Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Match Analysis

    Liga Inggris: Liverpool 1-0 Manchester City

    Satu Serangan Balik Liverpool yang Berhasil di Tengah Padatnya Lini Tengah

    Dex Glenniza - detikSport
    Foto: Getty Images Sport/Clive Brunskill Foto: Getty Images Sport/Clive Brunskill
    Jakarta - Selamat tinggal tahun 2016. Juergen Klopp mengakhiri tahun 2016 (berdasarkan waktu sepak mula pertandingan di Anfield, yaitu pukul 18:30 ECT) dengan sebuah kemenangan atas Manchester City dengan skor 1-0. Georginio Wijnaldum menjadi satu-satunya pencetak gol pada malam itu.

    Setelah sebelumnya Liverpool berhasil memperoleh kemenangan demi kemenangan dengan menggunakan formasi 4-3-3, Klopp malah melakukan perubahan di susunan sebelas pemainnya. Salah satu pemain yang ia tidak mainkan adalah Divock Origi yang sudah mencetak lima gol dalam tujuh pertandingan terakhirnya.

    Manajer asal Jerman itu melakukan perubahan karena kebutuhan taktikal. Roberto Firmino kembali ia mainkan sebagai false nine setelah sebelumnya selalu bermain sebagai winger kiri. Kemudian ia memainkan Adam Lallana di posisi sayap kiri tersebut.

    Gambar 1 – Rata-rata posisi para pemain Liverpool dan Manchester City di atas lapanganFoto: Pandit
    Gambar 1 – Rata-rata posisi para pemain Liverpool dan Manchester City di atas lapangan


    Hal ini Klopp lakukan karena ia merasa Firmino lebih berbahaya ketika bermain sebagai false nine. Dengan bermainnya Firmino di depan, Liverpool jadi bisa mendapatkan kontrol di lini tengah karena Firmino adalah pemain yang gemar turun ke belakang untuk menyambungkan permainan sekaligus menyediakan tekanan saat sedang tidak menguasai bola.

    Sedangkan manajer Manchester City, Pep Guardiola, memainkan sepakbola possession-nya dengan formasi 4-2-3-1. Manajer asal Spanyol ini sudah bisa kembali memainkan penyerang andalannya, Sergio Aguero, setelah sebelumnya ia harus absen karena terkena kartu merah.

    Padatnya Lini Tengah

    Dari gambar 1 di atas (rata-rata posisi para pemain Liverpool dan Manchester City di atas lapangan), kita bisa melihat bahwa lapangan tengah pertandingan semalam sangat dipadati oleh para pemain dari kedua kesebelasan.

    Hal ini terjadi karena dua hal, yaitu Klopp yang memainkan gegenpressing sehingga membuat hampir seluruh pemainnya bergerak dalam kesatuan unit untuk merebut penguasaan bola lawan, serta Guardiola yang memainkan possession football yang melibatkan hampir seluruh pemain ketika membangun serangan.

    Kedua taktik yang dimainkan oleh kedua manajer ternyata menghasilkan pertandingan yang ketat di lini tengah.

    Berbeda dengan Liverpool, Man City melakukan tekanan bukan kepada lawan ketika lawan sedang menguasai bola, tetapi lebih kepada menutup jalur operan lawan. Keberhasilan dua taktik manajer ini dalam bertahan, ironisnya, justru menghasilkan banyak kegagalan bagi keduanya dalam membangun serangan.

    Gambar 2 – Grafis angka keberhasilan operan Liverpool dengan 71% (menyerang ke arah atas) dan Manchester City dengan 81% (menyerang ke arah bawah)Foto: Squawka
    Gambar 2 – Grafis angka keberhasilan operan Liverpool dengan 71% (menyerang ke arah atas) dan Manchester City dengan 81% (menyerang ke arah bawah)


    Meskipun dilakukan dengan cara yang berbeda, tekanan Liverpool dan City menyebabkan lawan mereka kesulitan membangun serangan. Sampai-sampai dari gambar 2 di atas, kita bisa banyak melihat panah berwarna merah yang menunjukkan kegagalan operan.

    Sama-sama Berhasil Menekan, Sama-sama Sulit Menyerang

    Untuk lebih memahami berhasilnya tekanan kedua kesebelasan merepotkan lawannya, kita bisa melihat lebih rinci pada grafis operan panjang (long ball), karena lawan, terutama pemain bertahan, yang ditekan terpaksa akan melakukan operan panjang untuk lepas dari tekanan.

    Gambar 3 – Grafis operan panjang Liverpool dengan akurasi 39% (menyerang ke arah atas) dan Manchester City dengan akurasi 37% (menyerang ke arah bawah)Foto: Squawka
    Gambar 3 – Grafis operan panjang Liverpool dengan akurasi 39% (menyerang ke arah atas) dan Manchester City dengan akurasi 37% (menyerang ke arah bawah)


    Baik Liverpool maupun City sama-sama kesulitan membangun serangan sehingga memaksa mereka memainkan bola-bola panjang. The Citizens hanya berhasil melakukan 10 bola panjang yang berhasil dari 37 percobaan, sementara Liverpool juga sama, yaitu 18 berhasil dari 48 bola panjang.

    Klopp jelas sukses membuat lini tengah menjadi lebih padat, tapi Pep juga sukses membuat Liverpool kehilangan opsi untuk melakukan operan ketika menyerang.

    Jangan tertipu juga oleh angka tembakan yang cenderung tidak sedikit, yaitu 5 untuk Liverpool dan 9 untuk City. Liverpool hanya bisa mencatatkan dua tembakan dari dalam kotak penalti. Bahkan mereka mencetak gol dari satu-satunya tembakan on target mereka.

    Sementara City yang berhasil mencatatkan 9 tembakan, tapi 7 di antaranya mereka lepaskan dari luar kotak penalti. Dua dari tembakan tepat sasaran mereka juga adalah hasil dari tembakan mereka dari luar kotak penalti.

    Satu Momen yang Mengubah Hasil Pertandingan

    Meskipun sama-sama mengalami kebuntuan, kedua kesebelasan sebenarnya mampu bermain baik dalam aplikasi taktikal mereka. Tapi bagi Liverpool, bukannya karena beruntung juga, mereka menunjukkan kesiapan yang lebih karena berhasil memanfaatkan satu kesalahan kecil City yang berujung gol.

    Pada malam tadi, sorotan utama dari gol Wijnaldum bukan kepada cara Liverpool menyerang, melainkan kepada cara para pemain Liverpool merespon (satu) celah yang tercipta. Celah tersebut berawal dari situasi tendangan bebas yang City dapatkan di wilayah 32 meter dari gawang Simon Mignolet.

    Yaya Toure yang, entah kenapa, mengarahkan sepakan bebasnya jauh ke wilayah sayap kiri, kepada Aleksandar Kolarov. Saat itu Kolarov terlihat tidak siap, bola yang ia terima malah terpental dari kakinya. Wijnaldum kemudian berhasil mendapatkan bola pentalan tersebut dan memulai serangan balik.

    Wijnaldum selanjutnya memberikan bola kepada Firmino yang turun jauh dari posisinya sebagai penyerang (ini memang peran utama Firmino sebagai false nine). Bukannya langsung bergerak ke depan, pemain asal Brasil ini justru menghadap ke belakang, berusaha menjauhi Yaya yang sudah siap menghadangnya.

    Firmino kemudian menunggu, sambil para pemain Liverpool lainnya bergerak ke depan. Ia kemudian melepaskan bola panjang yang melebar ke arah Lallana di kiri.

    Pada saat itu, City kembali melakukan kesalahan. Lallana yang seharusnya dijaga oleh Pablo Zabaleta (full-back kanan), justru di-track-back oleh Raheem Sterling. Namun Sterling tidak sempat menutup Lallana yang berhasil mengirimkan umpan silang ke dalam kotak penalti City.

    Di saat Lallana melepaskan umpan silang, tidak ada pemain Liverpool di sana. Hanya ada Nicolas Otamendi dan Kolarov. Tapi Lallana tahu kalau Wijnaldum sedang berlari ke arah depan mendekati Kolarov, seolah juga Wijnaldum tahu ia harus berduel dengan siapa jika ia ingin menang.

    Benar saja, bola berhasil sampai ke kepala Wijnaldum dan menghasilkan gol satu-satunya, dari satu-satunya pula shot on target Liverpool malam itu.

    Kesimpulan

    Dari awal pertandingan, Klopp jelas menginginkan kesebelasannya untuk lebih padat di lini tengah, sehingga trio lini depan bisa terus turun ke lini tengah untuk menjemput bola sekaligus menekan lawan. Di sini pentingnya Firmino dimainkan sebagai false nine lagi, bukan di sayap.

    Namun, memadatkan lini tengah dan memutus jalur serangan Manchester City saja bukan merupakan formula yang bisa membuat Liverpool menang. Pada kenyataannya, tekanan City juga berhasil membuat Liverpool kesulitan menyerang, dan bahkan City mampu memainkan sepakbola possession­-nya dengan 57% penguasaan bola.

    Akan tetapi Liverpool menunjukkan bahwa mereka adalah kesebelasan yang lebih siap karena kemampuan para pemain mereka merespon celah kecil pada taktik lawannya tersebut, yaitu pada sebuah momen langka: serangan balik.

    Lallana pada winger kiri (ia tidak cepat, lho), Firmino pada false nine, trio Emre Can, Jordan Henderson, dan Wijnaldum di lini tengah; pada akhirnya pilihan Klopp membuahkan hasil positif.

    Dengan kemenangan 1-0 atas City ini, Liverpool berhasil menciptakan start terbaik mereka di Liga Primer Inggris, mereka berhasil menang dalam 13 pertandingan dan menghasilkan 43 poin di akhir 2016 (kembali, masih merujuk pada pertandingan semalam yang berakhir pada tahun 2016 di Inggris). Tapi ternyata mereka masih ketinggalan enam poin dari Chelsea.

    "Bagiku, mengalahkan [Manchester City] adalah cara terbaik untuk mengakhiri tahun," kata Klopp. Jadi, selamat tinggal tahun 2016. Selamat tahun baru 2017, dan selamat berbelanja... maksudnya berbelanja di jendela transfer musim dingin. (raw/cas)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game