Solskjaer dan Kisah Kepahlawanan nan Absurd

Waktu tulisan ini diturunkan, mungkin Ole Gunnar Solskjaer sedang menikmati hari di rumahnya, tepat di pinggiran danau di Kristiansund sana.
Menyenangkan kalau melihat rumah Solskjaer itu: Rumah abu-abu dengan atap merah bata, berdermaga kayu, dan terletak tepat di pinggir danau. Hari Minggu pada bulan Februari begini, tentu enak duduk-duduk di dermaga itu sembari mengenakan sweater rajutan, menikmati angin dingin Norwegia yang berbenturan dengan bukit yang mengelilingi danau tersebut.
Di tengah dunia sepakbola modern yang amat bising, Solskjaer justru hidup di dalam ketenangan yang memekakkan. Ia bilang, sejak bermain untuk Manchester United dulu, ia tahu dirinya akan kembali ke Norwegia atau ke Kristiansund, kota kelahirannya, suatu hari nanti.
Di Manchester, ia mungkin hanya menemui sebuah kota kumal dengan pusat kota yang teramat padat. Di Kristiansund, di rumahnya sekarang, ia bisa menangkap lobster tiap bulan Oktober di halaman belakang.
Solskjaer, yang dulu dikenal dengan ketenangan dan kedinginannya di depan gawang lawan, kini sudah menemukan ketenangannya sendiri --di tempat yang dingin pula. Dua jam dalam sehari, ia mengendarai mobilnya melewati jalan-jalan lengang untuk mencapai Molde, kota tempat klub yang dilatihnya bernaung.
Dari segenap banyak gambaran akan ketenangan itu, wujud asli Solskjaer di atas lapangan pun tertutup rapat-rapat. Orang berwajah baik-baik inilah yang mengemukakan falsafah luhur yang layak dipegang oleh striker mana pun: "Tidak ada yang namanya penyelamatan bagus, yang ada hanya penyelesaian akhir yang buruk."
Solskjaer memang tidak berniat untuk merendahkan kiper mana pun. Ucapan tersebut dilontarkannya dari sudut pandang seorang ujung tombak, seorang predator yang memang sudah tugasnya memangsa lawan. Siapa sangka, di balik wajah mirip bayi itu tersimpan naluri membunuh yang amat dingin.
Jika Peter Schmeichel adalah '500 ribu pounds terbaik yang pernah dihamburkan oleh Alex Ferguson', maka Solskjaer adalah '1,5 juta pounds terlayak yang pernah dibuang oleh Alex Ferguson'. Alih-alih membayar 15 juta pounds untuk Alan Shearer, yang akhirnya memilih Newcastle United, Ferguson malah mendapatkan jackpot dengan duit yang jauh lebih sedikit.
Tidak ada yang menyangka, anak muda berusia 23 tahun yang didatangkan Ferguson dari Molde itu akan berubah menjadi salah satu penyerang paling legendaris dalam sejarah Manchester United. Bahkan, mungkin Solskjaer sendiri tidak menyangkanya.
Ketika didatangkan dari Molde, cita-cita Solskjaer sederhana saja, tidak langsung muluk-muluk atau bermimpi yang indah-indah dengan menjadi pencetak gol terbanyak Premier League, menjadi pencetak gol terbanyak dalam sejarah klub, atau yang semacamnya. Sebab, siapa juga dirinya waktu itu? Terkenal saja tidak. Apalah dirinya jika dibandingkan dengan Shearer.
Solskjaer mengira dirinya hanya didatangkan sebagai pemain cadangan. Cuma jadi pelapis Eric Cantona. Makanya, ia tahu diri. Bisa mendapatkan kesempatan main satu atau dua kali saja bersama tim utama dikiranya sudah bagus. Kini, Solskjaer layak untuk menertawai dirinya sendiri kalau ingat, pada musim perdananya itu, ia justru mencetak 18 gol dan menjadi pencetak gol terbanyak klub di liga.
Sisanya adalah sejarah: Kita (atau mungkin Anda, penggemar United) mengenal Solskjaer sebagai pahlawan United di Camp Nou, tempat United meraih gelar Liga Champions sekaligs memparipurnakan musim mereka dengan treble.
Lewat kaki Solskjaer-lah frase "And Solskjaer has won it!" berdengung nyaring di telinga pendukung United sampai sekarang. Frase itu dengan pas dan gamblang menggambarkan bagaimana satu sepakan kaki kanannya mengoyak gawang Bayern Munich, membuat seluruh isi bangku cadangan United berlarian ke pinggir lapangan, dan membuat Samuel Kuffour menangis sejadi-jadinya.
Malam itu di Camp Nou, di Barcelona, Solskjaer telah memenangi hati pendukung United mana pun.
Kita kemudian lupa bahwa ia dibeli hanya sebagai pelapis. Bahkan pada musim di mana ia menjadi pahlawan itu pun, dirinya hanya jadi pelapis. Begitu Andy Cole dan Dwight Yorke menemukan chemistry yang tidak bisa diganggu gugat, apeslah Solskjaer. Ia harus menepi ke bangku cadangan.
Ada cerita yang mengatakan, sesungguhnya Solskjaer nyaris dijual ke Tottenham Hotspur sebelum musim dimulai. Spurs sudah mengajukan tawaran, namun ia sendiri yang menolaknya. Kini, setelah kita semua tahu apa yang dilakukannya di pengujung musim, kita bisa membayangkan dalam pengandaian, bagaimana jika ia menerima pinangan Spurs waktu itu.
Entah memang sudah nasib atau takdir dari sananya atau bukan, nyaris sepanjang kariernya di United, Solskjaer seolah-olah selalu tertepikan lantaran kehadiran penyerang lain. Hidupnya bersama United hampir selalu dimulai dari bangku cadangan, bukan dari jejeran kesebelasan yang berjejer rapi di tengah lapangan untuk menyalami lawan atau mendapatkan jepretan kamera fotografer.
Toh, jadi cadangan pun tidak menjadi penghalang. Hampir tiap kali diturunkan sebagai pemain pengganti, Solskjaer bisa memberikan dampak. Dari sinilah julukan 'Super Sub' dicap dalam-dalam pada dirinya --kendati ia sendiri tidak begitu menyukainya. Ada yang bilang, duduk di bangku cadangan justru jadi keuntungan tersendiri buat Solskjaer. Dari bangku cadanganlah ia memperhatikan baik-baik pergerakan lawan sehingga ketika diturunkan, ia bisa mencetak gol atau memberikan efek signifikan lainnya.
Ia tidak pernah mengeluh sekali pun. Ketika Ruud van Nistelrooy didatangkan oleh Ferguson, Solskjaer juga menerima nasibnya sebagai pemain figuran, bukan aktor utama. Baginya, Van Nistelrooy adalah penyerang kelas wahid, seorang bintang utama, dan ia hanya berusaha sebisa mungkin untuk tidak tertinggal terlalu jauh dari bomber asal Belanda itu.
Ketika David Beckham dilego ke Real Madrid, Ferguson dengan santainya mengubah posisinya menjadi sayap kanan. Solskjaer memang bukan pengganti sepadan untuk Beckham, tapi ia melakukan tugas barunya itu tanpa sesalan. Solskjaer yang sedemikian selfless inilah yang Solskjaer yang dikenal oleh banyak pendukung United.
***
Orang mungkin selamanya bakal mematri ingatan akan Solskjaer sebagai pahlawan United di Camp Nou. Tapi, jauh sebelum malam yang cukup bikin kalut itu, Solskjaer sudah punya momen yang membuat namanya dipuja-puja.
Pada musim 1997/1998, musim kedua Solskjaer dan musim pertama di mana United ditinggalkan Eric Cantona, Alex Ferguson memilih untuk tidak memugar skuat besar-besaran. Baginya, mendatangkan Teddy Sheringham --waktu itu sudah berusia 31 tahun--, Henning Berg, dan Erik Nevland sudah cukup. Ferguson menyebut, ia masih punya stok yang sama bagusnya.
Dari satu sisi, kepercayaan Ferguson itu bisa disebut sebagai blunder. United memang sempat melaju kencang, namun begitu cedera pemain menghantam, habislah 'stok yang sama bagusnya' itu. Skuat United tidak cukup dalam untuk melapis para pemain utama. Imbasnya, trofi juara terbang ke tangan Arsenal musim itu.
Seringkali pula, United melakoni pertandingan yang cukup bikin frustrasi diri sendiri. Salah satunya adalah ketika menghadapi Newcastle United di Old Trafford, 18 April 1998.
United tertinggal lebih dulu lewat gol Andreas Andersson pada menit ke-11, sebelum akhirnya David Beckham menyamakan kedudukan pada menit ke-38. Di sisa menit pertandingan, kendati pun United berusaha sekeras mungkin untuk membobol gawang The Magpies, keberuntungan tidak berpihak pada mereka. Pertahanan Newcastle terlalu sulit dibongkar hari itu.
Sampai kemudian United nyaris bikin celaka diri sendiri. Saking bernafsunya menyerbu pertahanan lawan, seluruh pemain mereka maju hingga melewati garis tengah lapangan. Umpan silang yang dilepaskan Beckham dari kiri malah menjadi makanan empuk buat Newcastle. Umpan silang itu berhasil dihalau oleh barisan pertahanan Newcastle, dan dalam kelanjutannya, diberikan kepada Robert Lee.
Tidak ada yang mengawal Lee ketika itu. Dengan cepat, gelandang Newcastle itu berlari menyambut umpan terobosan yang diberikan kepadanya. Karena seluruh pemain United berada di area pertahanan Newcastle, semua tahu bahaya apa yang mengancam United. Lee tinggal berhadapan satu lawan satu dengan kiper United, Raimond van der Gouw. Gol pun jadi sebuah keniscayaan.
Tapi, Solskjaer, layaknya ia mengendus peluang di depan gawang lawan, mengendus marabahaya yang mengancam timnya itu. Dari kiri, ia berlari secepat mungkin untuk mengejar Lee. Namun, karena kalah langkah, Solskjaer tahu kalau ia tidak akan pernah mendahului Lee.
Maka, dengan kesadaran penuh, Solskjaer melakukan tekel dari belakang. Lee terjatuh, gol tidak jadi tercipta. Dan nasib Solskjaer pun jelas: Ia dikartu merah dan diusir dari lapangan.
Sungguh sebuah cerita kepahlawanan yang absurd, sekaligus dengan jelas mendeskripsikan betapa selfless-nya Solskjaer. Beckham, yang mengawali petaka tersebut, berlari menghampiri Solskjaer. Ia tahu rekan setimnya itu sudah berkorban.
Suka tidak suka, Solskjaer paham bahwa kartu merah itu merupakan kerugian untuk timnya. Dengan tatapan setengah meminta maaf, ia berucap pelan kepada Beckham: "I had to."
Beckham tidak peduli, ia justru memberikan tepukan ke kepala rekannya itu --seolah-olah berterima kasih. Sementara itu, Solskjaer berjalan pelan menuju ruang ganti. Old Trafford memberikan tepuk tangan. Pendukung tahu kepahlawanan Solskjaer lebih dari sekadar gol-gol yang ia ciptakan.
====
*Penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.
*Tulisan ini dibuat untuk Ole Gunnar Solskjaer, yang berulang tahun pada 26 Februari lalu. Solskjaer kini berusia 43 tahun, menikmati hidup dengan istrinya, Silje, dan tiga anak mereka.