Romantisme Bocah-bocah Busby

Datanglah ke tribun sebelah selatan Old Trafford suatu waktu nanti. Di sanalah kenangan-kenangan akan bocah-bocah ajaib milik Matt Busby itu diabadikan.
Kita, atau mereka yang mendukung Manchester United, akan selamanya mengenang bocah-bocah itu sebagai bocah-bocah ajaib yang kelak akan menaklukkan Eropa. Namun, ke-kelak-an itu dibabat oleh tragedi bernama mati muda. Kini, bocah-bocah Busby itu tinggal hidup dari satu kenangan ke kenangan lain, dari satu cerita ke cerita lain.
Geoff Bent, Roger Byrne, Eddie Coleman, Mark Jones, David Pegg, Tommy Taylor, dan Billy Whelan; beberapa pemain senior dan bocah-bocah itu tewas ketika pesawat yang mereka tumpangi gagal lepas landas di Munich. Duncan Edwards, yang paling berbakat di antara mereka, meninggal di rumah sakit 15 hari kemudian.
Edwards adalah satu-satunya pemain yang membuat legenda United, Sir Bobby Charlton, minder. BBC pernah menggambarkan Edwards demikian: "Sundulan kepala Nemanja Vidic, tendangan Wayne Rooney, operan Paul Scholes, tenaga Roy Keane, dan kepemimpinan Bryan Robson. Itulah kualitas Duncan Edwards."
Edwards disebut tidak hanya punya kemampuan individu mumpuni, tetapi juga kharisma. Oleh karenanya, meski usianya ketika itu masih belia --Edwards meninggal pada usia 21 tahun--, Edwards adalah salah satu sosok yang dijadikan pemimpin di atas lapangan.
"Saya selalu merasa bisa dibandingkan dengan pemain mana pun. Kecuali Duncan. Dia tidak punya cela," ujar Charlton.
Charlton selamat dari tragedi Munich itu. Kenangan soal Edwards dan rekan-rekannya dia bawa sampai tua. Charlton hidup dan terus bermain sampai akhirnya dia meninggalkan United dengan catatan 758 laga dan 249 gol --membuatnya jadi pencetak gol terbanyak sepanjang masa klub.
Entah jika Edwards waktu itu selamat dari tragedi. Bisa jadi puncak pencetak gol terbanyak sepanjang sejarah United bukan jadi milik Charlton.
***
Charlton adalah salah satu yang tersisa dari tim United dari masa itu. Pria lainnya, Harry Gregg, juga masih hidup sampai saat ini. Tak lama setelah pesawat gagal lepas landas, Gregg yang seorang penjaga gawang kali itu menggunakan tangan-tangannya untuk menyelamatkan nyawa. Satu per satu dia mengeluarkan rekan-rekannya dari badan pesawat yang saat itu sedang terbakar.
Dia menyelamatkan satu orang, lalu kembali lagi ke dalam pesawat untuk menyelamatkan yang lainnya. Matt Busby, Charlton, Jackie Blanchflower, dan Dennis Viollet selamat karenanya. Dia tidak ragu menarik keluar Charlton dan Viollet dari dalam pesawat, meski mengira kedua rekannya itu sudah tewas. Bahkan untuk legenda United seperti George Best --yang dulu biasa mengelap sepatu Gregg-- kiper asal Irlandia Utara itu adalah pahlawan.
"Saya tidak ragu untuk mengelap sepatunya. Buat saya, itu adalah sebuah kehormatan," ucap Best.
Sir Alex Ferguson menyebut Gregg lebih dari sekadar legenda. Pada 16 Mei 2012, 48 jam setelah United gagal mempertahankan gelar juara liga, Ferguson mengirim hampir seluruh pemain utamanya ke Windsor Park, Belfast, untuk bermain dalam laga testimoni Gregg.
Keberanian dan kepahlawanan Gregg tidak akan dilupakan, meskipun ada fakta nadir yang menunjukkan bahwa selama kariernya di United dia gagal meraih trofi juara. Ketika 10 tahun setelah tragedi Munich United sukses menjadi juara Piala Champions, pos penjaga gawang sudah beralih ke tangan Alex Stepney.
Entah bagaimana, 13 hari setelah tragedi Munich, Gregg masih sanggup bermain melawan Sheffield Wednesday di Piala FA. Dia dan Bill Foulkes adalah para pemain dari tragedi tersebut yang masih tegar bermain, meski nyaris seluruh rekan mereka tewas. Gregg mengaku, dia sengaja bermain untuk menjaga dirinya tetap waras.
"Ujung-ujungnya saya memeriksakan diri kepada ahli bedah saraf. Ternyata tempurung kepala saya retak."
***
Charlton dan Gregg adalah pemain-pemain pertama yang merasakan didikan Busby sebagai pelatih. Kelak, ajaran dan filosofi Busby untuk bermain menyerang dan memberikan kepercayaan kepada pemain muda akan menggaung sampai masa-masa setelahnya.
Konon, Busby mendapatkan segala pelajaran akan sepakbola menyerang, hasrat, dan nilai kekeluargaan di dalam sebuah tim, ketika masih menjadi pemain Liverpool. Ya, Busby yang menjadi bapak dari sejarah sepakbola United itu malah menjalani masa bermain jauh dari klub yang kelak akan ia besarkan. Sebelum perang berkecamuk, Busby tercatat bermain di dua klub, dan dua-duanya adalah rival United: Manchester City dan Liverpool.
Dia mencari, membentuk, dan mendidik sendiri pemain-pemain United ketika itu. Busby percaya kepada proses, oleh karenanya tidak percaya pada kontrak jangka pendek yang sempat diberikan petinggi United kepadanya. Dia butuh kontrak jangka panjang.
Ke-keras-kepala-an itu terbayar dengan raihan tiga trofi liga sebelum tragedi Munich terjadi. Busby yang memimpin tim, sementara asistennya, Jimmy Murphy, yang melatih pemain-pemain muda di klub. Keduanya sepaket dan serasi. Peran Murphy juga tidak pernah ditepikan. Sampai hari ini, nama Murphy diabadikan sebagai penghargaan untuk pemain muda terbaik di akademi United.
Kebesaran Busby sedemikian hebatnya, hingga ketika dia pensiun pun United sulit untuk mencari penggantinya. Dia masih ada ketika bibit-bibit baru United yang disebut Class of '92 berkeliaran di Old Trafford. Buat bocah-bocah baru itu, Busby adalah sosok yang bakal membuat mereka tergagap-gagap ketika berhadapan dengannya.
"Saya ingat berjalan di koridor menuju kantor manajer di Old Trafford. Yang tercium adalah bau asap dari pipa milik Sir Matt Busby," kenang David Beckham.
"Saya tahu dia adalah sosok hebat dan dia masih berada di sini. Tahu-tahu saja Anda berjalan melewatinya dan.. Anda menyadari bahwa Anda masih bisa melihatnya," ucap Paul Scholes.
***
Datanglah ke tribun selatan Old Trafford suatu waktu nanti. Letaknya tidak jauh dari rel kereta yang memang terbentang tepat di belakang tribun tersebut. Di sanalah kenangan-kenangan akan bocah-bocah Busby itu diabadikan.
Bagian lorong dari tribun selatan itu difungsikan menjadi sebuah museum. Sementara di sisi luarnya, terdapat plakat untuk mengabadikan nama-nama mereka yang tewas di Munich. Di sebelah atas plakat itu, terpasang sebuah jam tua tertanggal 6 Februari 1958. Pada waktu tertentu, jam itu mati tepat menunjuk pada jam 15:04.
Di bagian dalam lorong, terpasang kutipan dari Harold Hardman, eks pemain dan chairman United ketika tragedi Munich itu terjadi. Kutipan Hardman terpampang besar-besar dengan huruf putih dan warna merah sebagai latar. Tulisan itu berbunyi demikian:
"Although we mourn our dead dan grieve for our wounded, we believe that our great days are not done for us. The road back may be long and hard but the memory of those who died at Munich, of their stirring achievements and wonderful sportmanship ever with us."
Bocah-bocah Busby itu memang meninggalkan romantisme, bahwa sebuah tragedi memang boleh ditangisi, tetapi tidak untuk diratapi secara terus-menerus.
====
*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza
*Foto-foto: Getty Images, detikSport/Rossi Finza Noor