Allegri, Enrique, dan Keterasingan
Saya membayangkan Massimiliano Allegri dan Luis Enrique sebagai dua pria yang tidak saling mengenal satu sama lain. Tidak pula pernah bercakap-cakap. Namun, keduanya diikat oleh hal yang sama --oleh keterasingan.
Bayangkan bagaimana terasingnya Allegri ketika tiba di rumah baru, namun tidak diterima seisi penghuninya. Butuh waktu cukup lama bagi pria berwajah sayu itu untuk bisa meyakinkan bahwa dia adalah salah satu dari mereka.
Ya, Allegri tidak langsung diterima oleh para pendukung Juventus. Ada banyak keraguan menyertai kedatangannya ke Turin, terutama setelah pemecatan dari AC Milan jelas-jelas mencoreng curriculum vitae-nya. Lupa sudah pendukung Juventus bahwa Allegri pernah juga menjuarai Serie A.
Apa boleh buat, para pendukung 'Si Nyonya Besar' sudah dimanjakan gelar dan kestabilan oleh Antonio Conte untuk tiga musim lamanya. Okelah Allegri pernah sukses membawa Milan juara, tapi bisakah dia menawarkan kestabilan yang sama seperti Conte?
Jauh dari Turin, 877 kilometer ke arah barat daya, ada pria bernama Luis Enrique yang baru saja pulang ke rumahnya. Berbeda dengan Allegri, Enrique tidak mendiami rumah baru. Namun, rumah itu menjadi terasa asing ketika kemampuan Enrique mulai dipertanyakan.
Barcelona, buat Enrique, sesungguhnya adalah rumah yang diidam-idamkannya. Dia pergi dari Madrid yang "dingin" menuju kota di tepian Mediterania tersebut --yang disebutnya jauh lebih bersahabat. Ketika dulu hijrah dari Real Madrid ke Barcelona sebagai pemain, Enrique mengaku tidak perlu berpikir panjang. "Itu mudah saja," katanya.
===
Lalu saya teringat "Of Mice and Men", di mana John Steinbeck mengisahkan dua pria terusir di tengah keluntang-lantungan mereka di dataran California, tepat ketika Great Depression berkecamuk menghantam Amerika.
Dua pria itu, George Milton yang bertubuh kerdil namun cerdas dan Lennie Small yang --tidak seperti namanya-- bertubuh besar namun punya keterbelakangan mental, harus berakrab-akrab dengan keterasingan setelah kabur dari pekerbunan tempat mereka bekerja sebelumnya.
George dan Lennie memikul beban besar di pundak mereka. Terutama karena corengan di masa lalu --mirip-mirip dengan Allegri yang pernah dipecat Milan dan Enrique yang gagal total di AS Roma. Buat George, beban yang dipikulnya lebih berat lagi; dia harus "mengasuh" Lennie yang, dikarenakan keterbelakangan mentalnya, kerap bikin masalah.
Ada dua hal yang amat disukai Lennie, yakni tikus dan kelinci. Lennie seakan-akan menemukan kedamaian tiap kali mengelus bulu lembut kedua makhluk itu, sesuatu yang membuat George merasa terganggu lantaran Lennie juga tidak segan mengelus bulu tikus yang sudah mati.
Terkadang, justru genggaman Lennie sendirilah yang mengantarkan kematian untuk si tikus. Tubuhnya yang teramat besar berbanding lurus dengan kekuatan genggamannya. Tikus yang sedianya hendak dia belai justru malah remuk di tangannya.
Jika George memimpikan dirinya bisa memiliki perkebunannya sendiri kelak, maka Lennie hanya bermimpi bisa mengelus kelinci di perkebunan tersebut.
Steinbeck dengan gamblang menggambarkan bagaimana George dan Lennie tak punya siapa-siapa, selain diri masing-masing yang saling memahami satu sama lain. Tidak ada orang lain ketika George membicarakan mimpinya di tengah padang yang ditumbuhi pohon willow dan sycamore selain Lennie dan tiga kaleng buncis yang jadi makan malam terakhir mereka.
"Suatu hari kelak, kita sama-sama beruntung. Kita akan memiliki rumah mungil dan beberapa acre lahan dengan seekor sapi, beberapa babi dan-"
"-Dan hidup dari mengolah tanah. Dan punya kelinci," sahut Lennie menimpali.
Bisa jadi Allegri dan Enrique punya mimpi yang lebih besar dari sekadar punya sebidang tanah dan memelihara kelinci. Tapi, seperti George, yang bahkan tak yakin mimpinya bakal jadi kenyataan atau tidak, demikian pula halnya Enrique.
Ketika Barca tengah berada dalam masa gonjang-ganjing, menyusul kekalahan dari Real Sociedad di Anoeta, Enrique berada dalam titik terendah kariernya sebagai pelatih Barca --yang bahkan belum berusia semusim. Lionel Messi dikabarkan berang dengannya. Penyokongnya, direktur olahraga Andoni Zubizarreta mundur, begitu juga dengan asisten Zubizarreta, Carles Puyol.
Meski para petinggi menyatakan bahwa mereka masih percaya kepada Enrique, beberapa pelatih yang digadang-gadang jadi pengganti mulai dikontak. Enrique benar-benar tak punya siapa-siapa ketika itu. Benar-benar terasing. Dalam keterluntang-lantungan, masih lebih beruntung George yang bisa membicarakan mimpinya dengan Lennie.
Mimpi Enrique jauh lebih sederhana: hanya memimpin Barcelona tampil sebaik mungkin sampai akhir musim ini. Bahkan sampai beberapa waktu jelang final, Enrique masih mengelak ketika ditanyai masa depannya di Barca.
Begitu juga Allegri. Kendati tidak diguncang sekencang Enrique, Allegri paham bagaimana rasanya memupuk kepercayaan dari para pendukung. Allegri bukanlah Conte yang menggebu-gebu dan ngotot ingin bermain agresif setiap saat. Pada suatu kesempatan, dia mengakui kalau bermain defensif tapi menang jauh lebih baik untuk menumbuhkan kestabilan.
Pada akhirnya, Allegri mampu menunjukkan kalau dirinya bisa masuk ke dalam restoran 100 euro dengan hanya berbekal 10 euro di kantongnya --sebuah analogi yang diutarakan Conte untuk menggambarkan kekuatan Juve di tengah-tengah powerhouse Liga Champions.
Allegri tidak pernah berpikir terlalu jauh ketika ditanya soal kans Juventus meraih gelar juara Liga Champions. Hidupnya di klub tersebut, sejauh ini, hanyalah menapak selangkah demi selangkah --tidak lebih jauh dari itu.
Allegri dan Enrique hanya boleh mengandalkan kaki sendiri. Dan dengan kaki-kaki itulah keduanya, beberapa jam lagi, akan saling berjabat tangan di pinggir lapangan, di sebuah pertandingan yang amat asing bagi mereka. Tidak pernah sebelumnya Allegri dan Enrique menjejak partai final ajang akbar antarklub Eropa tersebut.
Kalau boleh, saya akan mengganti tempat dan suasana dari adegan jabat tangan di pinggir lapangan tersebut.
Allegri dan Enrique duduk berseberangan di sebuah bar yang tidak terlalu padat. Keduanya sama-sama duduk sendiri dengan gelas bir setengah kosong di hadapan. Dalam sekejap, pandangan mereka bertemu.
Tidak ada kata-kata, tidak ada balas ucapan. Tapi, Allegri dan Enrique sama-sama mengerti mengapa mereka duduk sendiri dengan gelas setengah kosong hari itu. Ada senyum tersungging, lalu yang satu mengangkat gelas dan yang lainnya mengikuti.
Tetap tidak ada kata-kata, yang ada hanya setengah gelas bir untuk dihabiskan --tinggal setengah lagi. Di luar, malam semakin larut.
====
*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.












