Jakarta - <p><em>[Bagian terakhir dari tiga tulisan. Bagian pertama: </em><span style="color: #ff0000;"><a href="https://sport.detik.com/aboutthegame/read/2015/04/17/131652/2890351/1490/1/tentang-salat-dan-keyakinan-keyakinan-dalam-hidupnya"><span style="color: #ff0000;">Tentang Salat dan Keyakinan-Keyakinan dalam Hidupnya</span></a></span><em>. Bagian kedua: </em><span style="color: #ff0000;"><a href="https://sport.detik.com/aboutthegame/read/2015/04/22/094502/2894597/1490/1/pengalaman-main-di-eropa-dan-profesionalime-yang-terbangun-dalam-dirinya"><span style="color: #ff0000;">Pengalaman Main di Eropa dan Profesionalisme dalam Dirinya</span></a></span>]<br /><br />**<br /><br />Obrolan kami kini melibatkan dua pemain yang kebetulan juga sedang menginap di hotel yang sama dengan Kurniawan hari itu. Mereka sekalian "curhat" pada Si Kurus, <br /><br />Kurniawan menyimak dengan serius cerita-cerita adik-adiknya itu terutama tentang kenyataan pahit: bekerja tapi tak digaji. Seorang di antaranya mengaku memilih pindah ke klub lain setelah puluhan juta rupiah yang jadi haknya, tidak dilunasi klub sebelumnya.<br /><br />Sesekali Kurniawan tertawa mendengar keluguan mereka. Sesekali ia menarik nafas panjang. Geleng-geleng. Miris.<br /><br />"Coba bayangin, banyak pemain kita tidak pernah tahu isi kontraknya sendiri. Jangan-jangan yang mereka lihat di kontrak cuma nominalnya doang. Tapi pasal-pasal konsekuensi keterlambatan gaji, penyelesaian sengketa kalau terjadi, tidak pernah dibaca. Jadinya ya kayak begini," ucapnya.<br /><br />Sungguh kusut memang sepakbola bola kita. <em>Match fixing</em> juga. Kurniawan punya satu cerita tentang yang satu ini. Suatu ketika tim yang dia bela sudah lolos ke babak berikutnya, tapi ada sebuah skenario untuk menyingkirkan tim lain. Caranya adalah dengan bermain seri.<br /><br />"Sehari sebelum tanding, semua pemain tim gue meeting di mess-nya tim B (tim yang ingin diloloskan, supaya tim C tersingkir). Bayangin, besoknya mau tanding, <em>meeting-</em>nya bareng-bareng. Gue kaget. Apa-apaan ini? Gue bilang ke pelatih, 'sori, <em>coach</em>, pokoknya gue gak mau main'."<br /><br />Kurniawan akhirnya hanya duduk di bangku cadangan. Yang terjadi di lapangan? "Main cuma <em>ball possession</em> aja. Gak ada yang mau nyerang," ungkapnya.<br /><br />Anda mungkin deja vu dengan kasus sepakbola gajah PSIS Semarang versus PSS Sleman pada Oktober tahun lalu.<br /><br />Tentang nasib pemain-pemain bola Indonesia saat ini, yang kerap ditunggak gajinya sampai berbulan-bulan, Kurniawan begitu terusik. Itu antara lain alasan dia bergabung dengan APPI, karena merasa punya kesamaan visi untuk ikut memerhatikan hak-hak pemain.<br /><br />"Jujur, selama ini gue gak pernah ngalamin langsung. Gaji gue juga selama ini lancar-lancar aja. Gue cuma denger-denger kalo ada yang namanya suap dan lain-lain. Kira-kira tahun 2007 gue baru lebih terbuka. Ternyata bener, banyak pemain yang gak digaji, bahkan temen-temen gue sendiri."<br /><br />Si Kurus bukannya semata-mata menyalahkan pemain. Dia sadar, pemain pasti menghadapi dilema. Menurutnya, hanya keberanian yang bisa mendobrak semua keragu-raguan. Ia mengambil contoh Bambang Pamungkas yang berani mengajukan kasusnya ke pengadilan, dan menang. Bima Sakti juga pernah mencoba melawan ketika bermain di Palangkaraya. Karena tak kuat, ia memutuskan berhenti walau baru setengah musim.<br /><br />"Pemain itu aktornya lho. Kita yang mati-matian di lapangan. Masak minta hak sendiri harus takut? Jangan takut lah. Rejeki kan udah ada yang ngatur. Kadang pemain kita ini masih takut sama manajemen. Padahal kita ada di posisi yang benar. Ada kontrak, sudah jalanin kewajiban."<br /><br />Secara langsung Kurniawan mengkritik para pemain yang sering kali mengabaikan pentingnya sebuah kontrak. Dari cerita yang banyak beredar, banyak pemain tidak memiliki salinan kontrak kerja mereka dengan klub. Bahkan, saat menandatangani pun mereka tidak menemukan tanda tangan direktur klub tersebut, yang semestinya harus ada di samping tanda tangan si pemain. Dan pemain diam-diam saja.<br /><br />"Tolong buat temen-teman, perhatikan kontrak, kontrak, kontrak. Kalau kita sudah ikuti aturan kontrak yang benar, selesai kok. Hanya butuh satu keberanian. Contoh Bepe deh. Dia berani karena merasa benar. Dan buktinya di pengadilan dia menang."<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/football/kurus-stori8.jpg" alt="" width="460" height="323" /><br /><br />Kurniawan tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Dia lalu mengatakan ini dengan memberi tekanan pada nada ucapannya.<br /><br />"Dan gue paling benci sama pemain-pemain senior yang nyelamatin diri sendiri. Tanya saja ke mereka. Banyak kok yang lancar digaji, tapi gak mau bela teman-temannya yang gak digaji. Kita latihan bareng, susahnya sama-sama. Tapi giliran terima gaji duluan, dia aman, tapi kok gak mikirin yang lain?"<br /><br />"Tapi, Kur," potong saya, "kamu mungkin lebih bisa melakukannya karena posisi tawar kamu sudah tinggi. Pemain senior, top, disegani. Masalahnya, lebih banyak pemain yang tidak (belum) seperti kamu."<br /><br />Kurniawan menjawab dengan nada agak tinggi ke saya.<br /><br />"<em>Lha</em>, emangnya gue bisa sampai ke situ prosesnya gampang? Jangan dilihat dari keberhasilannya saja dong. Semua itu ada proses. Gue pernah kok gagal masuk seleksi PON, pernah gak dipanggil timas. Jadi, selagi lo yakin sama diri sendiri, go ahead. Kalau tergantung sama orang lain, bahkan sampai jual harga diri segala, itu konyol. Percaya deh, pemain bagus pasti dicari!"<br /><br />Oke, oke. Dia benar.<br /><br />"Makanya gue sering bilang ke junior-junior, buat gue peman bola yang berhasil bukan saat dia main, tapi bagaimana dia setelah pensiun. Sekarang mungkin bisa beli mobil mahal, cari cewek yang mau gimana juga bisa. Tapi habis pensiun, bisa gak dia tidur nyenyak, gak mikir besok makan apa. Caranya gimana? Kalau gak punya keahlian lain, kumpulin duit lah dari sekarang, pelan-pelan. Belajar apa saja, usaha apa saja."<br /><br />Di sisa malam itu Kurniawan banyak sekali bicara soal <em>value.</em> Bahwa siapa lagi yang bisa menghargai seseorang kalau mereka tidak menghargai dulu dirinya sendiri. Kedua pemain muda yang ikut dalam obrolan kami, terus menyimak dengan serius, dengan sesekali mengangguk-angguk. <img style="float: right; margin: 7px;" src="https://akcdn.detik.net.id/albums/football/kurus-stori12.jpg" alt="" width="221" height="253" /><br /><br />"Terkadang atlet di sini gak bisa menghargai dirinya sendiri, gak tahu kalau mereka punya<em> value.</em> Itu yang kurang di sini. Jadi kesannya atlet yang butuh klub. Padahal sebaliknya, klub yang butuh pemain. Kalo ngerasa gak punya kemampuan, kualitas, mendingan berhenti main aja. Kalo gak yakin, cari aja usaha lain sama istri atau siapa lah."<br /><br />Nada itu masih terdengar tinggi, dan saya masih kesulitan membantah ucapan-ucapannya.<br /><br />"Itu sebabnya gue merasa punya tanggung jawab moral walaupun udah gak main," kali itu nada bicaranya sudah diturunkan. Apalagi ini sudah jam 2 dinihari.<br /><br />"Bukannya sok mau jadi pahlawan atau apalah. Tapi mari sesama pemain, termasuk mantan-mantan pemain, saling menjaga, saling mengingatkan, saling mengedukasi.<br /><br />"Itulah yang sedang kami lakukan di APPI. Kami mau edukasi pemain. Tapi memang formulanya mungkin belum tepat. Menyatukan visi pemain itu tidak mudah. Pemain kita masih pada males. Untuk ngumpulin pemain, susahnya minta ampun. Kalaupun kita yang mendatangi mereka, kadang-kadang susah juga. Mereka punya macam-macam alasan. Jadi kesannya gak mau menyerap ilmu. Ya mungkin takutnya ada juga (kalau ketahuan manajemen). Padahal, kalau saja pemain bisa bersatu, selesai tuh semuanya. Kontrol ada di kita. <em>Value </em>ada di pemain."<br /><br />Kurniawan juga menyarankan agar pemain mulai memikirkan untuk melibatkan orang lain untuk membantu kebutuhan-kebutuhan terkait karier mereka. Sebut saja, manajer, atau apalah. Ia mencontohkan, jika pemain tidak mengerti bahasa hukum dalam kontrak, atau tak punya banyak waktu, maka biarlah si manajer yang mengurus. Fungsi lain seorang manajer, katanya, supaya pemain punya hak tawar tinggi dalam bernegosiasi dengan pihak lain.<br /><br />"Gak perlu <em>suudzon</em> juga sama manajer, bahwa mereka cuma akan mengurangi penghasilan dia. Justru dengan manajer si pemain bisa menaikkan harga jualnya. Misal, klub menawarkan gaji sekian. Tapi kalau punya manajer yang bagus, dia mungkin bisa membuat klub ngasih gaji yang lebih besar. Atau kalau ada tawaran bintang iklan, atau apalah. Ya itu hanya masukan aja sih," ujar fans berat AC Milan itu.<br /><br /><img style="float: left; margin: 7px;" src="https://akcdn.detik.net.id/albums/football/kurus-stori11.jpg" alt="" width="218" height="246" />Tak terasa obrolan kami sudah seserius itu. Saya melirik jam tangan, sudah hampir setengah tiga pagi. Saya tahu, Kurniawan punya jadwal terbang pulang ke Jakarta 6 jam lagi. Dia -- dan saya pun -- tentu harus istirahat.<br /><br />Pertanyaan terakhir yang saya ajukan kepada orang ini adalah, apa mimpinya setelah dia sudah tak aktif bermain.<br /><br />"Gue udah punya lisensi C (AFP). Gue pengen jadi pelatih, pengen menularkan pengalaman dan ilmu sepakbola yang gue punyai. Dan gue punya mimpi pengen bangun sebuah sekolah sepakbola. Konsep yang ada di kepala gue adalah ... pesantren sepakbola."<br /><br />Pesantren sepakbola. Apa pula ini, Kur?<br /> <br />"Buat gue, SSB bukan sekedar menciptakan atlet. Menjadi atlet itu hanya sebuah pilihan. Tapi sekolah itu bagaimana membangun mental dan karakter anak didik untuk menjadi manusia yang seperti apa nantinya. Buat gue, itu yang paling penting. Kalau dalam prosesnya si anak memang berbakat dan memilih sepakbola untuk dijadikan profesi di kemudian hari, silakan. Tapi kalau kemudian memilih yang lain, itu juga hak setiap anak," dia menjelaskan. <br /> <br />Istilah pesantren?<br /> <br />"Karena kita tidak bisa melupakan tuhan. Nilai-nilai itu harus selalu dibawa sampai kapanpun," jawab dia.<br /> <br />Saya tersenyum mendengarnya.<br /><br />"Lo jangan ketawa dong, Bro. Namanya juga niat. Ya, gak?"<br /> <br />Kami tertawa bareng-bareng.<br /><br />Penutup yang menyenangkan untuk obrolan panjang seharian ini dengan sang legenda.<br /><br /><br />=====<br /><br />* Penulis adalah redaktur pelaksana <strong>detiksport</strong>. Akun twitter @sururi10.<br /><br /></p> (Andi Abdullah Sururi/Rossi Finza Noor)