Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Book Review

    Mencintai Sepakbola Indonesia meski Kusut

    Femi Diah - detikSport
    Jakarta -


    Judul buku: Mencintai Sepakbola Indonesia meski Kusut; Kisah-kisah dari Pinggir Lapangan
    Penulis: Miftakhul Faham Syah
    Penerbit: Indie Book Corner, Yogyakarta
    Tebal: 174 halaman
    Cetakan: I, 2015

    ------

    Sepakbola Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ibarat benang untuk menenun, sepakbola Indonesia kusut. Tapi, meski situasinya seperti itu, tetap tak ada cinta yang tak bisa ditutup-tutupi.

    "Keruwetan di sepakbola Indonesia seperti tak berujung, olahraga si kulit bundar ini cuma diperalat dan dijadikan alat."

    Siapa tak gerah dengan fakta yang sudah berlarut-larut itu? Ada yang bosan. Ada yang sudah malas menyimak. Ada yang memilih menepi. Atau mengatakan, "Sudah tak ada lagi yang menarik".

    Padahal banyak yang mengaku masih mencintai. Tapi, hanya sedikit yang mengajak untuk berbenah. Dan Miftakhul Faham Syah, si penulis yang akrab disapa Fim di kalangan wartawan, yang mengajak para tokoh utama, pemain, untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri.

    Ya, tokoh utama. Bukan phak lain. Bukan pengurus PSSI yang sudah amat arogan --jika menyitir mantan duta besar Indonesia untuk Swiss, Joko Susilo.

    Ajakan untuk bergerak itu dituangkan Fim dalam bukunya 'Mencintai Sepkabola Indonesia meski Kusut'. Hanya satu tujuan dia: 'Merah Putih' kembali menjadi macan di level apapun.

    Secara tersurat Fim mengajak para pemain untuk bergerak itu di halaman 103 lewat artikel 'Perempuan Mindanao dan Sepakbola Indonesia'. Artikel yang tayang di Jawa Pos pada 22 Agustus 2012 itu muncul di saat sepakbola Indonesia benar-benar panas.

    Sudah tak ada prestasi selama bertahun-tahun, kompetisi malah tak mempunyai arah yang jelas. Eh, sudah begitu kompetisi terbelah.

    Dengan bahasa yang santun dan tidak mengejek, bahkan Fim berusaha untuk tidak menyindir, mencoba menggerakkan sang tokoh utama --pemain-- untuk bersikap berani. Berani mengubah keadaan dan berani menerima risiko besar yang bakal ditanggung para pemain. Utamanya, soal kepulan asap dapur. Soal pemenuhan kebutuhan hidup dan pemenuhan gaya hidup mereka.

    Dalam artikel itu Fim menyulut keberanian para pemain untuk memboikot kompetisi. Di saat bersamaan Fim mengingatkan agar para pemain solid, bersatu, tidak main belakang, dan menunjukkan kalau merekalah lakon dalam film yang digemari masyarakat dari Sabang sampai Merauke berjudul kompetisi itu.

    Bukan cuma sekali dia mengingatkan kalau tokoh protagonis kompetisi adalah pemain. Pada 'Bintang Sepakbola itu Pemain dan Pelatih' (hal 125) dia dengan tersurat menyebut posisi para pemain. Bergulirnya sepakbola Indonesia ya ada di tangan si pemain.

    Dorongan itu disampaikan Fim bukan karena dia orang asing yang duduk di luar stadion. Fim justru mengajak para pemain untuk bergerak karena dia amat dekat dengan mereka-mereka yang berprofesi di lapangan hijau. Bukan hanya pemain, tapi juga wasit, pelatih, manajer, dan announcer (hal 69), sampai penjaga stadion.

    Fim yang berprofesi sebagai wartawan olahraga mendapatkan kesempatan nge-pos di beberapa klub sepakbola dan PSSI memang bertugas untuk setiap hari nyambangi markas klub dan rumah PSSI. Saat masih di Surabaya, ranahnya Pengkot PSSI Sidoarjo, Surabaya, dan Pengprov PSSI Jawa Timur, kemudian saat mutasi ke Jakarta, ya, nyambangi Senayan.

    Nah, saat nge-pos di klub-klub sepakbola itulah dia berkewajiban mengikuti tur tim dalam laga-laga away. Berhari-hari traveling bersama para pemain dan pelatih --saat di Persebaya, ya, bersama-sama Persebaya, pas di Deltras, ya, bersama-sama tim Deltras, dengan para pemain timnas, ya, bersama Bambang Pamungkas dkk.-- menambah keakraban Fim dengan skuat tim.

    Lagipula, memang sudah dasarnya Fim juga amat mencintai sepakbola. Dia kerap menceritakan teman-teman satu SSB-nya yang sukses jadi pemain, hanya dia yang pada akhirnya memutuskan untuk menjadi mahasiswa dan kemudian menjadi wartawan. Atau ketika dia menjadi wasit dalam turnamen-turnamen mahasiswa di kampusnya.

    Setelah bekerja di Jawa Pos, Fim bak menemukan taman bermain. Kendati tak bisa tiap hari turun ke lapangan, dia bisa 'merumput' di balik meja bersama para eks pemain Niac Mitra yang banyak direkrut Jawa Pos. Fim pun seolah dipertemukan dengan orang pertama soal sejarah sepakbola.

    Tak hanya dalam masa-masa itu. Bahkan ketika dia 'ditepikan' dari lapangan yang amat dicintainya itu, Fim justru melihat sisi baik bisa mendapatkan jalan lebih lapang untuk menyaksikan sepakbola.

    Meski ada amarah, dia mengontrolnya dengan baik-baik. Mengajak bicara yang berwenang untuk kembali ke sana. Dia selalu punya cara dengan damai untuk menyelesaikan masalah.

    Seperti dia sangat bangga lahir di Mantup, Lamongan, Jawa Timur, dia juga tak pernah marah jika digoda: menjadi wartawan karena jalur suporter, bukan gelar sarjana, hehehe....

    Seperti jutaan umat bola di dunia, dia juga menganggap stadion sebagai tempat ibadah. Fim tak berhenti menulis pengalaman spiritual dari stadion-stadion dan lapangan bola.

    Jika banyak orang yang memilih menutup mata karena bosan atau bahkan takut kecintaan mereka terhadap sepakbola Indonesia luntur karena kekusutannya, Fim tidak. Dia tetap mencoba seobjektif mungkin untuk memaparkan fakta dalam berita-berita yang ditulis atau catatannya.

    Nyatanya, Fim tak hanya menyentuh para pemain. Dia menyorot PSSI sebagai penyebab kusut sepakbola Indonesia saat ini. Penilaian itu bahkan diberikan Fim sebagai kado ulang tahun PSSI 'Menyangsikan Akal Sehat PSSI' (hal 133).

    Fim juga bisa menemukan kinerja buruk PSSI lewat 'Kostum' (hal 37). Bukan sekali-dua kali dia berjumpa dengan kisah konyol itu. Tapi, sampai tiga kali dalam tiga tim yang berbeda. Sebuah ironi pasukan Garuda yang dibeberkan Jacksen F. Tiago, Firman Utina, dan Evan Dimas.

    Fim sepertinya tak ingin sendirian menceritakan kegetiran soal sepakbola Indonesia. Dia mengajak rekan duetnya saat meliput Piala AFF 2007 di Jakarta, Syamsudin Adlawi (Bola Nurani, hal 87).

    Mungkin saja Fim menganggap duet itu sebagai aksi panggung paling mengesankan. Pertama, dia bisa "beribadah dengan khusuk" di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta--seperti yang dipaparkan pada 'Air Mata dan Cinta yang Kusut' (hal 83). Kedua, duet itu memudahkan wawancara dengan tim-tim Timur Tengah yang jadi kontestan. Syamsudin fasih berbincang dengan bahasa Arab.

    Menilik kondisi saat ini, Fim mungkin harus lebih keras lagi mengajak para pemain agar lebih sadar kalau merekalah lakon dalam film yang ending-nya masih gelap ini. Dibandingkan buku-buku soal sepakbola dan hobi blusukan dia, buku Fim yang pertama ini terlalu tipis.

    Sebagai gambaran, Brazilian Football and Their Enemies oleh Pandit Football Indonesia bisa setebal 298 halaman dan Drama Itu Bernama Sepak Bola karya wartawan senior Arief Natakusumah mencapai 352 halaman. Atau bisa jadi Fim akan membuat sekuel berikutnya. Seperti trilogi Catatan Sepak Bola Sindhunata: Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola, dan Bola-Bola Nasib.


    ====

    * Diresensi oleh @femidiah dari @detiksport

    (fem/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game