Let The Game Begin (Again)
Gaduh sekali urusan suporter ini, menjelang final Piala Presiden malam nanti. Semestinya, habis ini, ada yang lebih gaduh lagi daripada urusan itu: bahwa sepakbola Indonesia bisa "gaduh" kembali.
Persib atau Sriwijaya FC yang jadi juara, bukanlah yang paling menarik dari keadaan hari ini. Seperti apa suasana Jakarta nanti sore sampai tengah malam, terkait riuhnya isu The Jakmania versus bobotoh, yang sampai-sampai membuat polisi begitu sibuk mengurusi, pun sesungguhnya bukanlah hal yang baru sama sekali di kancah sepakbola kita.
Keriuhan itu, dalam kacamata penulis, terjadi (apa boleh buat) lantaran saat ini memang tak ada lagi geliat peristiwa sepakbola dalam negeri yang layak diperbincangkan kecuali Piala Presiden ini. Maka, ketika turnamen ini mendekati final, hanya itu yang merupakan sebuah "update nyata" dari kondisi sepakbola kita yang sudah setengah tahun mati suri.
Pertanyaan Bambang Pamungkas yang ditulis pada harian Jawapos (16/10), Setelah Piala Presiden, lalu Apa?, itulah sesungguhnya urgensi yang mesti dibahas mulai besok.
Pertandingan Persib vs Sriwijaya FC toh akan selesai setelah 90 (maksimal 120) menit. Kegaduhan suporter pun akan (sedikit) mereda dengan sendirinya setelah tetamu dari Bandung dan Palembang pulang ke rumah masing-masing -- semoga tidak ada gesekan yang lebih buruk dari setiap kekhawatiran yang terlanjur mencuat sejak beberapa hari terakhir ini.
Soal kekhawatiran tersebut, bagaimana tidak ada jika polisi sendiri bahkan mengimbau warga menjauh dari GBK mulai nanti sore. Ini 'kan hanya penegasan lagi, betapa seringkali sepakbola di sini adalah momok tersendiri untuk masyarakat yang tinggal tak jauh dari stadion. Sebuah humor yang tidak lucu ketika membayangkan sebuah perhelatan final, sebuah puncak dari sebuah "pesta", justru dibumbui dengan hal-hal yang tidak mendukung kemeriahan pesta itu sendiri, termasuk jika suporter dipersilakan datang tanpa mengenakan atribut-atribut tim kesayangannya, yang padahal itulah wujud besar untuk memperlihatkan identitas, dukungan, dan kebanggaan mereka.
Tapi, sekali lagi, apa boleh buat, itulah gambaran sepakbola kita saat ini, yang sesungguhnya sudah berlangsung lama. Coba Anda khayalkan menjadi seorang romantis, kapan kira-kira Anda bisa mengajak istri, anak dan kakek-neneknya, untuk beramai-ramai menonton pertandingan bola di dalam stadion dengan penuh keceriaan, seperti yang sangat mudah dan biasa kita saksikan contohnya di Eropa melalui siaran televisi. Anda tentu akan mendahulukan keselamatan mereka dengan mengajukan pertanyaan: "kalau kalah, pulangnya aman gak ya?"
Hiruk pikuk Piala Presiden di Jakarta akan segera sirna maksimal dalam seminggu hari ke depan -- kecuali rivalitas The Jak dan bobotoh, karena memang dalam batas-batas tertentu, rivalitas itu memang harus ada dalam dunia (suporter) sepakbola. Di manapun. Setelah ini, kalau pertanyaan Bepe di atas tidak segera dijawab, sepakbola kita ya akan vakum lagi. Habis ini apa?
Dua minggu lalu di Kota Batu, Kabupaten Malang, Menpora Imam Nahrawi mengeluarkan pernyataan penting dan menarik, yang tidak akan penting dan menarik kalau tindak lanjutnya tidak ada.
"Saat ini pemerintah sangat mendorong tata kelola sepakbola supaya profesional, akuntabel, berjenjang dan berkelanjutan. Tidak boleh ada campur tangan politik, sepakbola tidak boleh dijadikan sebagai alat politik. Kalau bebas politik, olahraga akan jaya, berprestasi, dan menemukan kejayaannya," ucap Imam.
"Mohon maaf kepada pemain, pelatih, dan semua yang sempat terusik setahun ini Saya yakinkan, maksimal Februari atau Maret nanti, urusan sepakbola ini akan selesai, dan akan ditangani oleh orang-orang yang murni cinta lahir batin pada sepakbola."
Februari atau Maret itu bisa sebentar dan terasa, kalau melihat betapa sepakbola kita memang sudah amburadul, dan untuk memperbaikinya memang memerlukan waktu yang tidak cepat. Tapi Februari atau Maret itu bisa terasa sangat lama apabila langkah-langkah menuju ke sana tidak kunjung dilakukan dengan tepat.
Dalam situasi sekarang, pemerintah memang harus bertanggung jawab. Paling tidak, itu karena mereka sudah membekukan federasi (PSSI), yang mengakibatkan Indonesia dihukum oleh FIFA -- dan kita tidak ngapa-ngapain selama setengah tahun ini. Dalam hemat penulis, Tim Transisi yang diberi tugas dan wewenang untuk menata ulang sistem persepakbolaan di tanah air, hingga kini tak bergigi dan bertaji. Tolong ingatkan saya jika salah, apa sih yang sudah dihasilkan Tim Transisi selama enam bulan ini?
Maka, seiring dengan akan berlangsungnya pertandingan final Piala Presiden nanti malam, setiap janji negara untuk menggerakkan lagi roda sepakbola Indonesia pun sudah harus kickoff (lagi). Sekali lagi, memang butuh proses yang tidak sebentar. Tapi, kalau nanti-nanti lagi, ya kapan jadinya?
So, let the game begin (again).
===
* Penulis adalah redaktur pelaksana detiksport. Akun twitter: @sururi10












