Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Detik Insider

    Catatan dari Jepang

    Hachiko dan Harga Sebuah Kesetiaan

    Mohammad Resha Pratama - detikSport
    Detiksport/Resha Pratama Detiksport/Resha Pratama
    Tokyo -

    Anda tentu pernah mendengar Hachiko, cerita yang begitu melegenda di Jepang. Cerita yang mengisahkan kesetiaan seekor anjing pada tuannya hingga ajal menjemput.

    Hachiko adalah anjing yang lahir pada 10 November 1923, dengan tuannya adalah keluarga Giichi Saito dari Odate, Prefektur Akita. Lewat seorang perantara, Hachi dipungut oleh keluarga Ueno yang ingin memelihara anjing jenis Akita Inu.



    Hachi menjadi anjing peliharaan Profesor Hidesaburo Ueno yang mengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo. Profesor Ueno waktu itu berusia 53 tahun, sedangkan istrinya, Yae berusia 39 tahun. Profesor Ueno adalah pecinta anjing.

    Ketika Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergian majikannya di pintu rumah atau dari depan pintu gerbang. Di pagi hari, bersama S dan John, Hachiko kadang-kadang mengantar majikannya hingga ke Stasiun Shibuya. Di petang hari, Hachiko kembali datang ke stasiun untuk menjemput.

    Begitu seterusnya dan sampai pada akhirnya tanggal 21 Mei 1925, Profesor Ueno meninggal dunia dan Hachiko pun ikut menemani si profesor hingga dimakamkan.

    Malangnya, Hachiko malah terlunta-lunta setelah sang majikan meninggal dunia. Setiap hari Hachiko masih saja setia menunggu kepulangan Ueno, meski dia tidak tahu bahwa Ueno sudah berada di alam lain.

    Sampai akhirnya Hachiko meninggal pada 8 Maret 1935, setelah ditemukan tak lagi bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai Shibuya. Saking melegendanya cerita Hachiko saat itu, orang-orang pun menghadiri pemakamannya termasuk janda profesor Ueno.

    Hachiko bahkan dimakamkan di samping makan majikannya tersebut dan bahkan dibuatkan patungnya di dekat stasiun Shibuya, yang sampai sekarang jadi tujuan utama orang-orang Jepang atau para turis.

    Kisah Hachiko ini sampai dua kali diangkat ke layar lebar, yakni pada 1987 yang berjudul Hachiko Monogatari dan pada 2009, Hachiko: A Dog's Story yang dibintangi aktor kawakan Richard Gere.

    Pesan moral yang bisa ditarik dari cerita ini adalah bagaimana mahal dan pentingnya harga sebuah kesetiaan. Dari situlah, kita bisa belajar menghargai sebuah komitmen, baik kepada pasangan, teman, atau siapapun di dunia ini.

    River Plate dan suporternya

    Dalam sepakbola pun, kesetiaan adalah sebuah harga mahal yang harus ditebus oleh suporter kepada klub kesayangannya. Seberapa buruknya tim itu dan terjatuh ke lubang terdalam, satu-satunya yang tidak akan meninggalkan mereka adalah suporter.

    Suporter bak nyawa untuk klub, tanpa suporter klub bukanlah siapa-siapa dan tidak akan menjadi apa-apa. Sudah banyak cerita soal kesetiaan suporter kepada klubnya.

    Contoh saja bagaimana suporter Liverpool tetap setia dan berharap timnya bisa segera bangkit, seperti era kejayaan mereka di tahun 70-an hingga 90-an. Atau bagaimana ketika suporter Juventus tetap setia menunggu timnya merajai Serie A lagi setelah sempat terlempar ke Serie B karena kasus Calciopoli.

    Tak cuma materi, kadang nyawa pun sampai dipertaruhkan untuk membela klub yang dicintainya. Bagi mereka, klub adalah "agama". Jika saja pindah ke lain hati, itu mungkin sama saja dengan murtad.

    Demikian halnya dengan River Plate dan suporternya. Sebagai sebuah klub besar di Argentina - selain Boca Juniors -, mereka tentu terbiasa melihat timnya meraih kesuksesan, trofi demi trofi memenuhi lemari River.

    Namun, hidup itu kadang di atas, kadang di bawah seperti halnya roda pedati yang berputar. Suporter River mana yang tak pilu hatinya melihat tim kesayangnnya jatuh terpuruk pada 2011. Gara-gara krisis ekonomi, River pun goyah dan akhirnya harus menerima kenyataan terdegradasi ke divisi dua untuk pertama kali dalam sejarah.

    Ini tentu sangat memalukan sekaligus memilukan bagi klub sebesar River, di mana mereka harus berjibaku di divisi kedua dan jadi bahan olok-olok Boca serta suporternya. Suporter River tentu tahu bahwa dengan dukungan mereka-lah, klub bisa bangkit lagi.

    Dan terbukti bahwa River hanya butuh empat tahun untuk bangkit, ketika mereka berhasil menjuarai Copa Libertadores pada tahun 2015, gelar ketiga di kompetisi.

    Gelar yang mana membawa River tampil di Piala Dunia Antarklub, sebuah kesempatan besar bagi Los Millonarios untuk bertemu raksasa Spanyol, Barcelona. Kesempatan yang tak ingin dilewatkan juga oleh para suporternya.

    Jauh-jauh dari Argentina, menyeberang samudera Atlantik ke Pasifik, mereka pun tiba di Jepang dan memberikan dukungan untuk klub kesayangnya.

    Akhir pekan kemarin saya ada di Jepang dan berkesempatan melihat betapa "gila"-nya para suporter River itu. Di setiap sudut kota Tokyo, saya tak pernah absen melihat orang berlalu lalang menggunakan jaket warna merah yang menjadi ciri khas River, berbicara bahasa Spanyol.

    Sewaktu River berduel melawan Sanfrecce Hiroshima di Osaka, ada 15.000 penonton River yang datang ke Stadion buat nonton. Mereka bahkan terlihat lebih banyak dari suporter Sanfrecce, yang notabene adalah tim "tuan rumah".

    Pun pada hari pertandingan final, Minggu (20/12/2015), kota Tokyo sampai Yokohama disulap seperti Buenos Aires. Dalam banyak rombongan, suporter River itu berjalan menuju stadion menyanyikan lagu serta yel-yel dari suporter.

    Saya bertemu tiga orang suporter River dan coba iseng bertanya soal kegilaan mereka pada River. Pertanyaan saya mudah saja: Bagi Anda orang Argentina, lebih pengin River juara Piala Dunia atau Argentina juara dunia?

    "Buat kami River nomor satu, River di atas segalanya," begitu ucap salah seorang suporter River tersebut.

    Betul saja. Ketika di stadion saat pertandingan berlangsung, bintang Barcelona dan juga Argentina, Lionel Messi, tak luput dari cercaan mereka. Malah kadang menjurus kasar.

    Para suporter itu juga punya cara tersendiri untuk menunjukkan identitas mereka. Stadion Yokohama pun dibuat bak Monumental Stadium, kandang River. Suara mereka lebih lantang ketimbang fans Barcelona, yang saya rasa jumlahnya lebih sedikit dan justru didominasi orang Jepang. Anomali mengingat Barca sebagai klub besar harusnya punya basis fans lebih besar.

    "Vamos, vamos, vamos, River Plate, Vamos, vamos, vamos, River Plate,
    Vamos, River Plate... " begitulah nyanyian yang berkumandang di Yokohama Stadium.

    Dukungan itu tak pernah henti-hentinya meski River dalam kondisi tertinggal 0-3 dan akhirnya harus merelakan melihat Barca berpesta di akhir pertandingan.

    Sebuah bukti bahwa kesetiaan itu memang mahal harganya. Layaknya Hachiko yang selalu setia menunggu tuannya, suporter River pun tak pernah padam semangatnya untuk selalu mendukung timnya, baik di kalah susah maupun senang.

    Benar saja ketika ada ungkapan dalam sepakbola: "If you can't support us when we lose or draw, don't support us when we win."

    * Penulis adalah reporter @detiksport dengan akun twitter @reshadeco

    (mrp/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game