Andai Sepakbola Punya Naskah

Di dalam benak Jay Gatsby, akhir terbaik dari kisah hidupnya adalah melarikan diri bersama wanita impiannya, Daisy Buchanan. Tapi, apa yang diinginkan dan didapatkan memang seringkali tidak berjalan seiring.
Gatsby, pemuda miskin yang nyaris sepanjang masa hidupnya bermimpi menjadi kaya itu, menjadikan Daisy satu-satunya mimpi dan tujuannya. Sampai pada titik tertentu, mimpi dan tujuannya itu berubah menjadi obsesi.
Ketika Gatsby akhirnya meraih kekayaan yang ia idam-idamkan --dengan cara yang ilegal sekali pun--, tak henti-hentinya ia menggelar pesta mewah tiap akhir pekan. Satu-satunya keinginannya hanyalah menarik Daisy, yang kini sudah menjadi istri orang, datang ke salah satu pestanya.
Segalanya berjalan seperti apa yang Gatsby inginkan. Apa yang ia mau, ia dapat, seakan runutan naskah yang sudah dia susun sedari awal tidak mendapatkan tentangan apa-apa dari nasib.
Ibaratkanlah Gatsby sebagai manusia nyata, maka F. Scott Fitzgerald, selaku penulis garis nasib dari Gatsby dalam ceritanya, sebagai Tuhan-nya. Fitzgerald seolah-olah menyatakan, apa yang diingin-inginkan oleh tiap manusia tidak serta-merta berakhir sebagaimana mestinya.
Kita yang pernah membaca cerita mengenai Gatsby ini, kemudian tahu bahwa ia tidak berakhir hidup bahagia dengan wanita impiannya. Hidupnya berakhir dengan nahas, mati mengambang di kolam renangnya sendiri.
***
Ada banyak frase, idiom, atau istilah-istilah yang berseliweran di dunia sepakbola. Salah satu yang kerap mampir di telinga adalah "Ini tidak ada di dalam naskah". Manakala ada sebuah kejadian yang tidak disangka-sangka oleh kebanyakan orang terjadi, istilah "tidak ada di dalam naskah" pun mengemuka.
"Tidak ada di dalam naskah" seolah-olah membuat sepakbola sudah digariskan sejak awal bakal dimenangi oleh tim tertentu. Padahal, sebagaimana mestinya, sebuah pertandingan berjalan alamiah. Siapa yang mencetak gol lebih banyak, dialah yang menang. Peduli setan apakah tim yang mencetak gol lebih banyak itu tidak dijagokan banyak orang atau tidak dituliskan sebagai pemenang di dalam "naskah".
Di sinilah menariknya. Istilah "Tidak ada di dalam naskah" justru membuktikan bahwa memang tidak ada yang namanya "naskah" itu di dalam sepakbola (kecuali dalam sepakbola gajah). Istilah tersebut justru muncul ketika "naskah" tersebut dirobek-robek oleh kejadian yang tidak disangka-sangka.
Andai pun sepakbola punya naskah, bayangkan betapa membosankannya permainan ini. Bayangkan bagaimana menjemukannya liga semusim penuh ketika juaranya sudah diketahui sejak awal. Apa gunanya tim-tim lain yang ikut meramaikan? Hanya benar-benar menjadi pelengkap saja.
Andai sepakbola punya naskah, dan naskah itu ditulis dengan lurus tanpa hal aneh-aneh, gol Diego Maradona ke gawang Inggris barangkali sudah diselidiki dan dianulir. Alih-alih kita kenang sebagai kejadian mahabesar bernama "Tangan Tuhan", bisa-bisa kita mengenangnya sebagai momen di mana pemuda boncel bernama Maradona berusaha mencurangi hasil.
Dan jika pun benar-benar sepakbola punya naskah, sudah sepatutnya Bayern Munich menjadi juara Liga Champions pada tahun 1999 serta AC Milan mengangkat trofi kejuaraan yang sama pada 2005.
Sudah tentu pula, Steven Gerrard tidak usah mendapatkan kartu merah pada laga terakhirnya melawan Manchester United. Kalau sepakbola punya naskah, semestinya Gerrard menjadi pahlawan Liverpool dengan membalikkan keadaan pada laga tersebut.
***
Kita tentu bisa menebak-nebak apa yang ada di benak Petr Cech. Hengkang dari klub lamanya setelah semusim menjadi bayang-bayang dari kiper yang lebih muda, Cech tentunya ingin memperbaiki nasib. Tidak ada yang lebih indah daripada menjadi pahlawan baru di klub anyarnya.
Dengan Cech di bawah mistar gawang, semestinya skuat Arsenal komplet. Semestinya pula, mereka bisa melewati pekan pertama dengan kemenangan dan Cech tidak kebobolan sama sekali.
Tapi, memang tidak ada yang namanya "semestinya" dalam sepakbola. West Ham United, dengan dikomandoi oleh pria urakan bernama Slaven Bilic, datang ke Emirates Stadium untuk menolak apa yang "semestinya" terjadi dan merobek-robek "naskah".
West Ham menang 2-0 dan Cech dua kali bikin blunder. Lagi-lagi, "Ini tidak ada di dalam naskah".
Cech jelas tidak percaya. Begitu pertandingan selesai, dia menyatakan bahwa kekalahan tersebut, yang terjadi pada debut liga bersama klub anyarnya, tidak pernah ia bayangkan sama sekali. Semestinya (ya, lagi-lagi "semestinya"), kata dia, pertandingan itu berakhir dengan kemenangan.
Kita kemudian hanya bisa membayangkan, bagaimana seandainya jika Cech dan Arsenal menang pada hari itu. Bagaimana seandainya, Cech dan Arsenal punya nasib seperti yang dikira banyak orang sudah tertuang di dalam "naskah". Bisa jadi, bakal ada banyak cerita bagaimana Arsene Wenger dipuji karena mendatangkan pemain yang tepat. Bisa jadi, keyakinan banyak orang bahwa Arsenal adalah kandidat juara musim ini adalah tepat.
Namun, dengan dirobeknya "naskah" tersebut oleh West Ham dan Bilic, Wenger dan Arsenal kembali diingatkan bahwa mereka masih punya PR besar. Santai saja, toh baru pekan pertama, masih ada 37 pekan tersisa. Masih ada banyak waktu untuk mendulang poin.
Setidaknya, dengan pukulan di pekan pertama, Arsenal (dan juga Cech) menjadi lebih awas. Setidaknya lagi, kita yang sudah mencoba-coba membikin prediksi sejak dini, juga tahu bahwa apa yang ada di tikungan di depan sana, bisa jadi lebih mengejutkan daripada yang kita kira.
Andai segala sesuatu selalu berjalan sebagaimana "mestinya", Arsenal tidak perlu kalah, Chelsea tidak usah ditahan imbang, dan Sergio Romero seharusnya tampil amat buruk sebagai pengganti David De Gea.
Ya, seperti hidup Gatsby yang dituliskan oleh Fitzgerald, seringkali apa yang kita ingin-inginkan malah meleset.
====
*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.