Beban Berat di Pundak Youngster Manchester City

Jika Anda tak punya banyak waktu luang tapi Anda punya cukup uang untuk makan di restoran, apakah Anda akan tetap repot-repot memasak sendiri dengan hasil yang belum tentu enak?
Persoalan masak dan makan enak itu sepertinya cocok untuk menggambarkan situasi antara Manchester City dan para pemain muda mereka. Situasinya makin pas karena City sebenarnya juga punya dapur terbaik, peralatan masak yang lengkap, dan bumbu yang komplet juga.
Masalahnya, Manuel Pellegrini sebagai koki utama tak punya banyak waktu. Dia tahu butuh waktu yang tidak sebentar untuk meracik masakan yang benar-benar lezat. Padahal, pria asal Chile itu diharamkan menyajikan masakan yang tidak enak kepada tuannya. Jadilah dia lebih memilih memesan di restoran meski punya dapur terbaik dan bahan makanan paling lengkap di kulkasnya.
Dalam hal ini, bahan makanan adalah perumpamaan untuk para pemain muda City yang memang masih mentah, belum matang. Dapur, peralatan masak, dan bumbu adalah penggambaran untuk akademi, fasilitas, dan para pelatih yang ada di dalamnya, sementara masakan enak adalah hasil akhir berupa trofi juara dan kejayaan klub.
***
Dulu, sebelum Sheikh Mansour datang pada 2008, saat manajer-manajer City masih dimaafkan jika "masakan" buatannya tidak enak, City masih bisa melahirkan pemain-pemain seperti Joey Barton, Shaun Wright-Phillips, Michael Johnson, Kasper Schmeichel, Nedum Onuoha, Micah Richards, Stephen Ireland, dan Daniel Sturridge. Itu dulu, ketika target City baru sekadar finis di papan tengah Premier League.
Sekarang situasinya sudah sangat berbeda. Manajer City ditargetkan bisa memberi minimal satu gelar setiap musimnya. Pellegrini, yang direkrut pada 2013 untuk menggantikan Roberto Mancini, diminta menghadirkan paling tidak lima trofi dalam waktu lima musim.
Tuntutan itu -- yang sebenarnya juga dirasakan oleh manajer-manajer di klub top lain -- membuat manajer City tak punya banyak ruang untuk bereksperimen atau coba-coba dengan memasang pemain-pemain muda yang masih hijau dan baru sebatas "berpotensi". Para manajer itu, mulai dari Mark Hughes, Roberto Mancini, dan terakhir Pellegrini, lebih memilih untuk menurunkan pemain bintang yang sudah "jadi", yang sudah jelas terbukti kemampuannya, karena pemain-pemain itu lebih bisa diandalkan untuk meraih hasil.
Karena Premier League dan Liga Champions menjadi prioritas utama, sedikit celah yang bisa dimanfaatkan oleh manajer City untuk memberi kesempatan kepada pemain muda adalah ajang Piala FA atau Piala Liga Inggris. Sayangnya, tak ada jaminan akan hal tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, City terus berusaha untuk memperkuat skuatnya dengan mendatangkan pemain-pemain top dunia. Mereka menginginkan dua pemain kelas wahid di masing-masing posisi. Dengan kata lain, The Citizens minimal punya 22 pemain top, yang semuanya ingin main. Hal ini membuat para youngster City makin sulit menembus tim utama.
Kalaupun Pellegrini melakukan rotasi untuk ajang-ajang nonprioritas seperti Piala FA atau Piala Liga Inggris, yang dia lakukan adalah mengistirahatkan pemain pilihan pertamanya dan memasang pemain pilihan kedua. Misalnya saja untuk kuartet pemain belakang. Dia bisa menyimpan Bacary Sagna-Vincent Kompany-Eliaquim Mangala-Aleksandar Kolarov kemudian memainkan Pablo Zabaleta-Nicolas Otamendi-Martin Demichelis-Gael Clichy. Tak ada kesempatan untuk pemain muda.
Akademi Terbaik Milik City
Apakah City tak peduli dengan pemain-pemain mudanya atau tak ingin mencetak pemain binaan mereka sendiri? Tidak, tidak sama sekali. Sheikh Mansour rela mengeluarkan dana besar bukan cuma untuk merekrut pemain-pemain top, tapi juga untuk membangun salah satu akademi sepakbola terbaik di dunia.
"We are building a structure for the future, not just a team of all stars," ujar Sheikh Mansour pada September 2008 saat membeli City. Ucapannya tersebut kini diabadikan di salah satu dinding akademi baru City.
Pada akhir tahun lalu, City meresmikan City Football Academy (CFA). CFA dengan luas sekitar 32,3 hektar merupakan salah satu bagian dari Etihad Campus dan pembangunannya menghabiskan dana antara 150 juta hingga 200 juta poundsterling.
CFA, yang dihubungkan dengan sebuah jembatan menuju Etihad Stadium, dilengkapi 16,5 lapangan latihan luar ruangan yang dipakai oleh tim utama City, tim sepakbola wanita City, dan para pemain akademi. Dari 16,5 lapangan itu, 12,5 di antaranya didedikasikan untuk pengembangan pemain-pemain muda.
CFA dilengkapi sebuah stadion akademi yang bisa menampung 7.000 penonton. Setiap pekannya ada lebih dari 450 pemain berlatih di CFA, mulai yang paling junior (U-6) sampai para pemain utama. CFA juga dilengkapi sejumlah fasilitas pendukung seperti gym, auditorium, pusat pendidikan, kolam renang, dan lain-lain.
CFA milik City ini lebih besar daripada Ciudad Training Complex milik Real Madrid (13,5 lapangan), Football Association's National Football Centre (timnas Inggris, 12 lapangan) dan Ciutat Esportiva Joan Gamper kepunyaan Barcelona (9 lapangan).
Pembangunan akademi sepakbola dan pusat latihan modern dengan fasilitas super lengkap itu menunjukkan bahwa City benar-benar serius ingin menghasilkan pemain-pemain binaan sendiri. Akan tetapi, ada sebagian pihak yang masih sinis dan meragukan pemain lulusan CFA akan bisa menjadi tulang punggung tim utama City di masa depan.
Keraguan itu tak sepenuhnya salah karena dalam beberapa waktu terakhir City tak menunjukkan tren memberi banyak kesempatan kepada pemain-pemain binaan mereka. Ada sederet nama pemain muda City yang harus angkat kaki dari Etihad karena tak mendapatkan kesempatan.
John Guidetti, yang dulu terlihat punya prospek cerah sebagai striker masa depan City, akhirnya dilepas setelah kontraknya habis pada akhir musim lalu. Karim Rekik, bek berkebangsaan Belanda, dijual ke Marseille setelah beberapa kali dipinjamkan ke klub lain. Adapun Denis Suarez sudah pulang ke Spanyol dan kini membela Villarreal.Rony Lopes, yang mendapatkan debutnya di tim utama di era Roberto Mancini, sekarang telah bergabung dengan AS Monaco meski musim lalu tampil oke sebagai pemain pinjaman di Lille. Sementara itu, Jose Angel Pozo yang musim lalu beberapa kali diturunkan oleh Pellegrini, sudah dilepas ke Almeria. Adapun Dedryck Boyata yang dalam beberapa musim terakhir jadi cadangan di lini belakang akhirnya dilepas ke Celtic karena tak kunjung bersinar.
Pemain muda terakhir yang harus pergi dari City adalah Jason Denayer. Denayer, bek Belgia berusia 20 tahun, sempat digadang-gadang bakal jadi pemain belakang andalan City di masa mendatang. Denayer tampil reguler dan cukup sukses saat dipinjamkan ke Celtic pada musim lalu. Dia kemudian dibawa Pellegrini dalam tur musim panas City ke Australia.
Denayer masuk tim utama City pada awal musim ini sebagai bek tengah pilihan keempat di belakang Kompany, Mangala, dan Demichelis. Namun, kedatangan Otamendi membuatnya langsung tersingkir. Dia akhirnya dipinjamkan ke klub Turki, Galatasaray.
Sedikit Harapan Tersisa
Tentunya tidak adil jika menilai berhasil tidaknya CFA menghasilkan pemain-pemain untuk tim utama City sekarang karena CFA baru dibuka akhir tahun lalu. Mungkin butuh waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan untuk melihat lulusan-lulusan CFA naik ke panggung utama.
Akan tetapi, hal itu tak berarti City tak mungkin mempromosikan pemain mudanya dalam waktu dekat ini. Karena Rekik, Lopes, dan Pozo telah dilepas, sementara Denayer sedang dipinjamkan, maka peluang terbesar menjadi milik Kelechi Iheanacho.
Demi memberi tempat kepada Iheanacho, Pellegrini rela membiarkan Edin Dzeko dan Stevan Jovetic pergi pada musim panas ini. Iheanacho, striker Nigeria berusia 18 tahun, saat ini menjadi opsi ketiga di lini depan City setelah Sergio Aguero dan Wilfried Bony.
Iheanacho, yang bergabung dengan akademi City pada awal tahun 2014, mencetak enam gol untuk negaranya di ajang Piala Dunia U-17 di Abu Dhabi pada 2013. Atas performanya tersebut, dia diganjar Bola Emas untuk penghargaan pemain terbaik.
Karena permasalahan izin kerja, Iheanacho baru bisa membela tim Elite Development Squad (tim U-21 City) pada Februari 2015. Dia langsung tampil apik bersama tim EDS dan Pellegrini pun mengajaknya dalam tur pramusim di Australia. Dalam tur tersebut, dia mencetak satu assist dan satu gol pada laga melawan AS Roma.
Setelah melakoni debut kompetitifnya bersama City pada laga melawan Watford, Iheanacho menjadi pahlawan ketika dia mencetak gol semata wayang ke gawang Crystal Palace. Sayangnya, Iheanacho tak masuk skuat City di Liga Champions.
"Dia akan menjadi pemain yang sangat penting di masa depan dan dia menunjukkan kenapa saya mempertahankan dia di skuat dan tidak mendatangkan striker lain ketika kami menjual Edin Dzeko. Saya pikir dia pantas mendapat kesempatan dan dia menunjukkan kenapa," kata Pellegrini soal Iheanacho.
Di luar Iheanacho, City juga masih punya pemain-pemain muda lain di tim EDS yang berpeluang menembus tim utama di masa mendatang, misalnya Brandon Barker (gelandang/17 tahun), Manuel Garcia (gelandang/17 tahun), dan Cameron Humphreys (bek/17 tahun).
Sangat logis apabila dengan akademi sebagus yang dimiliki City, akan terus lahir pemain-pemain berbakat dari klub ini. Maka barangkali ini soal kesempatan dan keberanian.
====
* Penulis adalah wartawan detiksport. Akun twitter: @meylanfredy