Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Detik Insider

    Berkah yang Menyusahkan buat Ajax

    - detikSport
    VI-Images via Getty Images VI-Images via Getty Images
    Jakarta - Berkah dan kutukan acapkali datang bersamaan. Seperti dua sisi mata uang --atau mungkin seperti nasib: ada yang baik, ada yang buruk.

    Jika menciptakan dan menelurkan pemain muda bagus adalah sebuah berkah, maka tersemat kutukan juga di dalamnya. Jika mungkin itu adalah sebuah kemujuran, maka bisa jadi ada kesialan diam-diam menyelinap. Ajax Amsterdam ketiban berkah yang menyusahkan ini.

    Saya mendapatkan kesempatan untuk membahas soal berkah yang menyusahkan tersebut berbulan-bulan silam. Lawan bicaranya? Jari Litmanen.

    Untuk beberapa alasan, Litmanen adalah orang penting --kalau bukan legenda hidup-- untuk Ajax. Di Finlandia sana, tempat asalnya, dia kerap dipanggil dengan sebutan "The King".

    "Saat pertama kali datang, yang saya dapatkan adalah pandangan penuh tanya. Untuk apa orang Finlandia datang main sepakbola?" selorohnya seraya menyiratkan bahwa pertama kali dia tiba di Ajax, dirinya tidak tampak seperti seorang raja.




    Litmanen antusias ketika ditanya soal Frank de Boer dan Ajax-nya saat ini. Baginya, Ajax-nya De Boer mengingatkan dirinya dengan Ajax di pertengahan 90-an. Kebetulan juga, De Boer sukses membawa Ajax juara Eredivisie tiga musim berurutan, dari 2011 hingga 2013. Terakhir kali mereka bisa melakukannya adalah pada tahun 1994 hingga 1996, di mana Litmanen jadi bagian dari skuatnya.

    Namun, seperti halnya berkah dan kutukan itu, antusiasme Litmanen hadir bersamaan dengan rasa cemas. Dia tentu tidak melupakan fakta bahwa di tengah sukses di kompetisi lokal, Ajax juga digerogoti dari luar. Tiap musim ada saja pemain penting pergi meninggalkan klub.

    Tidak perlu jauh-jauh. Hitunglah sejak kepergian Luis Suarez ke Liverpool, berturut-turut mereka ditinggalkan Maarten Stekelenburg, Jan Vertonghen, Toby Alderweireld, hingga yang terakhir adalah Christian Eriksen.

    Ini mungkin jadi pemandangan yang biasa di mata para pendukungnya. Toh, satu pergi akan ada banyak lagi yang bakal menggantikan. Bukan rahasia apabila De Amsterdammers tidak akan pernah kehabisan stok pemain. Akademi mereka akan siap sedia menghasilkan pemain muda untuk dimatangkan dan kemudian dimainkan di tim utama.

    Beberapa di antaranya, seperti Vertonghen atau Eriksen termasuk sebagai pemain yang menjanjikan. Jadi, jangan heran jika dulu Vertonghen sempat diperebutkan oleh Arsenal dan Tottenham Hotspur atau Eriksen sempat didekati oleh Borussia Dortmund --sampai akhirnya dua-duanya berlabuh di Tottenham.

    Ini sungguh pemandangan yang biasa buat Ajax. Anda yang masih ingat mungkin bisa menyebut era ini mirip dengan era di mana Patrick Kluivert, Edgar Davids dan rekan-rekan mereka yang lainnya kompak meninggalkan Ajax di pertengahan tahun 90-an. Imbasnya, pada 1996/1997 Ajax terpuruk. Morten Olsen yang datang semusim berikutnya diwarisi tim yang sedang berada dalam masa transisi.

    Olsen kemudian sukses mengantarkan Ajax menjuarai liga di musim 1997/98. Tapi, yang jadi andalan utamanya bukanlah para pemain didikan asli akademi, melainkan beberapa nama seperti Michael Laudrup, Tijani Babangida, dan Shota Arveladze yang didatangkannya dari klub lain.

    De Boer dihadapkan pada situasi yang nyaris sama. Setelah tiga musim beruntun sukses mengantarkan tim menjadi juara liga, tantangan berikutnya terletak di benua Eropa. Ajax pada masa kepemimpinannya belum pernah lolos dari fase grup Liga Champions. Namun, musim ini Ajax menapaki jalan yang tidak bisa dibilang mulus.

    Peluang untuk lolos dari fase grup Liga Champions dan mempertahankan trofi juara di liga itu ada, tapi Ajax sempat kerepotan di awal-awal musim. Kerepotan itu menunjukkan ada bahaya kecil yang pelan-pelan menelan mereka.

    "Masalah untuk Ajax saat ini adalah mereka tidak punya uang. Karena pemain terbaik mereka pergi setelah bermain selama beberapa tahun dan dibeli oleh klub-klub besar," simpul Litmanen.

    "Tiap kali mereka jadi lebih baik, mereka harus mengulang dari awal lagi karena pemain-pemain terbaik mereka pergi."

    Ajax yang sekarang memang sulit untuk disejajarkan dengan tim-tim seperti Bayern Munich, Real Madrid, ataupun Barcelona. Padahal, mereka punya trofi Liga Champions yang sama banyaknya dengan Barcelona. Sejarah juga mencatat bahwa mereka adalah salah satu legendaris Eropa yang bahkan pernah mencetak pemain-pemain seperti Johan Cruyff atau Marco van Basten.

    Miris memang melihat klub sebesar itu kini bak jadi sekolah sepakbola untuk klub-klub besar lainnya. Padahal, menurut Litmanen, untuk menjaga konsistensi dan mengembangkan sebuah klub, dibutuhkan fondasi yang kuat. Fondasi itu berupa skuat yang sudah membaur satu sama lain dan bermain bersama untuk waktu yang lama. Buat Ajax, fondasi itu kerap dikikis bahkan sebelum bangunannya benar-benar jadi.




    "Inilah yang bisa kita lihat di klub-klub besar sekarang. Kita bisa lihat Manchester United, Barcelona, Real Madrid, (Borussia) Dortmund, dan Bayern Munich. Mereka punya banyak pemain bagus yang sudah bersama selama bertahun-tahun."

    "Ambil contoh Barcelona. Mereka punya Xavi, (Andres) Iniesta, (Carles) Puyol, (Lionel) Messi yang sudah bersama begitu lama. Begitu juga Bayern Munich, (Thomas) Mueller dan (Bastian) Schweinsteiger sudah bermain bareng untuk waktu yang lama. Di Manchester United, ada (Ryan) Giggs yang bahkan sudah bermain selama 20 tahun."

    "Sebuah klub harus memupuk kebersamaan pemainnya begitu lama. Dan sayangnya Ajax belum bisa seperti ini," kata Litmanen.

    "Ada pasar yang lebih besar dibandingkan Belanda."

    "Biasanya pemain muda betah bermain di Liga Belanda. Tapi, mungkin setelah bertahun-tahun, mereka ingin pindah ke klub yang lebih besar atau bermain di liga yang lebih besar, seperti Bundesliga."

    "Ambil contoh, jika Anda bermain untuk Dortmund, mungkin Anda tidak harus pindah ke klub lain karena Anda sudah berada di klub besar dan bermain di kompetisi yang besar juga."

    "Tapi, salah satu pemain mereka (Mario Goetze) akhirnya pindah juga ke Bayern Munich --rival mereka. So, mungkin Anda betah, tapi bermain tiga atau empat tahun di Dortmund --atau Ajax-- Anda tetap ingin sesuatu yang lebih besar."

    "Eredivisie juga mungkin adalah liga yang bagus untuk memulai karier. Dengan bermain di sana, seorang pemain bisa mendapatkan pengalaman. Tapi, setelahnya mungkin Anda mengincar untuk pindah ke liga yang lebih besar."

    "Mungkin orang-orang di Belanda sudah menyadarinya, Eredivisie bukan liga terbaik di dunia. Jadi, mungkin itu bukan masalah buat mereka. Ketika ada pemain muda yang bagus pergi, klub-klub akan langsung mencari pemain muda lainnya," papar Litmanen.

    Beberapa malam lalu, Ajax yang sedang berjuang untuk mencari jalan lolos ke fase gugur Liga Champions bisa menundukkan Barcelona, memberikan tim yang juga pernah dibela Litmanen itu kekalahan perdana musim ini.

    Performa di Eredivisie pun sedang oke-okenya. Dua kemenangan beruntun kini menempatkan Ajax di posisi kedua klasemen, pada sebuah musim di mana Liga Belanda sedang ketat-ketatnya. Anda bisa melihat ini dari jarak antara urutan pertama dengan posisi delapan yang hanya berjarak tujuh poin saja.

    Jika lolos dari fase grup Liga Champions, maka bisa jadi ini adalah berkah lainnya untuk mereka. Entahlah, kutukan macam apa lagi yang bakal mengikuti. Semoga saja tidak ada.

    ====

    *akun Twitter penulis: @Rossifinza
    *Foto: Getty Images


    (roz/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game