Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Detik Insider

    Spalletti dan Beban Besar Roma

    Rifqi Ardita Widianto - detikSport
    Foto-foto: REUTERS Foto-foto: REUTERS
    Jakarta -

    Ada antusiasme yang kembali menyala di AS Roma sekembalinya Luciano Spalletti. Tak sedikit Romanisti yang bernostalgia. Tapi tunggulah dulu, biarkan saja sabuk pengamanmu tetap longgar.

    Spalletti resmi kembali ke Roma pada 13 Januari lalu, menandai perubahan era yang sebelumnya berjalan dua setengah musim bersama Rudi Garcia. Era Garcia sendiri sebenarnya tak buruk-buruk amat, jika dilihat dari hasil dua kali finis runner-up.

    Di musim pertamanya, Garcia membawa Roma mencatatkan rekor start 10 kemenangan beruntun, lalu membukukan poin terbanyak sepanjang sejarah tim dengan 85 poin. Dengan torehan poin itu, Roma bakal sudah menggenggam Scudetto di lima dari enam musim terakhir. Tapi di musim itu pula Juventus tampil amat impresif dan juara dengan 102 angka yang merupakan rekor di liga.

    Garcia kembali berhasil membawa Roma finis kedua di di musim keduanya. Tapi ada tanda-tanda tim mengalami stagnasi. Roma mulai sulit menang memasuki paruh musim dan susah payah mengamankan posisi runner-up di pekan-pekan terakhir.

    Meski begitu, Roma sempat menatap musim ini dengan positif. Perombakan skuat di Juventus dinilai jadi kesempatan bagus untuk I Lupi merebut Scudetto, mengingat Juve adalah rival utama di dua musim terakhir. Apalagi rival-rival lain seperti Napoli dan AC Milan mengalami pergantian pelatih, yang diyakini perlu waktu untuk beradaptasi.

    Juve pada akhirnya memang memulai musim dengan tersendat. Sebaliknya Roma mengawali dengan apik, delapan tujuh kemenangan dan hanya satu kekalahan dari 10 pekan pertama. Tapi itu tak bertahan lama. Sembilan pekan berikutnya mereka melorot dan cuma mendapatkan dua kemenangan. Garcia pun diberhentikan.

    **

    Kedatangan Spalletti jelas bernuansa nostalgia, sebagaimana dua hal yang dipertemukan kembali setelah pernah bersama.

    Para penggemar Roma menggali-gali ingatan. Bagaimana pria botak itu membawa Roma meraih dua Coppa Italia pada 2007 dan 2008, juga lolos ke perempatfinal Liga Champions di musim yang sama, dengan skuat apa adanya karena krisis yang mulai menjerat klub.

    Di Serie A, Spalletti tak mampu membawa Roma juara. Tapi dia dimaklumi karena bisa finis runner-up dua kali pada musim 2006/2007 dan 2007/2008. Sementara pada musim 2005/2006 alias tahun pertamanya, Roma mendapatkan tuah atas hukuman yang diterima Juventus, AC Milan, dan Fiorentina atas kasus Calciopoli.

    Berbagai memori bersama Spalletti membuat banyak Romanisti berharap lebih di periode keduanya ini. Betapa tidak, skuat saat ini jelas lebih mentereng ketimbang periode pertamanya.

    Tengok saja pemain yang didapatkannya di periode pertama bersama Roma. Max Tonetto, Matteo Ferrari, Marco Cassetti, Ricardo Faty, Francesco Tavano, Christian Wilhelmsson, Shabani Nonda, Ahmed Mido Hossam, Mauro Esposito, dan berbagai nama yang niscaya cukup asing di telinga.

    Di periode keduanya ini, Spalletti setidaknya bisa berharap mendapatkan pemain-pemain yang lebih berkualitas. Sejak kedatangan investor Amerika Serikat, Roma terbukti cukup mampu bersaing di pasar transfer, sebut saja pembelian Kevin Strootman, Miralem Pjanic, Edin Dzeko, Mohamed Salah, Medhi Benatia, atau Radja Nainggolan.

    Tapi yang jadi persoalan berikutnya adalah makin bernilai skuat yang dipunyai Spalletti, makin tinggi pula harapan yang diembankan. Musim ini barangkali manajemen tak akan langsung memberikan target juara, tapi musim depan Spalletti tak akan bisa menghindar.



    ****

    Kenapa klub seperti Roma, tim kedua terbanyak yang tampil di Serie A (83 musim), hanya punya tiga scudetto sepanjang 88 tahun perjalanannya?

    Jawabannya berangkali adalah beban yang terlalu besar. Sejak kelahirannya di ibukota Italia saja Roma sudah memikul beban yang tak ringan. Roma mewakili ibukota menghadapi tim-tim utara yang langganan juara seperti Juventus, AC Milan, dan Inter Milan. Itu belum bicara soal Genoa, Torino, dan Bologna yang punya riwayat juara lebih besar.

    Problem lain untuk Roma adalah atmosfer yang amat cepat berubah-ubah. Suporter Roma adalah salah satu yang paling bergairah di dunia, tapi juga paling berperan 'merusak' atmosfer. Tak sedikit yang menyebut Roma punya Toxic Environment.

    Fabio Capello yang berjasa mendatangkan Scudetto ketiga pun mengakui kota Roma sebagai lingkungan yang rumit. Gairahnya bisa menyihir pelatih, pemain, dan tim. Amat membius. Tapi di lain sisi kota Roma bisa langsung depresi dengan satu,dua, atau tiga hasil buruk. Roma adalah sekotak berisi madu sekaligus racun.

    Tengok saja bagaimana kedatangan Garcia sebagai pelatih mulanya dipertanyakan. Lantas gairah langsung meletup-letup setelah 10 pekan pertama dilalui dengan kemenangan. Tapi jangan tanya Garcia bagaimana rasanya setahun terakhir di kota Roma.



    Jika ada yang perlu dikhawatirkan soal kedatangan Spalletti, itu adalah bahwa kepulangannya ke Roma cuma akan menjadi sebuah momen temu kangen dan bernostalgia. Sebagaimana para penggemar menyambutnya dengan antusias, Spalletti pun demikian.

    Spalletti tak pernah lupa bagaimana Olimpico menyanyikan 'Roma, Roma, Roma'. Dia juga kabarnya mengatakan bahwa berhasrat menuntaskan urusan yang belum terselesaikan bersama I Lupi.

    "Satu hal yang akan selalu saya bawa bersama saya adalah anthem klub yang dinyanyikan para penggemar di stadion sebelum pertandingan. Itu menunjukkan ikatan kuat yang penggemar rasakan dengan seragam ini. Saya akan selalu menyanyikannya juga," kata Spalletti saat mengucapkan kata perpisahan 2009 silam.

    Sebenarnya tak ada yang salah dengan bersikap antusias dan bergairah, tapi bisa menjadi persoalan tersendiri ketika dibumbui dengan harapan yang terlampau besar. Perjalanan bersama Garcia selama dua setengah musim terakhir seharusnya cukup menjadi pelajaran bagi semua penggemar Roma.

    Jika diingat-ingat, para penggemar di kota Roma sendiri justru tak banyak membantu tim ketika sedang kesulitan. Curva Sud misalnya, lebih memilih mengosongkan tribun sebagai protes terhadap dimunculkannya pagar pembatas di curva, yang sebenarnya muncul bukan dari manajemen sendiri melainkan dari otoritas keamanan kota Roma.

    Atmosfer makin tak mendukung ketika suporter yang tersisa di stadion lebih sering menyiuli dan menyoraki para pemain di lapangan. Terlepas dari strategi Garcia yang terlalu rigid dengan 4-3-3 dan minim variasi, tapi dalam kondisi ideal pun suasana yang dibangun suporter tersebut niscaya tak membantu.

    ****

    Maka seharusnya kedatangan Spalletti musim ini dihadapi suporter Roma sebagaimana kedatangannya di periode yang pertama lalu, atau ketika Garcia tiba. Tanpa beban, tanpa tekanan berlebihan.

    Boleh saja antusias pada Spalletti, yang setidaknya menjanjikan permainan yang lebih variatif ketimbang Garcia, juga fleksibel secara taktik sebagaimana tipikal pelatih-pelatih Italia. Apalagi Spalletti punya hubungan yang istimewa dengan Francesco Totti dan Daniele De Rossi, dua sosok yang 'memegang' ruang ganti. Hubungan ini bakal membantunya menjaga atmosfer tim.

    Tapi Spalletti tak perlu diembankan harapan berlebihan. Biar saja dia membawa 'Serigala-serigalanya' berburu hasil sebaik mungkin, dengan dukungan atmosfer yang menyenangkan. Alangkah menyenangkannya juga andai Curva Sud kembali penuh, di mana suporter satu suara dengan para pemain.

    Yang paling utama adalah penggemar Roma mungkin bisa mulai mencoba menikmati saja perjalanannya dari sini, sembari terus menyuarakan dukungan. Percayakan pada Spalletti, meski hidup seringkali tak semulus kepala licinnya.

    "Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself." - Leo Tolstoy


    ====

    *penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @EkiArdito.

    (raw/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game