Liga Inggris: Everton 2-0 Man City
Back-Three yang Keropos dan Faktor Fellaini
Ambisi Manchester City untuk mengejar ketertinggalan 12 poin dari dari sang pemuncak klasemen, Manchester United, dijegal oleh anak asuh David Moyes di Goodison Park, Sabtu malam (16/3). Menyusul kemenangan United atas Reading beberapa jam setelahnya, jarak antara City dan United menjadi 15 poin.
Absennya beberapa pilar penting seperti Vincent Kompany, Yaya Toure, dan Sergio Aguero terlihat jelas mempengaruhi performa City. Hal sebaliknya terjadi dengan Everton. Kekalahan memalukan 0-3 oleh Wigan di kandang sendiri pekan lalu, seakan tak berbekas di laga ini.
Pernyataan Moyes setelah pertandingan cukup pas menggambarkan yang terjadi dengan Everton dalam 8 hari terakhir: "Kami seperti sampah pekan lalu, tapi performa sampah macam itu tidak terlalu sering terjadi di Everton."
Formasi 3-4-3 Mancini
Absennya kapten dan wakil-kapten City, Kompany dan Yaya Toure, direspons oleh Mancini dengan menggunakan formasi dasar 3-4-3. Kolo Toure, Matija Nastasic, dan Pablo Zabaleta diplot sebagai back-three.

Formasi back-three ini menjadi persoalan taktikal yang sering menerpa City di musim ini. Di awal musim, Micah Richard bahkan terang-terangan mengaku tidak nyaman bermain dengan formasi ini. Akan tetapi di laga ini Mancini punya tambahan argumentasi. Pekan sebelumnya, Wigan yang diarsiteki oleh Roberto Martinez, berhasil mengalahkan Everton di kandangnya dengan memodifikasi back-four menjadi back-three.
Moyes sendiri melakukan 2 perubahan mendasar dibanding saat dihancurkan Wigan yaitu mencadangkan Philip Neville dan Nikica Jelavic digantikan Darron Gibson dan Victor Anichebe. Formasi dasarnya tetap 4-4-1-1 dengan Marouane Fellaini di belakang Anichebe.
Mengeksploitasi Lebar Lapangan
Turun dengan skema back-three, City terlihat sangat keteteran dari sisi lapangan. Dua full-back Everton, Leighton Baines di kiri dan Seamus Coleman di kanan, dibantu 2 flank mereka, Steven Pienaar di kiri dan Kevin Mirallas di kanan, amat leluasa membongkar pertahanan City.

Baines sangat dominan menghadapi James Milner. Sementara Coleman juga mendominasi pertarungan menghadapi Kolarov. Sepanjang pertandingan, kombinasi Baines dan Coleman bahkan berhasil memproduksi 22 umpan silang. Saat Milner dan Kolarov harus turun menjadi full-back, Carlos Tevez dan David Silva tidak cukup memadai memberikan bantuan.
Ketidakmampun Silva membantu Kolarov di kiri inilah yang terutama membuat Coleman --khususnya di babak I-- jadi pemain paling berbahaya. Gol pertama Everton yang dicetak Leon Osman juga berawal dari penetrasi Coleman ke dalam kotak penalti yang gagal diantisipasi Kolarov.
Sementara Zabaleta dan Nastasic (2 center back yang mengisi sisi kanan dan kiri pertahanan City) juga tak maksimal melapis sisi kanan dan kiri pertahanan City. Keduanya disibukkan oleh upaya mereka menghadang Pienaar di kiri dan Mirallas di kanan yang secara kontinyu melakukan cutting inside.

Kombinasi crossing kedua pemain yang naturalnya berposisi sebagai flank itu sampai menit 60 (saat Pienaar dikeluarkan wasit) hanya 4 buah dengan Pienaar tak sekali pun membuat umpan silang. Itu menjelaskan bagaimana keduanya lebih sering bergerak ke tengah ketimbang menyisir lapangan karena tugas itu sudah dengan amat baik dilakukan Baines dan Coleman.
Pressing Everton
Everton memulai pertandingan dengan standar yang kerap mereka tampilkan saat menghadapi tim-tim elit: tempo cepat, garis pertahanan yang tinggi, dan pressing ketat sejak lini tengah. Kombinasi antara kekuatan fisik dengan kecermatan taktikal dari Moyes ini seringkali merepotkan kelebihan skil tim-tim lawan, tak terkecuali City.
Dengan pertarungan di sisi lapangan berhasil mereka menangi, maka kemampuan menekan City sejak lini tengah kian memastikan dominasi mereka. Beberapa atribut defensive action yang dibuat oleh Everton (intersep, clearance, tekel) bukan hanya dilakukan di sepertiga lapangan sendiri, tapi bahkan banyak dilakukan di lapangan tengah bahkan di lapangan City sendiri.

Aksi clearance yang dilakukan City, sebagaimana terlihat dalam chalkboard di atas, amat banyak dilakukan dalam kotak penalti. Ini menandakan bagaimana tekanan yang dilakukan Everton secara kuantitatif berhasil menekan City sampai ke dalam kotak penalti mereka sendiri. Sementara aksi intersep dan tekel pemain Everton cukup banyak dilakukan bahkan di area yang mendekati kotak penalti City.
Gibson-Osman-Fellaini vs Barry-Garcia
Ketika 3 defender City (Zabaleta, Nastasic, Kolo Toure) serta Milner dan Kolarov tertekan di sepertiga lapangan sendiri, City hanya menyisakan Gareth Barry dan Javi Garcia di lini tengah. Bantuan sesekali datang dari Carlos Tevez, sementara Silva yang memang defensive ability-nya rendah praktis tak banyak membantu.
Ini membuat Barry dan Garcia kesulitan memenangi pertarungan lini tengah. Di sinilah kunci Fellaini. Ditempatkan tepat di belakang Anichebe, Fellaini yang sebenarnya tidak sering memegang bola berhasil memaksa Barry dan terutama Javi Garcia seringkali turun sampai hampir saling berhimpitan dengan Kolo Toure.
Praktis Osman dan Gibson punya ruang yang memadai untuk ikut merengsek ke depan. Gol pertama Everton yang dicetak Osman lahir dari situasi ini, dikombinasikan dengan kegagalan Kolarov bertarung dengan Coleman di sisi lapangan.

Setelah Pienar Out
City lebih menjanjikan di babak II, terutama setelah Mancini tampaknya menyadari rentannya pertahanan City jika hanya memainkan 3 defender. Sejak akhir babak I, City sebenarnya sudah kembali menggunakan back-four dengan menarik Kolarov lebih di belakang dan membiarkan Nastasic bisa lebih fokus menemani Kolo Toure di jantung pertahanan. Setelah itu, keseimbangan permainan lebih terlihat.
Setelah Pienaar harus meninggalkan lapangan karena menerima kartu kuning kedua di menit 60, arah permainan kini lebih didominasi oleh City. Guna makin mempertajam dan memperkaya variasi serangan, Mancini memasukkan Samir Nasri guna menggantikan Barry. Sementara Moyes mengubah formasi dari 4-4-1-1 menjadi 4-4-1 dengan menarik Fellaini lebih ke belakang dan menggeser Osman ke kiri.
City memang jadi lebih variatif dalam melakukan serangan. Masuknya Nasri membuat City punya tambahan pemain kreatif setelah sebelumnya hanya bergantung pada kreatifitas Silva. Ini memberi ruang yang memadai bagi Silva untuk leluasa bergerak di tengah-kanan karena Nasri sendiri dominan bergerak di tengah-kiri. Efek lainnya adalah Tevez juga bisa lebih konstan berada di dalam kotak penalti bersama Dzeko.

Guna menambah daya gedor, Mancini kembali memasukan Gael Clichy menggantikan Milner. Akan tetapi Clichy tidak menempati posisi Milner di kanan, tapi menempati posisi full-back kiri. Mudah diduga, Mancini memang ingin mengeksploitasi sisi kanan pertahanan Everton yang ditempati Coleman yang sepanjang 60 menit pertama tanpa lelah membombardir Kolarov.
Situasi ini direspons Moyes dengan memasukan Steven Naismith menggantikan Mirallas, yang kemampuan bertahannya tidak terlalu bisa diandalkan, untuk membantu Coleman menghadapi agresivitas Nasri-Clichy.
Fellaini sebagai Powerhouse
Setelah Mikel Arteta dan Jack Rodwell hijrah ke Arsenal dan City, Moyes tidak punya alternatif yang cukup meyakinkan untuk ditempatkan sebagai gelandang serang. Terutama tanpa Arteta, Everton praktis kehilangan pemain kreatif bertipe no. 10. Untuk menambal kekurangan itu, alih-alih mendatangkan seorang pemain kreatif, Moyes malah mendorong Fellaini lebih ke depan berada di belakang striker.
Fellaini memang bukan tipikal pemain kreatif, tapi dia ternyata efektif jika ditempatkan di posisi di belakang striker. Posturnya yang tinggi besar sangat efektif saat Everton sedang menekan lawan, baik untuk bola-bola atas maupun untuk duel-duel bola bawah. Defensive ability Fellaini cocok dengan karakter Everton yang cenderung agresif dalam melakukan pressing.

Di laga ini keberadaan Fellaini mengganggu poros lini tengah City, terutama Javi Garcia. Kendati jarang menyentuh bola selayaknya seorang gelandang serang, Fellaini toh menjadi ganjalan penting dalam upaya City membangun serangan secara rapi sejak dari belakang. Faktor inilah yang membuat Fellaini belakangan disebut sebagai tipikal powerhouse trequartista.
Keuntungan lain memiliki tipikal pemain seperti itu adalah saat tim harus bermain dengan 10 orang. Tanpa harus mengutak-atik formasi, Moyes bisa langsung menggeser Fellaini lebih ke dalam guna memaksimalkan kemampuan bertahan Fellaini. Keuntungan lainnya adalah saat tim sedang melakukan serangan balik, Fellaini bisa cepat mengisi posisi di belakang striker.
Gol kedua Everton yang dicetak oleh Nikica Jelavic cukup ilustratif guna menjelaskan keuntungan memiliki seorang powerhouse trequartista. Dalam sebuah serangan balik, Fellaini dengan cepat membawa bola ke depan dan mengirim umpan pada Jelavic yang muncul dari sisi kanan lapangan. Gol. 2-0.
Kesimpulan
Laga ini lagi-lagi menjelaskan kenapa keberatan Micah Richard terhadap skema back-three tak bisa disepelekan begitu saja. Tim-tim Serie A memang sudah sangat lazim belakangan ini menggunakan skema back-three, tapi di Inggris ini bisa jadi kendala yang signifikan. Kadang skema back-three ini berhasil membuat City jadi lebih agresif. Tapi tanpa kehadiran Yaya Toure, agresivitas itu tak dilengkapi dengan keseimbangan.
Bagi Everton sendiri, kemenangan mereka kali ini kembali menegaskan kecermatan taktikal seorang Moyes. Dia bukan hanya jitu menyusun formasi dan starting line-up, tapi cukup cermat juga mengantisipasi perubahan taktik lawan di tengah pertandingan.
====
* Akun twitter penulis: @zenrs @panditfootball
* Sumber grafik: www.squawka.com








