Cerita (Kian) Sunyi Paul Cumming

Seseorang bertanya kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib. "Wahai Amirul Mukminin, kulihat sahabat-sahabatmu begitu setia hingga jumlah mereka banyak sekali. Berapakah jumlah mereka? Dijawab oleh Ali: "Nanti akan kuhitung ketika aku tertimpa musibah."
**
Akhir Maret lalu saya mengunjungi sahabat saya, Paul Cumming, di sebuah dusun nan sepi di Kecamatan Poncokusumo, sekitar 30 kilometer dari Kota Malang. Anda yang sudah cukup umur untuk mengikuti persepakbolaan di tanah air di era 80 sampai 90an, mungkin pernah mendengar nama ini. Atau mungkin tidak.
Paul selalu menyambut kedatangan saya dengan sumringah. Bukan soal bahwa dia berbicara dengan suara yang pelan dan lambat, bahkan jika tertawa terkekeh-kekeh pun nyaris tak terdengar, kecuali barisan giginya yang tinggal tak seberapa. Bekas cedera di tulang punggung menambah lamban gerak-gerik tubuh pria tua ini, yang rambut pirangnya sudah berganti sepenuhnya dengan helai-helai uban.
Sudah tiga kali saya singgah ke rumahnya, tapi masih saja Paul memamerkan artefak-artefak sepakbola kebanggaannya, yang entah nanti akan diwariskan kepada siapa. Dia mungkin lupa -- atau tidak peduli -- bahwa saya sudah pernah melihatnya. Pada dinding ruang tamu rumahnya berjajar figura-figura tua yang menjadi saksi bisu betapa dia pernah eksis di negeri ini -- entah siapa yang masih sering mengingatnya. Foto-foto dia memakai baju training di pinggir lapangan, menegaskan tanpa syarat bahwa dia sungguh pernah hadir di kancah sepakbola Indonesia.
Lalu dia memamerkan lagi ratusan artefak sepakbola berupa lembaran-lembaran matchday programme sepakbola Inggris, negeri kelahirannya, yang bahkan tertanggal tahun 1903. Lembaran-lembaran yang sudah menguning itu dia rawat betul-betul, dikumpulkan dalam beberapa bundel, bersama sejumlah potongan berita di koran lawas, yang juga pernah mengiyakan keberadaannya untuk sepakbola Indonesia. Dengan segala keterbatasannya di usia tua, nostalgia boleh jadi memang satu-satunya lagu yang paling indah untuk selalu dinyanyikan, untuk sekadar mengusir kesunyian.
Salah satu artefak yang paling ia banggakan adalah sekeping tiket pertandingan Indonesia versus Uni Soviet di Olimpiade 1956. "Ini saya beli dari orang Australia, dari internet. Harganya 10 poundsterling," kenang Paul.
Di bagian rumahnya terhampar tanah seluas seribuan ribu meter persegi, yang di sana berdiri tak kalah sunyi pohon-pohon jeruk yang menghasilkan tak seberapa. Setiap panen, katanya, jeruk-jeruk itu hanya memberinya "uang jajan" sebesar Rp 200 ribu.
"Saya ada rencana bikin beer garden di sini. Tapi sepertinya tidak boleh ya, karena ini 'kan di kampung," ucap dia. Saya tidak bisa tidak tertawa mendengar rencana "jeniusnya" itu :D
***
Senin (6/10) kemarin saya mengunjungi lagi sahabat tua saya itu, lima bulan setelah sang istri pertama kali memberitahu saya bahwa suaminya terkena stroke dan harus diopname selama dua minggu. Fifin, wanita asal Madura yang dinikahi Paul sejak 1991, membuat saya terharu dengan sejumlah SMS minta didoakan untuk kesembuhan suaminya, termasuk pada Hari Raya Idul Fitri kemarin.
Saya tentu saja mengabari dia perihal rencana kedatangan kemarin. Paginya Fifin mengirim teks: "sekarang kami mengungsi ke rumah orangtua, di Jln. Kecipir 46a, Bumiayu, (Kota Malang). Biar tidak jauh kalau harus bolak-balik rumah sakit."
Saya diterima adik ipar Ibu Fifin sewaktu memasuki rumah sederhana itu. Pemandangan yang tampak lima meter dari saya berdiri sungguh mengagetkan saya. Di ruang tengah, di atas ranjang dari besi, tergolek tak berdaya seorang lelaki yang hanya mengenakan celana pendek. Tiga meter dari ranjang, semakin jelas bahwa tubuh itu bukan tubuh gemuk Paul yang selama ini saya tahu. Dia kehilangan hampir setengah dari berat badan sebelumnya. Semeter berdiri di sampingnya, saya semakin kaget. Seonggok daging sebesar telur ayam bertengger di atas dahinya. Masya allah.
"Ternyata masih ada tumor ganas di bagian lain di kepala Paul. Yang ini cepat sekali tumbuhnya. Dua bulan lalu masih sebesar kelereng," terang Fifin.
Dua tahun lalu, sehabis menonton pertandingan Liverpool di Jakarta, Paul mendapat banyak bantuan dana dari simpatisan untuk biaya operasi kanker kulit ganas yang menyerang kepalanya. Kini penyakit serupa datang lagi.
Waktu dibisiki perihal kedatangan saya, begitu mata Paul terbuka, dia seperti terkejut melihat saya. Dia seperti ingin bicara sekeras-kerasnya, tapi apa daya, dia sudah tidak bisa bicara sejak terkena stroke, yang sudah mematikan sisi kanan tubuhnya, dari atas sampai ke kaki. Tangan kirinya meronta-ronta pada gagang tempat tidur. Dia menangis --tanpa suara-- sewaktu saya peluk dan ucapkan, "apa kabar, Om?"
Saya tak perlu menuliskan betapa pilu saya menyaksikan episode ini. Seorang pelatih kenamaan di masanya, yang telah mengalami berbagai pasang-surut dalam hidupnya, yang tersendiri di masa tuanya, masih harus berjuang keras di usia senjanya. Dan saat ini, Paul hanya bicara dalam hati, lewat tatapan mata tanpa kata-kata. Hanya isyarat jempol yang saya pahami dari reaksi dia ketika saya menanyakan, "Masih ingat saya, Om?"
Malamnya saya kembali dan berbincang-bincang dengan sang istri, yang tak kenal lelah mendampingi suaminya yang sedang sakit itu. Sambil kami ngobrol, berkali-kali Fifin mengusap-usap kepala Paul dengan lembut. "Tadi sore habis pulang mengajar, saya bilang ke dia, nanti Andi mau ke sini lagi. Kamu harus pakai baju yang rapi ya, biar ganteng."
Diceritakan Fifin, sejak diopname Paul harus makan melalui selang yang dimasukkan ke lubang hidungnya. Selang itu baru bisa dilepas ketika pada 12 Agustus lalu Paul berulang tahun ke-68.
"Kami mengadakan pesta sederhana buat dia. Kami bikin cake (kue). Sejak itu dia terlihat mulai mendingan. Seperti ada semangat lain yang tumbuh dari dalam dirinya. Dua kali seminggu dia di-fisioterapi di atas tempat tidur. Alhamdulillah, bagian sebelah kirinya sudah lebih baik," tutur sang istri, yang lima tahun lagi akan memasuki masa pensiun sebagai seorang pendidik di sekolah menengah pertama.
Fifin bercerita lagi, Paul terlihat lebih bersemangat manakala ada orang-orang yang berkunjung. Dia menyebut, ada beberapa kenalan Paul yang menyempatkan diri melihat kondisinya, termasuk Coach Timo Scheunemann, beberapa rekan pelatih di Malang, dan teman-teman dari Big Reds Malang.
Keluarga Paul di Inggris pun rajin menelpon, terutama sang kakak, Rosalind Cumming, seorang pelukis yang cukup punya nama di Shrospire, satu daerah di bagian barat Inggris.
"Dia kakak yang baik. Tak pernah lupa dengan adiknya yang sudah jadi orang Indonesia ini. Sayangnya, sama seperti Paul, dia punya fobia naik pesawat terbang. Jadinya sangat sulit untuk datang ke sini," ucap Fifin.
"Ada juga seorang kawan lama Paul di Inggris. Dia beberapa kali mengirimi e-mail, sekadar memberi kabar tentang Hendon FC. Setiap kali saya membacakan e-mail itu, Paul kayaknya senang sekali."
Hendon adalah daerah kelahiran Paul. Tak heran, walaupun Liverpool FC adalah klub favoritnya, Paul cinta mati pada klub kotanya, yang saya pastikan tak banyak fans bola di Indonesia yang mengenal Hendon FC.
Jam 9 malam saya pamit. Lalu saya bilang pada Paul, "Brendan Rodgers sudah dipecat, Om. Nanti yang ganti orang Jerman. Semoga Liverpool bangkit lagi ya." Paul menjawab dengan pelan-pelan mengacungkan jempol kirinya.
"Semangat ya, Sayang," timpal sang istri. "Kamu tidak sendiri."
Fifin mengucapkan kata-kata itu sambil menatap penuh kasih seorang lelaki tua yang berbaring lemah di atas tempat tidur tua, yang kasur dan bantalnya dibungkus kain merah berlogo burung Liver, dengan slogan yang begitu agung: "You'll never walk alone".
===
* Penulis adalah redaktur pelaksana detiksport. AKun twitter: @sururi10
Baca juga:
Hikayat Paul Cumming: Kisah Sedih dari Lereng Semeru Kisah-Kisah Sukses yang Dibalas Air Tuba:Walau Sakit, Berusaha Lagi, Lagi, dan Lagi, No Country for Old Man
Paul Cumming dan Bantal Merah Liverpool
Mimpi Itu Terwujud
Sebuah Percakapan di Telepon dengan Paul Cumming