis asal Inggris, David Conn, menguraikan maksud dan tujuan para pengusaha asal Asia mengakuisisi sebuah kesebelasan dari Eropa dalam buku berjudul "Richer Than God: Manchester City, Modern Football and Growing Up". Walau Conn lebih memaparkan tentang Sheikh Mansour, pemilik City, namun setidaknya Conn bisa memberikan gambaran maksud dan tujuan para konglomerat Asia yang mengambil alih kepemilikan klub-klub di Eropa.
Conn menganggap bahwa mengakuisisi kepemilikan kesebelasan di Eropa sebenarnya bukan ekspansi bisnis yang menguntungkan. Sudah jelas bisnis di bidang energi jauh lebih menjanjikan.
Simon Kuper dan Stefan Szymanski, dalam buku Soccernomics, juga menegaskan bahwa sepakbola bukan bisnis yang menguntungkan. Sepakbola memang menghasilkan perputaran uang sangat besar dari sponsor, tiket, hak siar, jual-beli pemain dan lain-lainnya. Namun, kata Kuper dan Szymanski, semakin besar keuntungan yang didapatkan maka semakin besar juga beban operasional kesebelasan yang harus ditanggung, termasuk gaji pemain yang semakin mahal tiap musimnya.
Rupanya hal tersebut tidak membuat jeri para konglomerat Asia. Mereka menganggap hal itu sebagai tantangan bagi setiap pengusaha Asia. Adrenaline mereka semakin terpacu justru ketika mengambil alih kesebelasan yang sedang dilanda krisis, atau sebuah tim semenjana yang tidak punya prestasi mentereng -- sebagaimana dilakukan Sheikh Mansour.
Salah satu yang sudah pasti diperoleh para konglomerat yang mengambil alih kepemilikan klub di Eropa adalah mendapatkan reputasi, gengsi dan pemberitaan yang semakin massif. Bahkan di Italia, seorang pengusaha atau dinasti konglomerat akan dianggap sebelah mata jika tak memiliki sebuah kesebelasan.
Kombinasi faktor-faktor itulah yang menggugah Lim untuk berkecimpung dalam sepakbola dengan membeli kepemilikan saham Valencia. Jika Valencia memiliki prestasi yang bagus dan berhasil disulap menjadi perusahaan yang sehat dan mendatangkan keuntungan, maka portofolio Lim pun akan semakin membubung ke udara.
Itulah sebabnya Lim tidak mau tanggung-tanggung. Ia penuhi janjinya kepada dewan direksi Valencia dengan membeli pemain-pemain yang dibutuhkan untuk mengatrol posisi El Che di La Liga. Hasilnya langsung kelihatan. Valencia musim lalu mengakhiri perjalanannya dengan duduk di zona Liga Champions.
Keseriusan Lim juga terlihat saat ia membeli 50 persen saham Salford City, kesebelasan semi-pro, dari para mantan pemain Manchester United Angkatan 92' yakni Gary Neville, Phil Neville, Ryan Giggs, Paul Scholes dan Nicky Butt. Salford akhirnya dikuasai mayoritas sahamnya oleh Lim per September 2014 silam.
Lim ingin membangun akademi yang memproduksi pemain berkualitas. Ia ingin menjadikan Salford sebagai mitra dalam kegiatan pembinaan sepakbola terutama bagi para pemain muda Inggris.
Salford sendiri merupakan kesebelasan yang berada di Manchester. Lim memang penggemar fanatik Manchester United. Ia punya koneksi yang bagus dengan beberapa pemain United, tak terkecuali mereka yang dikenal sebagai Angkatan 1992.
Kedekatannya dengan United bahkan terikat secara formal karena dialah pemilik Manchester United Food and Beverage untuk wilayah Asia Pasifik. Perusahaan itulah yang punya hak komersial mengembangkan, mengoperasikan dan membangun bar dan resto dengan image Manchester United.
Investasi Konflik “Tetangga” Bernama Cristiano Ronaldo
Nama Lim semakin melonjak di dunia bisnis sepakbola setelah berhasil mendapatkan pengelolaan hak komersial dari semua citra (image) Cristiano Ronaldo. Ini kesepakatan bisnis yang mengejutkan karena angkanya tidak kecil. Dikabarkan, Ronaldo mendapatkan uang sekitar 40 juta euro dari hak komersial saja. Dan semua citra Ronaldo, kecuali yang terkait Real Madrid, kini dikelola oleh Lim.
Mint Media yang dimiliki Lim menjalin kerja sama dengan CR7 selama enam tahun ke depan. Maka seluruh image Ronaldo dalam berbagai produk akan menjadi tanggung jawab dan diurus perusahaan milik Lim tersebut.
Ronaldo merasa kerja sama dengan Lim merupakan langkah strategis untuk tetap memperluas eksistensinya di pasar Asia. "Saya sangat gembira mengumumkan kesepakatan terbaru dengan Mint Media yang dimiliki oleh teman baik saya, pengusaha Peter Lim dari Singapura, untuk memperoleh hak komersial dari citra (image) saya," ujar bintang Portugal itu.
Keputusan Ronaldo ini agak mengejutkan, dan memicu berbagai spekulasi, terutama terkait suasana di internal Real Madrid yang agak kurang kondusif sejak pemecatan Ancelotti yang berlanjut dengan hengkangnya Casillas. Santos Marquez, agen Casillas, bahkan menghembuskan spekulasi kalau kesepakatan Ronaldo-Lim itu sebagai respons kekecewaan sang pemain terhadap situasi terakhir di Real Madrid.
Keheranan Marquez, terkait mengapa Real Madrid membiarkan Ronaldo menjalin kesepakatan bisnis yang melibatkan uang berlimpah dengan pihak luar, cukup beralasan. "Bayangkan, Cristiano mendapatkan uang sebesar 40 juta euro dan menjual hak citranya kepada Peter Lim, pemilik Valencia. Nanti keuangan Valencia dengan sendirinya akan diuntungkan, dan saya kira itu menyedihkan bagi Real Madrid," ungkap Marquez.
Tapi itu persoalan Florentino Perez, bukan bagi Peter Lim. Bagi Lim, kesepakatannya dengan Ronaldo adalah sebuah ucapan selamat datang kepada dunia bisnis sepakbola. "Anak kemarin sore" dalam bisnis sepakbola ini ternyata berhasil “mensabotase” hak pengelolaan citra Ronaldo, yang kini merupakan tambang uang itu, dari Real Madrid.
Lim seperti ingin mengatakan bahwa akuisisi Valencia dan Salford hanyalah langkah awal. Bahwa ia sedang menyiapkan langkah-langkah lanjutan untuk ikut bertarung di kolam bisnis industri sepakbola.
====
* Penulis anggota redaksi @PanditFootball dengan akun twitter: @randyntenk