Juanin Si 'Kutu Buku' Lapangan Hijau

Oh, ya... Ketinggalan satu lagi: tattoo. Jika Anda adalah pesepakbola, memiliki tattoo, sepatu nge-jreng, rambut side-parting dengan pomade segudang, Anda sudah layak disebut pesepakbola kekinian. Jangan lupa baca Kinfolk sekalian.
Yah, walaupun tidak selamanya ini berarti buruk. Lionel Messi, contohnya. Harus diakui, dibandingkan Messi, Abel Xavier jauh lebih cocok memerankan pria brewokan dengan rambut blonde. Namun, kita mempersetankan tattoo dan rambut blonde-nya karena dia masihlah Messi yang memintal gol dengan mudahnya.
Agak menyebalkan ketika, misalnya, melihat seorang pesepakbola dandan penuh gaya --plus datang dengan mobil mewah ke lapangan latihan-- tapi penampilan di lapangan nol besar. Penuh ekspresi, tapi minim esensi.
Maka, jangan heran jika banyak orang lebih bersimpati pada sosok yang biasa-biasa saja. Dengan syarat, si biasa-biasa saja itu tampil luar biasa di atas lapangan. Atau, paling tidak, menuntaskan tugasnya --sesuai dengan perintah dari si pelatih-- dengan baik.
Lalu, muncul Juan Mata, seorang pria kecil dari Asturias, Spanyol. Sebagian besar pendukung Manchester United menganggapnya sebagai penyihir, penyihir kecil dari Spanyol. Dalam dialek khas Asturias, dia dipanggil 'Juanin' alias 'Juan kecil'. Sebagai sebuah panggilan, 'Juanin' menjelaskan betul identitas personal dan asal-usul Mata, yakni sebagai orang bertubuh kecil dan juga anak dari pria yang bernama sama: Juan Manuel Mata.
Mata tidak pernah terlihat sementereng Zlatan Ibrahimovic yang bertubuh tinggi-besar atau seperti rekan setim sekaligus kawan karibnya, Ander Herrera, yang lebih meledak-ledak. Pembawaannya yang tenang dan kalem hampir selalu mengaburkan kehadirannya di atas lapangan. Ini bukan perumpamaan yang buruk, tentu saja. Sebab, dengan pergerakan yang nyaris sehalus bulu, Mata acapkali sulit untuk terdeteksi.
Simak bagaimana lugasnya dia menyelinap masuk ke celah-celah pertahanan Leicester City, sebelum akhirnya menghempaskan bola dengan keras ke sudut gawang Ron-Robert Zieler. Lihat juga bagaimana ia dengan cekatan melihat ruang, yang alpa ditutupi oleh bek-bek Leicester, sebelum mengirimkan operan matang ke arah Marcus Rashford.
Dua momen di mana dia menjadi bintang kemenangan United atas Leicester itu baru sebagian contoh kecil. Momen lainnya yang masih sering dibahas sampai saat ini adalah ketika dia mengeluarkan sentuhan ajaibnya terhadap bola lambung yang datang dari belakangnya.
Momen itu tidak hanya diingat bagaimana berkelasnya first touch Mata, tetapi juga bagaimana cara dia menerima bola lambung itu. Dengan setengah berlari, Mata mengayunkan kaki kirinya ke depan. Lalu, entah dengan sihir macam apa, Mata menyeret kaki kanannya --yang hanya bertumpu pada ujung sepatu-- dan meluncur selama beberapa meter untuk membantu kaki kirinya menggapai bola.
Seolah-olah, waktu itu ia mengeluarkan ajian untuk meringankan tubuhnya yang sudah kecil itu. Selama beberapa detik, Mata melayang dengan anggunnya bak sehelai bulu.
Imponerende af lille Juan @jensebasse Juan Mata one-footed glide. Amazing first touch! https://t.co/l5YjwzfBMU
β Kasper Keller (@kellerkasper) February 18, 2014
Tapi, Mata tidak hanya dicintai dan disukai lantaran penampilannya di atas lapangan saja. Sebagai manusia, kesehariannya memang menarik. Jika sedang libur, Mata tidak segan-segan berbagai foto atau cerita bagaimana ia baru saja menyambangi desa-desa tradisional di pinggiran Inggris. Jika tidak, ia akan dengan senang hati berbagi foto soal tempat-tempat menarik di kota Manchester.
Manchester bukanlah London, kota lainnya di Inggris yang pernah ditinggali Mata selama hampir tiga tahun. Kekasih David de Gea, Edurne Garcia Almagro, menyebutnya sama jeleknya dengan bagian belakang kulkas, sementara yang lainnya akan menemukan Manchester sebagai kota yang muram dan hampir selalu mendung. Tapi, Mata tidak berpendapat demikian.
Entah sekadar bersopan-santun atau memang dia bisa menemukan setitik cerah di tengah muramnya Manchester, Mata masih bisa memuji bangunan-bangunan tua di Manchester --yang kini beralih menjadi hotel ataupun kafe-- atau menyarankan datang ke sebuah sudut kota untuk menghabiskan malam. Yang jelas, sebagai pesepakbola bersahaja dan sopan, juga manusia yang berbudaya, Mata nyaris tampak terlalu sempurna.
Pada kesempatan lainnya, Mata tidak segan membahas soal band kebanggaan Manchester, The Stone Roses, bersama dengan seorang wartawan di sebuah jamuan makan malam. Begitu didengarkan lagu teranyar dari band yang digawangi Ian Brown itu, Mata mengangguk-angguk dengan penuh antusias. Dia lantas bertanya, kapan dan di mana The Stone Roses akan manggung lagi, yang kemudian dijawab si wartawan dengan: "Di Etihad, di tempatnya (Manchester) City", barulah dia berpikir ulang untuk menontonnya.
Ketika banyak pesepakbola memilih untuk mencurahkan isi hatinya dengan penuh klise di Twitter setiap habis bertanding (kalau kalah akan berkata "kami akan segera bangkit", lalu kalau menang akan berkata "terima kasih, fans!" atau "kerja bagus dari tim"), Mata memilih untuk menuangkannya lewat tulisan pendek di blog pribadinya.
Tulisan Mata memang tidak mengharu-biru atau menggebu-gebu. Namun, dari tutur kata yang disusunnya, memang telihat jelas bagaimana berwawasannya pria yang juga menyenangi astronomi ini. Mata memang suka menuliskan ucapan terima kasih kepada fans atau meminta maaf ketika kalah juga, tetapi ia piawai menggambarkannya dengan lebih enak lewat alinea-alinea pendek.
Bagaimana gandrungnya Mata terhadap buku juga tergambarkan dengan jelas lewat tulisan-tulisannya itu. Maka, ketika saya bertemu dengannya di sebuah suite yang terdapat di tribun utama Old Trafford, saya memberanikan diri untuk bertanya: Apakah dia pernah terpikir untuk jadi penulis suatu saat nanti?
Mula-mula, Mata menjawab berbagai pertanyaan saya soal pengalaman serta pasang-surutnya menjadi seorang pemain muda yang pergi jauh dari kampung halaman, tetapi begitu pertanyaan itu saya lontarkan, ia menjawabnya dengan menarik. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya saat itu masih tersimpan dengan rapi di kepala saya:
"Buat saya, menulis itu sulit, lebih gampang bermain sepakbola. Oleh karenanya, saya selalu menghormati para penulis."
Sekali lagi, waktu itu saya tidak tahu apakah ketika dia hanya mencoba bersopan-santun saja, atau memang begitulah adanya menurut dia. Yang jelas, si Juan kecil ini sudah menunjukkan betapa berkelasnya dia.
====
*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.
(roz/krs)