Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Detik Insider

    European Super League: Repertoar Kematian Sepakbola

    Yanu Arifin - detikSport
    European Super League digagas 12 klub dan menuai kecaman hebat. (Foto: thesuperleague.com) European Super League digagas 12 klub dan menuai kecaman hebat. (Foto: thesuperleague.com)
    Jakarta -

    Gelaran European Super League digagas. Riak kecaman suporter membumbung. Sepakbola menuju kematian.


    *****


    Tiga tahun dari sekarang, penonton sepakbola akan dimanjakan pertandingan seru. Big match, yang tidak bisa saban pekan ditonton, justru bakal jadi tontonan tiap malam.

    Bagaimana tidak, Manchester United vs Real Madrid bisa tersaji, disusul laga Juventus vs Barcelona. Belum puas? Ada pertandingan Derby London di pentas Eropa, Arsenal vs Tottenham. Itu bisa terjadi tiap pekan dan tiap tahun.

    Semua karena European Super League. Sebuah kompetisi 'tandingan' Liga Champions yang baru saja disepakati para raksasa sepakbola Eropa.

    Pada Senin (19/4/2021) WIB, sebanyak 12 tim menyetujui rancangan European Super League. Mereka adalah perwakilan dari tiga liga top Eropa; Premier League, Serie A, dan LaLiga.

    Dari Premier League, ada enam tim raksasa yang gabung, yakni Manchester United, Manchester City, Chelsea, Liverpool, Arsenal, dan Tottenham Hotspur. Sementara Serie A diwakili Juventus, Inter Milan, dan AC Milan, dan LaLiga direpresentasikan Real Madrid, Barcelona, serta Atletico Madrid.

    European Super League, sesuai namanya, adalah liga antarklub super di Eropa. Nantinya, Real Madrid dan Chelsea bisa bersaing dalam satu kompetisi panjang. Sistem klasemen akan diterapkan, namun empat tim teratas akan maju ke fase knockout, dari perempatfinal sampai final.

    European Super League juga tak mengenal sistem promosi dan degradasi. Jadi, persaingan Real Madrid vs Chelsea dan raksasa lainnya akan bisa terus disaksikan, mungkin sampai anda bosan.

    Sebanyak 12 tim itu menggagas European Super League bukan tanpa alasan. Ada dua faktor yang mendorong para raksasa bikin kompetisi tersebut.

    LIVERPOOL, ENGLAND - APRIL 14: Sadio Mane of Liverpool is challenged by Federico Valverde of Real Madrid during the UEFA Champions League Quarter Final Second Leg match between Liverpool FC and Real Madrid at Anfield on April 14, 2021 in Liverpool, England. Sporting stadiums around the UK remain under strict restrictions due to the Coronavirus Pandemic as Government social distancing laws prohibit fans inside venues resulting in games being played behind closed doors. (Photo by Michael Regan/Getty Images)Pertandingan Real Madrid vs Liverpool di Liga Champions. Foto: Getty Images/Michael Regan

    Pertama adalah meningkatkan kualitas dan intensitas kompetisi di Eropa. Presiden European Super League, Florentino Perez, menilai sepakbola saat ini sudah membosankan, dan hal-hal baru perlu dibuat.

    "Sepak bola adalah satu-satunya olahraga global di dunia dengan lebih dari empat miliar penggemar, dan tanggung jawab kami sebagai klub besar adalah menanggapi keinginan mereka," katanya.

    Alasan kedua adalah finansial. European Super League menjanjikan bayaran fantastis bagi pesertanya.

    European Super League disponsori bank JP Morgan, yang kabarnya menggelontorkan dana sebesar 6 miliar dolar AS. Tiap klub bisa mendapat bayaran sebesar 300 juta paun atau setara Rp 6 triliun, dan bisa bertambah besar karena pemasukan hak siar dan sponsor.

    Di tengah pandemi, ketika Barcelona harus memangkas gaji Lionel Messi dkk, atau Tottenham yang nyaris merumahkan pegawainya karena krisis, European Super League menjadi oase bagi neraca keuangan mereka. Kucuran dana segar dari keikutsertaannya, bisa mengembalikan kerugian akibat tidak bisa jual tiket dan merchandise.

    *****

    Kecaman muncul soal gelaran European Super League. Dengan cuma diikuti tim raksasa, maka persaingan dianggap tidak adil.

    Dengan 20 tim yang rencananya diikutkan, dengan rincian 15 tim akan menjadi peserta dengan status 'klub pendiri turnamen' dan 5 tim gabung dari jalur kualifikasi, persaingan akan bermuara di situ-situ saja.

    Persaingan itu dinilai membuat skema piramida sepakbola jadi tak berfungsi. Tim-tim kecil, yang berjuang dari kompetisi terbawah, akan sulit mengejar para klub raksasa di pucuk hierarki sepakbola Eropa.

    Dengan meniadakan kesempatan terbuka bagi tim lain untuk ikut serta, European Super League jelas dikecam UEFA dan FIFA. Tak tanggung-tanggung, hukumannya dicoret dari kompetisi, dihapus gelar, hingga melarang pemainnya membela tim nasional.

    Para suporter juga mengecam gelaran European Super League. Pendukung tim-tim Premier League yang gabung sudah menyatakan protes dan sikapnya menentang ajang itu.

    "FSG [Fenway Sports Group, pemilik Liverpool], telah mengabaikan penggemar dalam mengejar uang tanpa henti dan rakus. Sepakbola adalah milik kita, bukan milik mereka. Klub sepakbola kita adalah milik kita, bukan milik mereka," kata Spirit of Shankly, kelompok suporter Liverpool.

    Banners are seen outside Liverpool's Anfield Stadium protesting the formation of the European Super League, Liverpool, England, Monday, April 19, 2021. Players at the 12 clubs setting up their own Super League could be banned from this year's European Championship and next year's World Cup, UEFA President Aleksander Ceferin said Monday.Suporter memprotes keikutsertaan Liverpool di ajang European Super League. Foto: (AP/Jon Super)

    "Ini mewakili kematian dari segala sesuatu yang seharusnya tentang sepakbola," kecam Arsenal Supporters Trust. Sebagai penggemar, kami ingin melihat Arsenal bermain dalam kompetisi berdasarkan prestasi olahraga dan keseimbangan kompetitif. Tidak mengherankan jika tindakan ini diambil tanpa konsultasi atau dialog, melanjutkan keheningan dan penghinaan yang telah ditunjukkan Stan Kroenke [pemilik Arsenal], kepada pendukung Arsenal sejak hari pertama," tulis kelompok pendukung Arsenal.

    Ketakutan suporter dan banyak pihak itu dibalas dengan nada congkak Florentino Perez. Bos Real Madrid itu mengaku European Super League justru akan menyelamatkan sepakbola.

    "Super League bukan untuk orang-orang kaya, tapi untuk menyelamatkan sepakbola. Jika kondisi ini berlanjut, sepakbola akan hilang dan pada 2024 kita akan mati. Ini satu-satunya cara menyelamatkan semuanya; tim yang besar, menengah, dan klub kecil," balas Perez dalam wawancaranya.

    VALENCIA, SPAIN - FEBRUARY 22: Florenitno Perez, president of Real Madrid prior the Liga match between Levante UD and Real Madrid CF at Ciutat de Valencia on February 22, 2020 in Valencia, Spain. (Photo by Eric Alonso/Getty Images)Florentino Perez, bos Real Madrid yang jadi Presiden European Super League. Foto: Getty Images/Eric Alonso

    *****

    European Super League pada akhirnya menjadi 'pemicu' baru yang bisa mematikan sepakbola itu sendiri. Sebab, sepakbola dewasa ini justru semakin menjauh dari semangatnya; menghibur dan menjunjung semangat adil dalam bersaing.

    Kritikan juga tak bisa cuma dialamatkan kepada para peserta European Super League. Para pemangku kepentingan juga patut disorot. UEFA dan FIFA, bahkan otoritas liga di Eropa seperti Premier League, LaLiga, dan Serie A bukannya tanpa dosa kepada suporter.

    LONDON, ENGLAND - MARCH 21: Detailed view of the Nike match ball on a 'No room for racism' plinth during the Premier League match between West Ham United and Arsenal at London Stadium on March 21, 2021 in London, England. Sporting stadiums around the UK remain under strict restrictions due to the Coronavirus Pandemic as Government social distancing laws prohibit fans inside venues resulting in games being played behind closed doors.  (Photo by Mike Hewitt/Getty Images)Kampanye antirasisme di Liga Inggris. Foto: (Getty Images/Mike Hewitt)

    Misalnya, bagaimana UEFA selalu bungkam pada kasus rasisme yang masih merebak di lapangan. Insiden di laga Rangers vs Slavia Praha pada pertandingan Liga Europa menjadi contoh bahwa UEFA sendiri masih gagal menekel diskriminasi antarpemain.

    Kemudian level yang lebih tinggi, FIFA, masih disorot atas gelaran Piala Dunia 2022 nanti. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan tuan rumah Qatar, di mana ribuan pekerjanya tewas dalam membangun stadion, juga belum diselesaikan.

    DUISBURG, GERMANY - MARCH 25: Players of Germany wear t-shirts which spell out Timnas Jerman protes penyelesaian masalah HAM di Piala Dunia 2022. Foto: Tobias Schwarz - Pool/Getty Images

    Plus, bagaimana FIFA bisa lepas dari stigma 'sarang koruptor' setelah berbagai skandal yang melibatkan Sepp Blatter dkk.

    Alhasil, European Super League sebenarnya menambah panjang masalah sepakbola itu sendiri. European Super League cuma menjadi 'daftar selanjutnya' dari matinya peranan sepakbola yang menyenangkan.

    Lalu siapa yang menjadi korban? Tentu saja para suporter. Mereka yang mencurahkan segenap hatinya untuk klub idolanya. Mereka yang rela membayar mahal tiket musiman karena ingin melihat tim kesayangannya berlaga mengejar prestasi.

    Karena sepakbola bukan cuma sekadar pertandingan menarik. Sepakbola adalah perjuangan mengejar prestasi dengan prinsip adil dan seimbang.

    Inilah mengapa uang tidak bisa membeli kebahagiaan.

    ===

    *Catatan: Tulisan ini dibuat sebelum tim-tim Inggris mengundurkan diri dari European Super League

    (yna/krs)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game