Sebuah Percakapan di Telepon dengan Paul Cumming

Sebuah nama muncul dalam deringan ponsel saya siang itu, dua hari lalu (18/2). Nama yang sangat tidak asing: Paul Cumming, pelatih tua asal Inggris yang begitu mencintai Indonesia.
"Apa kabar, Andi?" suara di ujung sana terdengar lirih, pelan, nyaris tak terdengar jika telinga tidak dilekatkan benar-benar di badan handphone.
Saya tahu, Om Paul -- saya biasa memanggilnya begitu -- jika berbicara memang pelan. Lembut. Terkadang saya harus bertanya 'bagaimana, Om?' untuk mendengarkan lebih jelas perkataannya.
Usia tak bisa dipungkiri akan mengikis pelan-pelan setiap kekuatan raga, seperti suara Om Paul maupun gerak-geriknya yang juga sudah terlihat lemah.
Tapi suara yang pelan itu terdengar agak beda dari biasanya.
"Baik, Om. Seneng banget bisa ditelepon Om Paul. Om apa kabarnya?" saya balik bertanya.
"Saya sedang tidak sehat, Andi. Saya kena stroke, sudah dua minggu."
Di kalimat yang kedua dia terdengar setengah menangis.
Saya terdiam sejenak, membayangkan sosok tua berambut putih yang sekarang usianya hampir 66 tahun itu. Saya teringat Om Paul yang pernah kebingungan dan pasrah saat mengidap kanker kulit kepala, namun ia kemudian memperoleh donasi dari banyak orang sehingga bisa menjalani operasi di Malang, hampir dua tahun silam.
Hampir dua tahun yang lalu itu Om Paul keluar dari "persembunyiannya" di sebuah desa di Kabupaten Malang, yang dari rumahnya tampak gagah Gunung Semeru berdiri di kejauhan. Dengan kereta api saya menjemput dia untuk berangkat ke Jakarta, dan dia pun menjemput sebuah mimpi besarnya: menonton langsung pertandingan klub yang sangat dia cintai: Liverpool FC.
Pada Juli 2013 itu Paul Cumming ada di tengah puluhan ribu suporter berbaju merah di Stadion Gelora Bung Karno, tenggelam dalam atmosfer "You'll Never Walk Alone". Saya ingat betul ketika dia berkata, "Selagi masih hidup, harus bisa nonton Liverpool."
Semalaman itu Om Paul terus tersenyum sampai ia ketiduran di sofa kamar hotel, di depan pesawat televisi, saking ia ingin terus memantau berita pertandingan Liverpool yang sudah selesai itu. [Baca cerita lengkapnya: 'Mimpi itu Terwujud']
Dan kemarin pria tua ini masih saja antusias ketika saya pancing soal Liverpool, meskipun suaranya sedang selirih itu. "Ya saya sedih juga Gerrard mau pindah. Sedih, tapi itu hak dia," ucapnya.
Dalam perbincangan kami via telepon itu Om Paul juga bercerita sedikit ketika dia diundang mengikuti sebuah seminar sepakbola pada 24 November lalu di Universitas Brawijaya, Malang, bersama antara lain pelatih Indra Sjafri.
"Saya selalu senang kalau bisa bertemu orang-orang bola. Bisa ngobrol banyak. Tapi habis itu belum ada acara apa-apa lagi, di rumah saja."
Om Paul tetap menghabiskan hari-harinya di rumah, mengurusi kebun jeruknya yang tak banyak menghasilkan, menunggui PlayStation yang ia sewakan kepada anak-anak di kampungnya itu.
Saya membayangkan sunyinya hari-hari tua seorang mantan pelatih yang selama tiga dasawarsa pernah memberikan sesuatu kepada sepakbola negeri ini -- ia pernah melatih antara lain Persiraja Banda Aceh, Perseman Manokwari, PSBL Lampung dan tim PON Papua Barat. Pada saat ia barangkali pernah punya kesempatan untuk pulang ke tanah kelahirannya di seberang lautan sana, Paul Cumming telah menetapkan hati untuk selalu memijak bumi pertiwi -- meskipun hari-harinya semakin sunyi.
Dan kini dia terkena stroke.
"Saya doakan Om Paul selalu sehat ya," saya berat hati harus mengakhiri percakapan itu.
"Terima kasih, Andi. Salam untuk semua pembaca detik," balas dia.
===
* Penulis adalah redaktur pelaksana detiksport. Akun twitter: @sururi10