Sehari Bersama Kurniawan Dwi Yulianto (Bagian 1)
Tentang Salat dan Keyakinan-Keyakinan dalam Hidupnya

"Langsung naik aja, Bro. Kamar 325. Si Kurus masih santai kok."
Pesan singkat itu saya terima dari manajer Kurniawan Dwi Yulianto, mempersilakan saya untuk bertemu pemain legendaris itu di sebuah hotel di Jayapura, Papua, belum lama ini.
Siang itu saya bikin janji untuk bertemu dan mewawancarai Kurniawan, melanjutkan pertemuan kami di Malang seminggu sebelumnya, yang dari situ saya langsung tahu, orang ini asyik untuk diajak ngobrol.
"Sstt ..." sang manajer membukukan pintu kamar hotel, menyambut kedatangan saya sambil menaruh jari telunjuknya di bibir. "Doi lagi ditelepon orang penting."
Saya sudah di dalam kamar, Kurniawan sedang bercakap-cakap di ujung gagang telepon. Sesekali dia tertawa. Tutur katanya terdengar santun, penuh hormat.
Setelah selesai Kurniawan menyalami saya. Ini perjumpaan kedua saya dengan dia, dan dia sudah menunjukkan gaya akrab penuh pertemanan. Saya langsung merasa nyaman dibuatnya.
Kami bertiga lalu ngobrol santai, ngalor-ngidul, ngobrolin hal-hal yang tidak penting, melepas tawa juga sambil menggosip tentang sepakbola Indonesia yang masih saja kusut. "Kacau banget ya, Bro," ucap laki-laki 38 tahun yang akrab disapa "Si Kurus" itu.
Si Kurus -- sebelumnya dia lebih dulu dikenal dengan panggilan 'Ade' -- lalu meninggalkan saya dan manajernya, masuk ke kamar mandi. Tak lama kemudian dia keluar dengan berkain sarung, lalu menggelar handuk bersih di sudut kamar. Kurniawan berdiri tenang, dengan mata menatap ke bawah. Dia salat dzuhur.
Jujur, saya kaget melihat pemandangan itu. Dengan keterkejutan itu saya tiba-tiba merasa malu sendiri, karena itu berarti saya sudah memandang sebelah mata pada laki-laki plontos itu. Episode hitam Kurniawan, kala terjerat narkoba dan dugem (dunia gemerlap), seperti sebuah tuduhan dangkal buat saya mengira bahwa dia bisa juga melupakan tuhan.
"Hahahaa... Gak papa, Bro, santai aja. Lagian kalo gue solat, emangnya harus bilang ke semua orang?" Si Kurus datar-datar saja menanggapi keterkejutan saya itu.
"Jujur nih, gue ninggalin solat cuma waktu di Italia dan Swiss aja. Boleh dibilang, selama di sana bener-bener lupa, hehehe," ucap dia kemudian.
Kurniawan lalu bercerita, dia lahir dari keluarga yang taat beragama. Tidak meninggalkan salat lima waktu dalam keadaan apapun, adalah salah satu nilai yang dia berusaha pegang kuat.
"Tapi memang, gue rasa ada masa ketika kita labil, lupa, jatuh, yang membuat kita bisa lupa sama tuhan. Yang penting adalah bagaimana kita bisa bangkit dan kembali melakukan apa yang kita yakini benar."
Kalimat itu membuat saya semakin tertarik.
Lalu dia bertutur tentang episode hitamnya itu. Narkoba, kata Si Kurus, disebutnya sebagai satu dari dua pengalaman terburuk dalam kariernya sebagai pemain bola, dan itu pernah membuatnya sangat down.
"Dulu gue merasa butuh wawasan, butuh ilmu lain di luar bola. Selama main, pastinya gue lebih sering ketemu dan ngobrol soal sepakbola. Di lapangan, di mess pemain. Gue juga gak kuliah. Makanya gue pengen bergaul untuk nambah wawasan. Mumpung masih muda juga. Dari situ akhirnya gue kenal narkoba, kadang keluar malem. Dan semua selalu dimulai dengan coba-coba, lalu terseret ke dalam."
Saat mengucapkan itu mata Kurniawan saya lihat terantuk pada satu titik. Tidak ada nada guyon. Seperti ada gurat-gurat penyesalan sekaligus kepasrahan dalam mengilas balik kisah tersebut. Ada juga garis kebanggaan karena kelak ia mampu merobohkan dengan susah payah sebuah tembok keangkuhan dalam dirinya.
"Waktu itu gue gak peduli sama omongan orang. Tiap kali main, rasanya seisi stadion neriakin nama gue, jelek-jelekin gue (karena narkoba). Tapi gue gak mau ngedengerin itu semua. Ini hidup gue. Gue punya kemampuan. Lu mau ngomong apa, gue ini seorang juara!"
Dan selalu ada momentum untuk berubah. Kesempatan yang benar-benar menghujam ke dalam sanubari Kurniawan, yang menyentuh jauh di ruang kesadaran di dalam jiwa. It's time to quit now.
"Suatu waktu gue ngeliat temen gue (sesama pemain), Kuncoro, mau mati di depan gue (gara-gara narkoba). Di situ gue mulai bertekad untuk stop. Gue bilang ke diri sendiri, 'Cukup, Kur. Lu harus menghentikan ini semua.
"Ada satu omongan ibu yang selalu gue inget, dan itu membekas banget buat gue. Dia bilang, kamu gak bisa terus-terusan menampar mulut orang lain. Mereka semua sayang sama kamu. Kalo kamu sendiri gak sayang sama diri kamu, lalu kamu mau jadi apa?"
Saya selalu terdiam setiap kali orang menjadikan ibu sebagai inspirasi.
Wide, sang manajer, lalu menceritakan betapa kerasnya perjuangan Kurniawan untuk menyembuhkan dirinya. Pernah suatu waktu dia menjumpai Si Kurus dalam keadaan sakau, berguling-guling menderita di dalam kamar mandi. Tapi ketika Wide mencoba menghampiri, Kurniawan menolak. "Biarin gue, Wid, biarin gue. Gue harus melakukan ini semua supaya gue sembuh."
Kurniawan, yang namanya menjulang ketika bermain di tim Primavera Sampdoria, dan bermain di Eropa bersama FC Luzern (Swiss) di awal era 90-an, mengaku tak pernah melupakan orang-orang yang telah berjasa dalam karier suksesnya sebagai pemain bola, termasuk ketika dia terjatuh. Satu yang dia sebut adalah Henk Wullems, pelatihnya di PSM Makassar.
"Waktu itu gue males ngapa-ngapain. Kalau gak ada latihan, gue cuma makan, tidur, makan, tidur. Mandi aja kadang males. Lalu gue ngomong ke Pak Wullems, kalau gue main gak maksimal, tolong dibantu. Dia pengertian banget. Dia bilang, gak papa, yang penting ada niat (untuk berhenti narkoba). Gue sangat bersyukur punya orang-orang yang mendukung gue kala di bawah."
Selain narkoba, pengalaman lain yang membuat seorang Kurniawan merasa sangat down adalah ketika dia kembali ke tanah air setelah menimba ilmu di Italia bersama tim Primavera Sampdoria.
"Dua tahun di negara orang, homesick juga lah. Tapi waktu balik ke Indonesia, gue ternyata dihajar di sana-sini, diserang media, dianggap tidak tahu diri karena sudah dibantu masuk Sampdoria, dan lain-lain," tuturnya.
"Gue sangat tidak menduga, padahal alasan sesungguhnya gue pulang sudah gue sampaikan juga ke PSSI, waktu itu ketuanya Pak Azwar Anas. Waktu itu gue merasa gak ada yang bantuin gue. Bahkan sempet gak dipanggil timnas."
Waktu saya tanya, apa alasan sesungguhnya itu, Kurniawan tahu-tahu nyengir. "Tunggu aja ya, kita lagi bikin bukunya. Hahahaa..."
Oke, Kur, kita tunggu.
Sampai di situ sang manajer memberi isyarat untuk mengakhiri wawancara. Kurniawan harus berangkat ke stadion Mandala untuk mengikuti sebuah ajang pencarian bakat usia muda yang digagas oleh sebuah produk sampo. Dia direkrut sebagai talent scout.
"Alhamdulillah, walaupun sudah pensiun tapi masih ada yang cari. Rejeki sudah diatur Allah. Makanya gue selalu bilang ke junior-junior gue, di sini, pemain bola yang berhasil bukanlah ketika dia masih berjaya di lapangan, tapi bagaimana setelah dia pensiun," ucapnya.
Kami lalu berangkat ke stadion. Wide menawarkan kepada saya untuk kembali ke hotel di malam hari dan melanjutkan obrolan. Tentang warna-warni karier Si Kurus, tentang nilai-nilai yang dia bawa dari Eropa, tentang pemain-pemain senior yang dia benci karena tidak mau membantu juniornya saat tidak digaji oleh klubnya... tentang keberanian bersikap yang ingin dia tularkan kepada adik-adiknya, bahwa pemain punya hak untuk tidak dijadikan mesin semata oleh klub mereka.
[Bersambung]
====
* Penulis adalah redaktur pelaksana detiksport. Akun twitter @sururi10.