Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Book Review

    Menceritakan Manusia Bernama Petar Segrt

    Taufiq Nur Shiddiq - detikSport
    Jakarta -


    Judul buku: Petar Segrt: Tumbuh di Daerah Konflik hingga Kecintaannya pada PSM Makassar
    Penulis: A. Widya Syadzwina, Sirajudin Hasbi
    Penerbit: Fandom, Buku Litera Yogyakarta
    Tebal: 188 halaman + xviii
    Cetakan: I, 2015

    ====

    Bukan tanpa alasan bab utama dari buku ini diberi judul “Pelatih Humanis dan Inspiratif”. Petar Segrt dalam buku ini memang diceritakan sebagai manusia, bukan sekadar pelatih kesebelasan sepakbola.

    Sisi humanis tokoh sepakbola memang selalu menjadi ide cerita yang menarik, mengingat media mainstream lebih banyak menyoroti para pelaku sepakbola dalam lingkup pekerjaan mereka saja.

    Lain hal, tulisan-tulisan sepakbola di Indonesia yang mampu menyajikan cerita-cerita sepakbola dari sisi yang berbeda dari kebanyakan media mainstream masih langka. Saat internet dan media tidak mampu menyuguhkan sesuatu yang berbeda, buku ini muncul sebagai pemenuh dahaga.

    Sisi kemanusiaan pembaca langsung disentuh sejak subbab pertama. Petar Segrt kecil yang harus meninggalkan tanah airnya karena perang tidak menemukan kemudahan di negara barunya, Jerman. Sepakbola menyelamatkan sang anak imigran yang secara otodidak belajar baca tulis ini. Kerja keras dan hubungan baik dengan semua orang – termasuk yang melayangkan kritik pedas kepadanya – membuat Segrt yang tidak sukses sebagai pemain sepakbola memiliki karier yang mulus sebagai pelatih.

    Mulusnya karier Segrt membuat dirinya, tanpa nama besar, sempat secara langsung ditawari posisi pelatih kepala tim nasional Jerman U-21 oleh Joachim Loew dan Oliver Bierhoff. Satu-satunya hal yang membuat dia batal menjabat posisi tersebut adalah sikapnya sendiri yang merasa bahwa posisi pelatih kepala sebuah tim nasional seharusnya jatuh ke tangan pribumi.

    Segrt, toh, akhirnya menjabat posisi pelatih kepala tim nasional Georgia untuk tingkat U-21 dan senior. Di negara yang sempat dilanda perang melawan Rusia tersebut Segrt meninggalkan kesan baik sebagai pelatih maupun sebagai manusia.

    Sebagai pelatih ia memperbaiki kualitas sepakbola Georgia yang saat itu diliputi konflik kepentingan. Segrt secara mandiri melakukan pencarian bakat ke luar Tbilisi. Hasilnya, sejak ia memimpin timnas Georgia U-21, kualitas permainan kesebelasannya meningkat. Tim nasional senior juga secara langsung maupun tidak langsung merasakan hasil tangan dingin Segrt; terlebih lagi setelah yang bersangkutan naik jabatan.



    Sebagai manusia, Segrt dikenang sebagai sosok yang setia kawan. Ia sempat menolak jabatan pelatih kepala timnas eorgia karena orang yang akan ia gantikan saat itu, Klaus Topmoller, adalah sahabatnya sendiri yang membuka pintu karier Segrt di Georgia. Segrt akhirnya melunak setelah sang sahabat sendiri yang memintanya mengambil tawaran tersebut.

    Sifat setia kawan yang lebih besar ia tunjukkan ketika Georgia dan Rusia terlibat Perang Ossetia. Walau keselamatannya terancam sebagai akibat dari perang antara Georgia dan Rusia, ia menolak meninggalkan negara yang belum begitu lama ditinggalinya tersebut. Ia menolak meninggalkan orang-orang yang baru dikenalnya di Georgia. Padahal Segrt, yang sempat tinggal di daerah konflik semasa kecil, bisa saja pulang ke Jerman dan mencari keselamatan.

    Di Indonesia, negara yang sepakbolanya belum profesional seperti negara-negara sepakbola maju Eropa, sifat humanis ditunjukkan Segart lewat kesediaannya mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar biaya perawatan cedera pemain PSM Makassar. Ia bahkan rela menjemput M. Rahmat Syamsuddin ke kampung halamannya, walau saat itu akses menuju kediaman sang pemain tidaklah mudah karena sedang dilanda banjir. Segrt melakukan semuanya atas dasar kepedulian.

    Kepedulian yang Segrt miliki tak terbatas kepada para pemainnya sendiri. Para pendukung setia PSM mencintai pria ini karena mau mempelajari kearifan lokal dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, selain sangat terbuka dan suportif terhadap para pendukung "Juku Eja".



    Nyaris tidak ada sifat humanis dari Segrt yang tidak diceritakan dalam buku ini. Detail-detail sederhana namun sering luput dari pengamatan seperti kesediaan meluangkan waktu untuk berbicang tidak luput dari perhatian duet penulis. Boleh dibilang, buku ini memang ada untuk menceritakan Petar Segrt sebagai manusia. Pada beberapa bagian, kisahnya malah cukup menyentuh.

    Secara pribadi, saya sendiri merasa subbab “The Coffee Man” sebagai bagian terbaik. Di bagian awal sudah disebutkan bahwa Segrt adalah seorang penikmat kopi sehingga saya memprediksi bagian ini akan bercerita mengenai Segrt dan kecintaannya terhadap kopi. Saya salah. Dan saya tersentuh oleh cerita yang dipaparkan di bagian ini. Mengisahkan ceritanya dalam tulisan ini hanya akan mengurangi kenikmatan Anda ketika membaca buku ini.

    Untuk cerita tentang kopi dan Segrt, anda lebih baik membacanya sendiri. Tanpa ragu saya menilai subbab “The Coffee Man” sebagai bagian terbaik.

    Tetapi saya agak sulit memberi penilaian terhadap bagian penutup bab utama buku ini, “Sosok Petar Segrt di Mata Mereka”. Saya tidak tahu apakah subbab ini kecerdasan atau kecerobohan. Kalau boleh satu bagian saja yang dipertahankan, subbab inilah yang tidak boleh dihilangkan. Komentar-komentar mengenai Segrt dalam bagian ini dengan sendirinya menjadi rangkuman dari semua cerita yang terdapat dalam setiap subbab yang mendahului subbab penutup dari bab utama – “Pelatih Humanis dan Inspiratif” – ini.

    Buku yang Ringan dan Menyenangkan

    Bukan hanya karena tebalnya (188 halaman + xviii), buku Petar Segrt: Tumbuh di Daerah Konflik hingga Kecintaannya pada PSM Makassar dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Hanya satu hari saja sudah lebih dari cukup. Kalimat yang pendek-pendek membuat pembaca dengan sendirinya membaca buku ini dalam tempo yang cepat.

    Penyampaian yang mudah dicerna, sementara itu, membuat pembaca tidak kehilangan isi tulisan. Lain hal, gaya bercerita yang digunakan kedua penulis – A. Widya Syadzwina dan Sirajudin Hasbi – membuat pembaca (setidaknya saya, seorang pembaca yang lambat dan cepat bosan) merasa betah.

    Ditambah lagi, pembagian cerita ke dalam setiap subbab yang pendek membuat buku ini ramah bagi pembaca. Di tangan mereka yang mampu membaca nyaris dua ratus halaman dalam satu sesi, maupun mereka yang senang meninggalkan buku untuk rehat kemudian kembali, buku ini akan sama-sama menjadi bacaan ringan.

    Alur cerita dalam buku ini juga menjadi kemudahan lain bagi pembaca. Bab utama – “Pelatih Humanis dan Inspiratif” – dimulai dengan kisah Segrt yang menghabiskan masa kecilnya di daerah konflik dan harus terpisah jauh dari kedua orang tua dan kakak tunggalnya, lalu diakhiri dengan cerita kembalinya Segrt ke Makassar (sebelum ditutup komentar orang-orang mengenai Petar Segrt).

    Walau secara jelas judul buku ini menggambarkan isinya, pembaca tidak hanya akan menemukan cerita-cerita mengenai Segrt dalam buku ini. Dalam buku ini juga terdapat bab yang berisi sejarah PSM serta suporternya.

    Cerita-cerita yang tidak hanya inspiratif namun juga informatif membuat buku ini layak berada dalam genggaman siapa saja: orang Makassar atau bukan, pendukung PSM atau kesebelasan lain, juga mengenal Petar Segrt atau sama sekali asing terhadap nama tersebut.

    Detail Kecil Lahirkan Pengalaman yang Kurang Maksimal

    Secara khusus saya harus mengakui ketelitian penulis dan tim editor. Nyaris tidak ada kesalahan penulisan yang mengganggu. Tetap saja, ada rasa tidak puas yang mengganjal.

    Banyak nama pemain yang ditulis tidak sesuai. Cristiano Ronaldo menjadi Christiano Ronaldo. Halaman 136 menjadi halaman paling mengganggu. Di sana tertulis “Thiere Henry, Frank Ribery, dan Abidal.” Nama depan Henry dan Ribery ditulis tidak sesuai, sementara Eric Abidal tidak ditampilkan dengan nama lengkap. Saya tidak memiliki asumsi lain selain kecerobohan saja.

    Sebagai orang yang lebih dapat menerima kesalahan penulisan ketimbang kemalasan melakukan riset dan mengecek kebenaran data, ada pengalaman membaca yang kurang maksimal karenanya.

    Selain itu, beberapa cerita yang tidak dijabarkan secara jelas membuat kesan memaksa muncul. Dalam buku ini disebutkan bahwa Petar Segrt dan Joachim Loew bersahabat, namun tidak dijelaskan bagaimana mereka bisa memiliki hubungan seperti itu.

    Benar memang, cerita tersebut tidak begitu penting karena tak berkaitan langsung dengan benang merah cerita dalam buku ini. Namun penjelasan mengenai persahabatan Petar Segrt dan Joachim Loew yang tanggung membuat – setidaknya saya – merasa bahwa persahabatan itu agak terlalu memaksa untuk menunjukkan Petar Segrt sebagai sosok “penting”.

    Sebagai manusia, Segrt ditampilkan dengan baik melalui cerita-cerita sederhana. Tidak muluk-muluk. Apa adanya. Nilai seorang manusia, barangkali, justru bisa diukur dari tindakan dan respons yang ia berikan dalam situasi sehari-hari. Kebaikan hati, yang banyak dijumpai di buku ini, tetaplah sebuah kebaikan bahkan walau hanya diberikan kepada orang-orang biasa, yang mungkin anonim, mungkin juga tidak.

    Di sinilah justru bagian persahabatan antara Segrt dan Loew, yang diceritakan dengan sambil lalu saja tapi di beberapa bagian justru dibesar-besarkan (termasuk dalam endorsement buku) menjadi mengganggu. Bukankah sebagai manusia, kenal Loew atau tidak, bersahabat dengan Bierhoff atau tidak, Segrt sudah punya banyak kebaikan hati yang menyenangkan, hangat dan mungkin tak akan terlupakan oleh sejumlah orang.


    ====

    * Penulis adalah anggota redaksi @PanditFootball dengan akun twitter: @nurshiddiq
    ** Foto-foto: repro buku

    (a2s/din)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game