Apa Dosa Messi?

Beberapa orang kerap mengait-ngaitkan nasib jelek dengan karma, bahwa bisa jadi orang tersebut punya dosa sehingga dia mendapatkan balasannya. Namun, jika Lionel Messi selalu dianggap sebagai Saint yang mengeluarkan cahaya dari sekujur tubuhnya, "dosa" apa yang mungkin pernah dia perbuat?
Saint? Messi seorang Saint? Well, buat kita yang orang-orang biasa seperti ini, Messi layak dikategorikan demikian. Tentu, itu hanya perumpamaan biasa, seperti kita biasa menyebutnya sebagai alien karena tidak mungkin pemain seperti dirinya lahir dari muka bumi ini.
Toh, Messi sudah berulang kali membuktikan bahwa julukan untuk dirinya itu sahih. Suka atau tidak, Messi telah menunjukkan kemampuannya lewat tarian di hadapan para bek yang mendadak lututnya lemas begitu digoyang sedemikian rupa. Suka atau tidak, Messi meraih nyaris semua gelar yang bisa didapat seorang pesepakbola.
Ketidaksetujuan kalian akan kehebatan dirinya akan dengan mudah dinihilkan oleh tarian-tarian itu dan juga sederet medali dan trofi di lemari koleksinya. Begitulah adanya Messi, suka atau tidak suka.
Hanya saja, kehebatan tidak selamanya menjadi berkah. Bagi Messi, kehebatan adalah sebuah hal yang bersangkut-paut, berkelitan, dan bercampur di antara berkah dan kutukan. Saking percayanya kita bahwa dia adalah seorang Saint, nyaris setiap hari Messi diharapkan untuk membuat keajaiban.
Seolah-olah, tiap tim yang dihuni oleh Messi sudah pasti akan menjadi juara. Tentu, kita tahu, kenyataannya tidak demikian. Sebab, Messi sedemikian sulitnya untuk meraih gelar juara bersama Argentina.
Barangkali, yang namanya kesempurnaan itu memang tidak ada. Yang ada hanyalah pandangan penuh harap dari sang Saint tiap kali dia melewati trofi besar yang sayangnya tidak akan dia angkat. Entah sampai kapan begitu.
Kita yang mengaguminya hanya bisa mengiba atau menyayangkan, sementara yang membencinya akan mencela. Sungguh sulit menjadi Messi. Sungguh sulit menjadi seorang jenius.
Karena kita juga hanyalah manusia biasa, agaknya sulit untuk merasakan apa yang sesungguhnya dirasa oleh seorang jenius. Jangankan mengira-ngira, untuk sekadar merabanya saja sulit. Inilah kesengsaraan seorang jenius, mereka akan selamanya merasa sendirian, terasing, dan tidak terpahami.
Apa yang dituliskan Soe Hok Gie, seperti yang dituturkan dalam 'Catatan Seorang Demonstran', mungkin sedikit banyak menggambarkan perasaan Messi dan banyak jenius lainnya di dunia ini. "Nobody can see the trouble I see, nobody knows my sorrow."
Gie, yang dikenal selalu resah dan memiliki jiwa yang gelisah, secara tidak langsung ingin mengatakan "Tak ada yang melihat apa yang kulihat, tak ada yang mengetahui apa yang kurasakan."
Gie, Messi, boleh berbagi keresahan sebagai sesama jenius. Sayang, mereka hidup di zaman, waktu, dan tempat yang berbeda. Sama seperti Gie, John Lennon, dan Kurt Cobain. Barangkali, para jenius memang dikutuk untuk hidup sendiri-sendri, tidak saling bertemu, sebagai bayaran mahal atas berkah yang mereka miliki.
Messi untuk Argentina adalah Lennon untuk The Beatles, Kurt Cobain untuk Nirvana.
Sebelum ditembak mati oleh Mark David Chapman di depan pintu masuk menuju apartemennya, Lennon menuangkan keresahannya dalam berbagai lirik, sama seperti Gie yang menuangkannya dalam berbagai tulisan dan puisi. Hari itu, Paul McCartney menyebut bahwa Lennon telah menjadi martir. Sejak saat itu, tak ada lagi The Beatles. McCartney merasa, sejak hari itu Lennon adalah The Beatles itu sendiri.
"Sekarang John menjadi martir. Dia menjadi JFK," kata McCartney dalam wawancaranya dengan The Telegraph baru-baru ini.
Cobain, di sisi lain, dikenal sebagai musisi yang suka mengeluh, menyendiri, amat perfeksionis, dan mengeluh ketika ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai yang dia mau. Ia diceritakan pernah bermuram durja ketika monitor vokalnya tidak berfungsi dengan sempurna dalam sebuah konser. "Seharusnya dia memecat soundman-nya," tulis Rolling Stone. Tak ada yang tahu apa yang dirasakan Cobain ketika lagu yang dia lantunkan menjadi berantakan gara-gara sound yang kacau balau.
Tak ada yang tahu pula apa yang ada di benak Messi ketika melihat rekan satu klubnya, Claudio Bravo, mengangkat trofi Copa America. Kita hanya bisa menebak-nebak bahwa pikirannya tengah berkecamuk. Kita hanya bisa berasumsi, mungkinkah Messi merasa telah berjuang sendirian? Bukankah dia satu-satunya penendang Argentina yang sukses mengeksekusi penalti dengan baik, sementara dua rekannya --Gonzalo Higuain dan Ever Banega-- menendang layaknya amatiran?
Lalu, muncul asumsi-asumsi lainnya: Mungkinkah Messi selama ini merasa terbebani? Mungkinkah dia merasa tidak pernah mendapatkan sokongan terbaik, baik dari segi individual maupun taktikal? Mungkinkah dia merasa, rumah sebenarnya untuknya adalah di Barcelona dan bukan di Argentina?
Asumsi akan selamanya menjadi asumsi. Tapi, sebagai seorang jenius, Messi mau tidak mau harus menerimanya. Menanggung segenap beban itu sendirian, tanpa ada pundak untuk berbagi. Untuk segala tarian dan trofi yang ia raih, hidup terasing sebagai seorang jenius barangkali adalah harga yang harus ia bayar.
Barangkali, memang itulah "dosa" Messi: menjadi seorang jenius.
====
*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.