Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Detik Insider

    Johan Cruyff Hidup dalam Pemikiran-pemikirannya

    Rossi Finza Noor - detikSport
    Foto: Getty Images/Dean Mouhtaropoulos Foto: Getty Images/Dean Mouhtaropoulos
    Jakarta - Barangkali pada dunia yang berbeda, jauh berbeda daripada yang kita jalani ini, Johan Cruyff tidak hidup sebagai pesepakbola, melainkan hidup sebagai filsuf.

    Maka, bisa jadi pada Kamis (24/3) lalu, yang kita relakan kepergiannya bukanlah seseorang yang dahulunya pernah menjadi pemain ataupun pelatih sepakbola, melainkan seorang perokok berat yang pemikirannya sudah merevolusi jalan pikiran mereka yang menelaah baik-baik tiap kalimat yang ia lontarkan.

    Tapi, pada kenyataannya, Cruyff memang begitu. Apa yang ditinggalkannya telah mengubah jalan hidup sepakbola.

    Saya lahir terlampau terlambat untuk menyaksikan Cruyff menggoyang bola dengan kakinya. Tapi, beruntunglah saya --juga kita semua-- bahwa Cruyff bukanlah Diego Maradona atau Pele (tanpa bermaksud merendahkan keduanya) yang kehebatannya dikenang berdasarkan pada trofi dan cara mereka mengolah si kulit bundar.

    Cruyff telah melampaui Maradona dan Pele. Cruyff telah melampaui zaman dengan buah-buah pemikirannya --dan dengan demikian, ia mungkin telah melampaui Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo yang hingga detik ini masih bermain. Sebab, pernahkah kita mendengar Messi atau Ronaldo berbicara sedikit saja atau membagi pemikirannya menyoal sepakbola secara luas?

    Sekian puluh tahun dari sekarang, mungkin kita akan membicarakan Messi dan Ronaldo dalam napas yang sama seperti kita membicarakan Maradona dan Pele. Boleh jadi Messi dan Ronaldo mengilhami banyak anak untuk keluar dari rumahnya dan menendang bola di jalan-jalan, tapi Cruyff akan mengilhami lebih banyak maniak taktik, Pep Guardiola-Pep Guardiola lainnya, untuk tidak sekadar memainkan bola, tetapi juga berpikir dan hidup di dalamnya.

    Sekian puluh tahun dari sekarang, mungkin bakal ada Guardiola-Guardiola lainnya yang akan menangani Messi-Messi atau Ronaldo-Ronaldo lainnya. Kata Guardiola sendiri, warisan Cruyff lebih dari sekadar trofi-trofi. "Lupakanlah soal trofi. Kalau soal, itu saya memenangi lebih banyak daripada dia," ucap Guardiola. Kata Jonathan Wilson, warisan Cruyff adalah seluruh jagat sepakbola modern.

    Sebagai "anak kandung" dari Total Football-nya Rinus Michels, Cruyff menyempurnakan apa yang sudah ditinggalkan oleh sang guru. Ia lantas menurunkannya kepada Ajax, kepada Barcelona dan La Masia, kepada Guardiola... Lalu, Guardiola memugarnya dan menularkannya kepada Barcelona lagi, lantas apa yang diterapkan Barcelona menjalar ke timnas Spanyol.

    Total Football tadi, sebagai sebuah konsep, diterjemahkan ke mana-mana, berubah menjadi bentuk yang berbeda-beda, dan bagian-bagiannya hidup dalam berbagai sistem. Pada Piala Dunia 1974, ketika sekelompok pemain Belanda bergerak secara serentak dan berbarengan mengurung pemain lawan yang menguasai bola, kita telah melihat bentuk awal dari sebuah pressing ketat. Kini, kita bisa melihatnya pada gegenpressing-nya Juergen Klopp, pressmachine-nya Roger Schmidt, atau pada gaya main tim-tim Marcelo Bielsa.



    Kita seringkali salah kaprah dalam menerjemahkan Total Football dan mengkerdilkannya sebagai "gaya main sepakbola ofensif". Padahal Total Football jauh lebih menyeluruh. Total Football juga melingkupi pemahaman akan ruang dan sistem bertahan yang juga menuntut seluruh pemainnya untuk berkontribusi.

    Simak apa kata Cruyff menyoal bagaimana sebuah tim (atau seorang pemain) dalam bertahan. Dalam pandangan Cruyff, bagaimana sebuah tim bertahan bukan hanya terpaku pada kualitas pemain-pemain di lini belakang, tetapi juga bagaimana sebuah tim menjaga bentuk formasi dan jarak antarpemain.

    Ketika menuturkan pandangannya itu, Cruyff sedang diwawancarai sebuah stasiun televisi di sebuah halaman belakang. Ia kemudian menjabarkannya dengan cara yang amat sederhana dan menganalogikan halaman belakang itu sebagai lapangan.

    "Jika saya harus menjaga seluruh halaman ini, saya akan jadi pemain belakang paling buruk. Tapi, jika saya menjaga sepetak saja, saya adalah pemain belakang terbaik," katanya.

    Maka, jangan heran ketika beberapa tahun silam kita melihat bagaimana jarak antarlini dari Barcelona-nya Guardiola begitu rapat. Guardiola, kala itu, sedang menerapkan dengan gamblang prinsip dasar pemikiran Cruyff. Bagi Cruyff, bertahan adalah soal mempersempit ruang.

    Itu baru satu contoh saja. Pada kesempatan lainnya, Cruyff pernah dengan sinis menertawai rumor-rumor yang berkembang di media massa, di mana sebuah klub dikabarkan mengincar tiga pemain yang berbeda. Cruyff heran karena sesungguhnya tiga pemain tersebut adalah tiga arketipe yang berbeda.

    Cruyff-lah yang menyarankan untuk tidak memakai "nomor 10" dalam formasi 4-3-3. Alasannya sederhana, dengan memakai "nomor 10", formasi 4-3-3 hanya akan menyisakan dua orang gelandang tengah dan itu bakal merepotkan ketika sebuah tim harus bertahan; mereka hanya punya enam orang di lini belakang. Lain halnya jika menggunakan seorang "nomor 6" yang berdiri tepat di depan baris pertahanan, sebuah tim menjadi punya tujuh orang ketika harus bertahan.

    Cruyff juga yang menekankan pentingnya timing, bahwa seorang pemain harus tiba di sebuah ruang pada saat yang tepat, tidak terlalu cepat, tidak pula terlambat.

    Dalam pemikirannya yang lain, ia merombak ulang definisi "membantu rekan" ketika membangun serangan. Cruyff tidak suka ketika dirinya menguasai bola, rekannya malah datang mendekat untuk meminta bola. Ia lebih suka jika rekannya menyebar, membuka lebih banyak ruang dan opsi baginya untuk membagi bola.

    Pada awalnya, saya mengira Cruyff adalah orang yang menjengkelkan. Ia tidak henti-hentinya usil dengan mengritik berbagai kebijakan atau gaya main timnas Belanda lewat kolomnya di De Telegraaf. Ia sebal melihat Belanda-nya Bert van Marwijk, yang kendati sukses melangkah ke final Piala Dunia, tetapi menerapkan permainan pragmatis.

    Tapi, kemudian saya paham bahwa orang Belanda berselisih dengan orang Belanda lainnya adalah hal yang wajar. Mereka sudah kadung keukeuh dengan pemikiran yang dipegang masing-masing. Cruyff sebal dengan Van Marwijk, Cruyff berselisih dengan Louis van Gaal, Van Gaal berselisih dengan Ronald Koeman... Semuanya sealami bernapas.

    Dan semakin saya membaca berbagai pemikirannya, pahamlah saya bahwa Cruyff mampu menjelaskan segala sesuatu yang kelihatannya rumit dengan amat mudah dan lugas. Oleh karenanya, kekaguman banyak orang padanya terjustifikasi dengan sendirinya.

    Miguel Delaney menyebut Cruyff sebagai David Bowie-nya dunia sepakbola. Saya tidak tahu pasti apa yang membuatnya melabeli Cruyff demikian. Tapi, entah bagaimana, saya merasa bisa melihat korelasinya.

    Bowie hidup sebagai musisi pada zaman yang jauh berbeda dengan masa sekarang. Musik dan tampilannya kemudian bertransformasi menjadi beragam bentuk seiring bergantinya dekade. Pada akhirnya, musik Bowie akhirnya melampaui zaman, turun temurun sebagai kaset berdebu dari bapak ke anak, dan akhirnya sampai ke telinga bocah-bocah yang barangkali baru menjajal masuk studio.

    Kini, ada dua David Bowie di atas sana. Tapi, hanya ada satu Johan Cruyff --ia menjadi dirinya sendiri dan Bowie sekaligus.

    ====

    *penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.

    (roz/krs)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game