Menyanyikan Leicester City dalam Nada Milik Rialto

Melihat Leicester City musim ini, saya teringat lagu milik Rialto, 'The Underdogs'. Diiringi lagu karangan Louis Eliot tersebut, saya membayangkan Jamie Vardy bergerak dalam adegan lambat, mengepalkan tangan, lalu menepuk-nepuk dadanya seraya berteriak.
'The Underdogs' memang bukan lagu dengan tempo yang menggebu-gebu. Anda bisa mendengarkannya sembari membuka kaca mobil, berjalan pelan di tengah kelengangan entah di mana, dengan tembakau terbakar di tengah jari tangan. Tapi, 'The Underdogs' lebih dari itu.
Untuk membuat sebuah lagu "berteriak", tidak melulu dibutuhkan tempo yang menghentak-hentak. 'The Underdogs' membuktikan itu. Jika memperhatikan liriknya, pahamlah kita bahwa 'The Underdogs' adalah pekik kemenangan mereka yang tersingkir dan tertepikan.
Bait demi bait, Eliot, penyanyi sekaligus pembuat lirik Rialto, menyuarakan bagaimana enaknya menjadi yang tersingkir dan tertepikan: Bebas, lepas, tidak terkait oleh ini dan itu, atau terbebani peraturan-peraturan baku. Pokoknya semau-maunya.
Raungan gitar dalam 'The Underdogs', yang kering tapi mewah, menggambarkan betul pekik kemenangan itu. Bersikap bebas dan semau-maunya memang sebuah kemewahan --karena tidak semua orang bisa (atau berani) melakukannya. Kemewahan seperti inilah yang biasanya hanya dipunyai oleh mereka yang tidak punya apa-apa --ya, para 'Underdogs' itu.
We've been waiting so long,
we know just what we want,
we will cheat and we'll rob,
'Cos we are The Underdogs,
we are The Underdogs.
Eliot dengan gamblang mengutarakan bagaimana para 'Underdogs' sudah lama mengidam-idamkan apa yang dimiliki mereka yang berada di atas sana. Karena tidak mendapatkan kesempatan yang sama, para 'Underdogs' akan merebutnya dengan paksa jika bertemu dengan mereka yang berada di tempat tinggi itu.
It's the chrome and steel,
and all the power that we want to feel,
so when we catch them we will rip them apart.
Sah? Ya, tidak peduli. Namanya juga 'Underdogs'. Dalam benak mereka, berbuat sebaik-baiknya dan sepatut-patutnya hanya milik orang-orang atas.
***
Dalam nafas yang sama, kita jadi paham bagaimana pola pikir tim-tim non-unggulan ketika bertemu tim raksasa. Yang butuh kemenangan adalah tim-tim raksasa, bukan tim-tim non-unggulan. Kalau tim non-unggulan tidak menang, itu sudah biasa. Maka, jadilah sebenarnya beban ada pada mereka yang berstatus raksasa.
Dengan keadaan demikian, tentu lebih enak mengerjai dan mempermainkan tim-tim raksasa itu. Sementara mereka punya "keharusan" untuk menang dan bermain atraktif --karena punya nama besar yang dipertaruhkan--, tim non-unggulan bisa saja memasang delapan orang di dalam kotak penalti sendiri.
"Peduli setan. Kalau kami tidak menang, tapi mereka pulang dengan bersungut-sunggut, kami sudah cukup puas. Kalau menang... ya, itu bonus," kira-kira demikianlah kalau mau digambarkan sudut pandang para 'Underdogs' itu.
Ketika Leicester City kini duduk dengan gagahnya di puncak klasemen Premier League, saya tidak bisa melupakan pekik kemenangan para 'Underdogs' itu. Mereka sudah berhasil, sepenuh-penuhnya, membuat mereka berstatus unggulan pulang dengan wajah kesal. Lihat bagaimana Jose Mourinho, yang mengaku sudah memantau Leicester empat hari penuh, pulang dengan membawa kekalahan. Ujung-ujungnya, ia merasa dikhianati pemain-pemainnya sendiri yang dinilainya tampil jelek.
Jika akhirnya Leicester menjadi juara di akhir musim, itu adalah bonus besar buat mereka. Jika tidak, maka sudah cukuplah kekesalan Mourinho atau wajah masam Louis van Gaal, menjadi souvenir tersendiri. Anggaplah itu harta rampasan perang dari lawan dengan serdadu yang lebih melimpah.
Leicester benar-benar menjadi perwujudan dari lagu 'The Underdogs'. The Foxes, rubah-rubah biru itu, begitu licin dan agresif.
"We will cheat and we'll rob."
Vardy dan rekan-rekannya memang tidak berbuat curang atau licik di atas lapangan, tapi melihat usaha mereka untuk "mencuri" bola sesegera mungkin, bahkan ketika masih ada di area pertahanan lawan, bolehlah bait tersebut dijadikan penggambaran yang pas untuk gaya main Leicester.
"So when we catch them we will rip them apart."
Entah sudah berapa kali Vardy atau Riyad Mahrez mengancam gawang lawan dengan cara merebut bola dari kaki bek atau memanfaatkan kesalahan pemain bertahan lawan. Ketika tim lawan lengah, Vardy atau Mahrez akan langsung merobek-robek mereka.
Ingat bagaimana Vardy menorehkan rekor, ketika dia mencetak gol untuk 11 laga berurutan? Kala itu, ia dengan jitu mengendus kelemahan di lini belakang Manchester United. Vardy sadar bahwa ketika United sedang melakukan sepak pojok, nyaris semua bek tengah mereka ada di kotak penalti Leicester.
Maka, dengan mengendap-endap, sembari sesekali mempercepat langkah, Vardy mendekati kotak penalti lawan. Kesempatan itu kemudian datang; ia melihat celah di antara Ashley Young dan Matteo Darmian. Dengan cepat, Vardy menusuk masuk, menerima umpan terobosan dari rekannya, lalu membobol gawang yang dikawal David De Gea.
Leicester sendiri bukanlah tim dengan rata-rata akurasi operan terbaik di Premier League. Malah, faktanya, mereka hanya berada di posisi ke-20 untuk urusan akurasi operan, hanya 71,53%. Rata-rata operan pendek per laga mereka hanya mencapai angka 271,4, membuat mereka duduk di posisi ke-18 untuk urusan jumlah operan pendek per laga.
Leicester tak peduli dengan permainan indah atau atraktif dengan operan-operan pendek. Yang mereka tahu adalah berlari dan berlari. Bola hanya ada satu di lapangan, dan sebisa mungkin mereka akan "mencurinya" dari penguasaan lawan.
Tiap kali ada kesempatan, Leicester akan langsung menyusun serangan. Entah itu dengan giringan bola atau dengan umpan langsung ke depan. Pokoknya tanpa basa-basi, tidak neko-neko. Lawan lengah, habislah sudah.
Sementara Leicester kini duduk di singgasana teratas, menggeser mereka yang merasa lebih berhak mendudukinya, bolehlah kita mendengarkan lagu itu sekali lagi.
====
*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.