Pratinjau PSV vs Ajax
De Topper: Duel Ajax dengan PSV, Tesis vs Antitesis

Dari sekian banyak cara dalam menganalisa ataupun menemukan kebenaran/pengetahuan, ada sebuah cara yang bisa digunakan dan cara tersebut masih cocok untuk digunakan hingga kini. Cara tersebut dijabarkan oleh seorang filsuf asal Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, dalam bentuk model dialektika yang dikenal sebagai dialektika Hegel.
Sampai saat ini, model dialektika ini masih cocok digunakan sebagai salah satu cara untuk mencari kebenaran/pengetahuan dalam hidup. Dialektika yang juga kerap disebut sebagai Ritme Tiga Hentakan ini terdiri dari tiga istilah, yaitu Tesis, Antitesis, serta Sintesis.
Tesis dan Antitesis, merujuk pada model dialektika Hegel, adalah dua nilai yang saling bertabrakan dan bertentangan dalam hidup. Kedua istilah ini mirip-mirip dengan pro dan kontra, dua kutub yang kerap muncul kala sesuatu dalam hidup terjadi.
Namun meski keduanya saling bertentangan, jika keduanya saling bertemu dan bertegur sapa dalam kehidupan, gejolak dari kedua istilah tersebut memunculkan sebuah istilah baru, yaitu Sintesis. Sintesis ini bisa dianggap sebagai hasil pencocokan nilai dari Tesis dan Antitesis, yang kelak juga akan menjadi Tesis jika ia menemukan Antitesis yang baru.
Karena sifatnya yang adaptable dan masih relevan digunakan sampai sekarang, maka tak heran dialektika ini, walau tak disadari masih tetap digunakan oleh masyarakat sampai sekarang. Contoh paling sederhana adalah dalam bergaul, yaitu ketika Tesis yang berada di dalam diri kita harus menyesuaikan diri dengan Antitesis yang berada di dalam diri orang lain untuk membentuk sebuah Sintesis yang bernama pertemanan.
Adaptability dari Tesis dan Antitesis ini membuatnya bisa juga digunakan untuk membedah dua kutub sepakbola Belanda, yaitu Ajax Amsterdam dan PSV Eindhoven. Keduanya menyajikan rivalitas, yang berawal dari Tesis dan Antitesis yang terkandung di dalam diri mereka masing-masing.
Pertemuan Tesis (Ajax) dengan Antitesis (PSV)
Dalam percaturan sepakbola Belanda, nama Ajax Amsterdam adalah nama yang tidak boleh dikesampingkan. Memiliki 33 gelar juara Eredivisie, 18 gelar Piala KNVB (Piala Liga Belanda), serta pernah merasakan menjadi juara Liga Champions dalam masa yang berbeda (masa Johan Cruyff dan masa Louis van Gaal) menjadikan Ajax sebagai klub tersukses di Belanda.
Kesuksesan Ajax di percaturan sepakbola Belanda juga disertai dengan filosofi sepakbola mereka yang sudah tertanam kurang lebih sejak 50 tahun lalu. Filosofi Total Football, yang dikembangkan oleh Rinus Michels (sebenarnya ada andil dari orang Inggris bernama Vic Buckingham dan Jack Reynolds) menjadi filosofi sepakbola yang digemari dan diterapkan juga di beberapa belahan negara Eropa dan dunia (termasuk Barcelona).
Yang menjadikan segala pencapaian Ajax ini menjadi lebih mengesankan adalah mereka mendapatkan semua gelar-gelar tersebut dengan bertumpu pada talenta-talenta berbakat hasil binaan akademi. Siapa tak kenal nama Johan Cruyff, Marc Overmars, De Boer bersaudara, Wesley Sneijder, Rafael van der Vaart, bahkan Rinus Michels? Mereka semua adalah hasil binaan akademi Ajax yang mengharumkan nama Ajax sekaligus menjadikan Ajax sebagai role model pemanfaatan pemain hasil binaan akademi.
Dengan segala yang sudah diraih oleh Ajax, mereka pun menjadi sebuah Tesis di persepakbolaan Belanda. Memiliki filosofi sepakbola sendiri, serta memanfaatkan pemain binaan akademi untuk meraih sukses menjadikan Ajax sebagai sebuah bahan percontohan bahwa dengan menggunakan pemain akademi, gelar masih bisa diraih.
Namun tak semua sepaham dengan Ajax ini. Muncullah sebuah Antitesis bagi Ajax di belahan Belanda yang lain, tepatnya di kota Eindhoven. Klub bernama PSV-lah yang menjadi Antitesis dari klub yang bernama Ajax di kancah persepakbolaan Belanda. Jika hampir semua klub di Belanda meniru apa yang dilakukan Ajax, lain hal dengan PSV.
Klub yang disponsori oleh salah satu perusahaan elektronik ternama di dunia, Phillips, ini memiliki caranya sendiri untuk meraih gelar dan mencapai kesuksesan di kancah sepakbola. Jika Ajax memilih untuk memanfaatkan pemain binaan akademi, PSV justru meraih sukses dengan memanfaatkan talenta-talenta yang sudah/sedang dalam perjalanan menuju "jadi".
Tercatat ada beberapa nama besar di dunia yang bukan berasal dari akademi PSV tapi berhasil mengantarkan PSV menjadi juara. Ronaldo Lima, Ruud Gullit, Jaap Stam, Arjen Robben, bahkan ada nama Park Ji-sung dan Lee Young-pyo yang juga pernah menjadi bagian dari skuat PSV yang menjuarai Eredivisie pada musim 2002/2003 dan 2004/2005.
Dengan caranya sendiri, yang berbeda dari Ajax, PSV pun berhasil menjadi salah satu klub yang tak kalah sukses di Belanda. Total 23 trofi Eredivisie dan Sembilan trofi Piala KNVB mendarat di lemari piala PSV.
Mereka pun mewujud menjadi Antitesis dari Ajax. Oleh karena itu, pertemuan keduanya kerap menjanjikan pertandingan yang sengit nan seru.
De Topper, Label Pertemuan Untuk si Tesis (Ajax) dan si Antitesis (PSV)
Selayaknya pertemuan dua tim besar dalam sebuah liga, pertemuan antara Ajax dan PSV sebagai dua kutub di sepakbola Belanda pun memiliki namanya sendiri, yaitu de Topper. Laga ini menjadi salah satu laga panas di Belanda, tempat bertemunya dua filosofi dan pengembangan sepakbola yang berbeda. Nama de Topper sendiri, jika dialih bahasakan ke Bahasa Indonesia berarti duel memperebutkan yang teratas.
Setidaknya, sampai saat ini de Topper sudah menghasilkan 131 pertemuan. Ajax sebagai si Tesis masih unggul dalam laga ini dengan torehan 56 kemenangan, beda empat kemenangan dari PSV yang mencatatkan 52 kemenangan, dan sisanya (23 laga) berakhir imbang. Pertemuan keduanya pun selalu menghasilkan sebuah atmosfer yang menarik, walau tidak sepanas de Klassieker yang mempertemukan si seniman dari Amsterdam dan si pekerja dari Rotterdam.
Tapi dalam pertemuan keduanya, bukan hanya tensi yang berasal dari emosi saja yang lahir. Ada sebuah adu pemikiran yang ditunjukkan oleh kedua klub, saat si Tesis (Ajax) yang percaya bahwa dengan pemain akademi bisa meraih sukses, melawan si Antitesis (PSV) yang merasa bahwa dengan memanfaatkan talenta yang sudah jadi, gelar juara pun bisa diraih.
Maka, tak heran bahwa laga ini pun dinobatkan sebagai salah satu laga panas di Belanda. Bukan karena sekedar perebutan gelar juara ataupun trofi Piala Liga. Lebih dari sekadar itu, ada sebuah duel pemikiran yang terjadi antara Ajax dan PSV.
**
Seperti yang sudah disebutkan dalam uraian mengenai dialektika Hegel, model dialektika ini akan terus berkembang seiring dengan kehidupan social masyarakat yang juga berjalan dinamis. Ini berarti perseteruan antara Tesis dan Antitesis akan terus terjadi. Walaupun kelak akan ditemukan Sintesis yang merupakan hasil gesekan antar keduanya, akan muncul Anti-Tesis baru yang membuat Sintesis yang sudah ada kembali menjadi Tesis, dan begitu seterusnya.
Oleh karena itu, pertemuan antara Ajax sebagai si Tesis dan PSV sebagai si Antitesis pun akan semakin berkembang sedemikian rupa, seiring dengan perkembangan yang dialami oleh kompetisi domestik itu sendiri. Namun, setidaknya, dari pertemuan antara si Tesis Ajax dengan si Anti-Tesis PSV ini mulai menemukan Sintesisnya, bahwa Eredivisie adalah salah satu kompetisi yang menarik untuk disimak karena menyajikan dua pemikiran dari dua klub berbeda.
(krs/krs)