Manchester sebagai 'Pusat Semesta'

Ketika kemewahan tidak dimiliki, kebanggaan dan kegigihan adalah jalan terakhir. Dan untuk segala kebanggaan dan kegigihan yang mereka miliki, Manchester layak untuk mendapatkan penghargaan besar. Seperti yang dituturkan oleh Danny Boyle, sutradara dari film termasyhur 'Trainspotting' itu, Manchester adalah kota yang senantiasa bisa mengevolusi dan memperbaiki dirinya sendiri.
Ini bukan perkara kota besar dengan lampu-lampu terang menyilaukan. Manchester memang masih punya sejumlah gedung menjulang, termasuk Menara Beetham yang bisa bersiul jika diterpa angin itu, tetapi mereka lebih memilih untuk mempertahankan berbagai bangunan tua dengan batu bata tua nan kusam.
Dua ribu tahun lalu, selepas bangsa Romawi membangun benteng di tempat yang pada masa sekarang dikenal sebagai kawasan Castlefield dan menamainya sebagai 'Mancunium', Manchester memulai hidupnya. Sampai kemudian datanglah masa Revolusi Industri yang membuat gaung Manchester menyebar ke mana-mana.
Di balik bangunan tua dengan batu bata kusam sebagai eksteriornya tadi itu, mendekam cerita dari era Revolusi Industri tersebut. Dulunya, gedung-gedung tua itu, yang banyak tersebar di tengah kota, digunakan oleh para pekerja sebagai gudang penyimpanan hasil tekstil, yang kemudian bakal diangkut lewat Kanal Bridgewater menuju Sungai Mersey dan akhirnya disebar ke seluruh pelosok dunia.
Kini, gudang-gudang penyimpanan itu sudah beralih fungsi. Gedung-gedung tua itu berubah menjadi apartemen dan hotel, sementara sebagian lainnya menjadi bar-bar dan kafe-kafe. Manchester yang dulunya dibangun lewat otot dan cemong debu pabrik di wajah pekerjanya kini sudah bersolek. Manchester memang tidak indah-indah amat, tapi begitu hidup. Degupnya berseliweran di balik bar-bar dan kafe-kafe itu.
Manchester si kota industri itu sempat berubah menjadi pusat kehidupan malam dan skena musik paling "wah" dengan label 'Madchester' di ujung 1980-an dan awal 1990-an. Mereka kemudian bergejolak lagi ketika Premier League, dengan ekspansifnya, mulai membangun nama. Tidak bisa dipungkiri juga, keberhasilan Manchester United merajai Premier League di 90-an dan awal 2000-an, plus makin menanjaknya nama Premier League, ikut andil.
Toh, kendati sudah bersolek sedemikian cantiknya, Manchester tetap tidak kehilangan roh-nya. Sebagai kota yang menjadi rumah bagi banyak kalangan kelas pekerja, rasa-rasanya absurd kalau Manchester berubah menjadi kota yang angkuh. Tapi, untunglah tidak begitu ceritanya.
Pada sebuah Jumat malam yang agak dingin, saya pernah terduduk tidak jauh dari Piccadilly Gardens. Sebagai kawasan yang biasa dijadikan pusat untuk berkegiatan, dengan pusat pemberhentian bus dan pertokoannya, Piccadilly Gardens tidak luas-luas amat. Malah cenderung kecil untuk ukuran pusat kota.
Tidak jauh dari tempat saya duduk, sepasang anak muda bercakap-cakap. Si wanita mengenakan pakaian yang lebih mirip kostum Alice dari Alice in Wonderland --mungkin baru pulang dari pesta kostum atau apa--, sementara si pria mengenakan jaket tebal, lengkap dengan topi kupluk dan sarung tangan yang kelihatan sudah amat dekil. Di tangan keduanya ada segelas bir.
Keduanya bercakap-cakap dengan amat akrab sampai-sampai saya mengira bahwa mereka pastilah berteman. Sampai kemudian si wanita dipanggil oleh sekelompok temannya --yang berpakaian tidak kalah necis-- yang baru saja keluar dari bar di dekat situ. Si wanita berpisah dengan ramah dari si pria. Mereka rupanya orang asing yang sekadar saling bercakap-cakap belaka.
Si wanita tadi berjalan dengan teman-temannya, sementara si pria beranjak lalu kemudian terduduk kembali ke sebuah sudut toko tidak jauh dari situ. Ia meletakkan gelasnya dan beralih ke sebuah tumpukan yang tampaknya seperti kantung tidur dan selimut. Malam itu, ia tidur di situ.
![]() |
Untuk segala usahanya untuk menjadi lebih gemerlap, adegan tersebut seolah mengembalikan Manchester kembali menjadi membumi dan tetap lekat dengan kehidupan yang ber-biasa-biasa-saja. Tapi, justru dengan kehidupan yang ber-biasa-biasa-saja itulah Manchester menjadi unik. Ada rasa bangga yang tidak bisa ditawar-tawar.
Mereka bangga karena pernah menciptakan Revolusi Industri. Mereka bangga karena pernah menemukan cara melepas ketergantungan dari pelabuhan Liverpool dengan cara membangun kanal. Mereka bangga karena pernah melahirkan Morrissey, Joy Division, hingga Oasis.
Dan bukankah semangat semacam ini juga yang pernah didengungkan oleh United semasa ditangani oleh Alex Ferguson; seorang pria yang besar dan tumbuh di kalangan pekerja galangan kapal di Glasgow, menemukan hidup dan kebesarannya di kota yang juga dibangun oleh kelas pekerja.
Sekalipun beberapa kali membeli pemain bintang, tulang punggung tim Ferguson dibangun oleh anak-anak muda dan sejumlah pemain lainnya, yang meskipun tidak memiliki teknik yang teramat mewah, tapi memiliki determinasi yang tidak ada bandingannya. Selayaknya Manchester itu sendiri, Ferguson menemukan solusi dan jalannya untuk bertahan hidup.
Atas segala kebanggaan dan keunikan yang mereka miliki inilah orang-orang Manchester berseloroh: "Dan pada hari keenam Tuhan menciptakan Man... chester."
Mereka sengaja mempelesetkan kisah penciptaan alam semesta. Alih-alih menyebut Tuhan menciptakan Man (Manusia), mereka mengubahnya menjadi Man... chester. Seakan-akan memang Manchester-lah pusat alam semesta itu, sebagai mana manusia disebut-sebut sebagai makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan Tuhan.
Kelakar itu toh tidak sepenuhnya salah, kalau memang melihat ada pesona aneh dari Manchester. Coba bayangkan, bagaimana ceritanya Sheikh Mansour tiba-tiba saja memilih Manchester City dan membangun tim tersebut menjadi sebesar sekarang. Padahal, kalau sekadar ingin membangun tim dan sejarah, ia bisa saja memilih lain. Tapi, dari banyak tim, ia justru memilih City.
Kita kemudian tahu bagaimana City menjadi tim yang mewah dan tidak segan-segan membayar mahal untuk mendapatkan pemain bintang, sesuatu yang kemudian dijawab dengan cara yang sama oleh tetangga mereka: United.
"Kegilaan" kedua klub tersebut membuat Manchester musim ini menyaksikan derby paling mahal sepanjang sejarah derby Manchester. Itu pun belum ditambah oleh kehadiran dua manajer yang amat bertolak belakang dan punya egonya masing-masing: Jose Mourinho dan Pep Guardiola. Maka, jadilah pesona Manchester terpancar kian terang, sekali pun wajah asli kota mereka sedikit kusam.
Seperti kata Morrissey: "Manchester is the old fire wheezing its last, where we all worry ourselves soulless, forbidden to be romantic."
Tapi, mungkin, justru di situ romantisnya Manchester.
====
*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.
(roz/fem)