Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Tactics

    Menjadi Juara dengan Cara PSG

    Pandit Football Indonesia - detikSport
    Foto-foto: AFP Foto-foto: AFP
    Jakarta -

    Bagaimana mungkin sebuah kesebelasan yang hanya memiliki satu formasi, yang kebanyakan waktunya di 30 pekan pertama, hanya dihabiskan di belakang Marseille dan Lyon, lalu menjadi juara League 1 dengan selisih delapan angka dari pesaing terdekat?

    Pahamilah perjalanan Paris Saint-Germain di Liga Prancis pada musim ini, maka jawaban untuk pertanyaan tersebut akan menampakkan diri.

    Jangankan mengamankan peringkat pertama sedini mungkin; hasil imbang di pertandingan pembuka membuat PSG memulai perjalanan dari peringkat ke-10. Hingga pekan ketujuh, PSG masih belum stabil. Mereka masih berjuang untuk bisa merangsek tiga besar.

    Sang manajer, Laurent Blanc, seringkali menyesali inkonsistensi yang ditunjukkan para pemainnya. Namun, jika diperhatikan secara seksama, bukan PSG yang inkonsisten, memang standar permainan Blanc saja yang terlampau tinggi.

    Dalam urusan mengumpulkan poin, di luar tujuh pekan pertama, PSG adalah tim yang paling konsisten di Ligue 1 musim ini. Les Parisiens baru merasakan kekalahan pada pekan ke-18 setelah kalah dari Stade du Roudourou, kandang En Avant de Guingamp.

    Sepanjang musim PSG hanya kalah tiga kali. Selain Guingamp, SC Bastia dan Girondins de Bordeaux mampu menghentikan PSG mengoleksi angka.



    Stabil dan Menunjukkan Permainan Terbaik di Saat yang Tepat

    Meski mampu mengoleksi angka, tapi hingga lebih dari setengah musim, PSG tidak berada di peringkat teratas. Satu hal yang menjadi alasan karena ketidakmampuan PSG memanfaatkan kegagalan lawan. Berkali-kali PSG mendapatkan kesempatan untuk merebut pimpinan klasemen dari Marseille atau Lyon, berkali-kali pula PSG gagal memanfaatkannya. Saat Lyon kalah, PSG hanya meraih hasil seri; saat Marseille seri, PSG malah menderita kekalahan.

    PSG membayar kesalahan tersebut di saat yang tepat. Usai kalah dari Bordeaux pada pekan ke-29, PSG tidak pernah lagi kehilangan angka. Dua pertandingan di antaranya diakhiri dengan mencetak enam gol (6-1 kala melawan Lille pada pekan ke-34 dan 6-0 melawan Guingamp).

    Di saat yang bersamaan, Marseille menderita empat kekalahan beruntun mulai dari pekan ke-31. Sementara itu, Lyon hanya meraih lima kemenangan dari sembilan pertandingan.



    PSG sejatinya tidak pernah jauh tertinggal dari persaingan, meskipun mereka baru menduduki peringkat pertama pada pekan ke-31. Saat turun ke peringkat keempat sekalipun pada pekan ke-20, jarak poin PSG dengan pemuncak klasemen hanya empat poin. Keunggulan lainnya adalah PSG tidak pernah kalah melawan pesaing terkuat: Lyon dan Marseille.

    Pembagian Tugas yang Jelas Jadi Kekuatan Sekaligus Kelemahan PSG

    Pelatih Lyon, Hubert Fournier, selalu menggunakan formasi 4-4-2. Sementara itu, pelatih Marseille, Marcelo Bielsa, kerap menggunakan formasi yang berubah-ubah sebagai respons formasi dan strategi lawan. Ia bisa menggunakan 3-3-1-3, kadang 4-2-3-1, bahkan tanpa formasi.

    Blanc sendiri setia kepada 4-3-3 dan pembagian tugas yang jelas. Para pemain belakang bertahan (dan kadang membantu serangan), pemain tengah mengatur jalannya pertandingan dan menciptakan peluang, pemain depan mencetak gol. Sederhana.

    Tanpa bola, para pemain PSG menerapkan taktik bertahan zonal marking di daerah permainan sendiri. Tidak ada tekanan kecuali bola mendekati area sepertiga pertama, tempat para pemain belakang PSG berada. Pada beberapa kesempatan, PSG juga menerapkan taktik bertahan yang sama di daerah permainan lawan. PSG juga bisa menerapkan garis pertahanan tinggi. Namun sama seperti garis pertahanan rendah, PSG tidak menekan.

    Sapuan (clearance) juga bukan gaya PSG. Ketika para pemain belakang berhasil merebut penguasaan bola dari para pemain lawan, mereka tidak menendang bola sejauh mungkin dari gawang mereka agar bola berada sedekat mungkin dengan gawang lawan dengan aksi seminim mungkin.

    Sapuan bukan pilihan karena dalam proses terciptanya sebuah gol, para gelandang harus dilibatkan. PSG gemar menyerang lewat tengah, melalui para gelandangnya; tiga orang pemain yang bertanggung jawab terhadap aliran bola dan dapat diandalkan sebagai kekuatan tambahan ketika pemain belakang kalah jumlah.



    Selain pembagian tugas antarlini yang jelas, tiga gelandang PSG juga memiliki tugas utama mereka masing-masing. Thiago Motta bertugas melindungi barisan pertahanan PSG dan menjadi pelapis ketika salah satu pemain belakang terlambat kembali ke posisinya. Blaise Matuidi yang bertenaga menjalankan tugas sebagai gelandang penjelajah. Marco Verratti, si mungil dari Italia, bertanggung jawab sebagai pengatur serangan.

    Jika lawan melakukan kesalahan di lini tengah dan salah satu dari Motta, Matuidi, atau Verratti berada di dekat bola untuk memanfaatkan kesalahan lawan, apa yang harus dilakukan pun sudah jelas. Para gelandang dapat melakukan kombinasi yang rumit atau bermain sederhana dengan langsung melepas umpan kunci. Itu terserah mereka dan pengambilan keputusannya. Yang jelas, para pemain depan harus langsung siap mencari posisi sebaik mungkin. Zlatan Ibrahimovic, Edinson Cavani, dan Javier Pastore secara spesifik memiliki tugas mencetak gol dan mencetak gol saja. Bagaimanapun caranya.

    Pembagian tugas yang jelas ini membuat permainan PSG begitu terstruktur. Sialnya, itu juga membuat lawan mudah membaca permainan mereka. PSG lemah melawan kesebelasan yang bermain melebar. Apa lagi lawan yang bermain melebar dan mampu memancing para gelandang PSG untuk bergerak mendekati garis tepi. Dalam kondisi seperti ini, lini belakang PSG sangat rentan terhadap serangan.

    PSG juga lemah melawan kesebelasan yang menekan sebagai sebuah kesatuan, terutama jika kesebelasan tersebut mampu membatasi permainan para gelandang PSG.

    Tidak sulit sebenarnya mematikan taktik PSG. Namun tidak banyak kesebelasan Ligue 1 yang mampu melakukan hal tersebut karena PSG memiliki pemain-pemain yang secara kualitas lebih baik dari kesebelasan manapun di Ligue 1. Kalaupun ada satu kelemahan dari kesebelasan yang kuat ini, kelemahan tersebut adalah sang penjaga gawang: Salvatore Sirigu.

    Kualitasnya tidak lebih baik dari Steve Mandanda (Marseille) atau Anthony Lopes (Lyon). Para penjaga gawang cadangan juga tidak memiliki kualitas yang mampu membuat Sirigu berada dalam kondisi yang mengharuskannya selalu memperbaiki diri. Selebihnya, PSG baik-baik saja. Kualitas pemain inti dan cadangan yang buruk hanya ada di posisi penjaga gawang.



    ====

    * Mengkhususkan pada analisis sepakbola, baik Indonesia maupun dunia, meliputi analisis pertandingan, taktik dan strategi, statistik dan liga. Keragaman latar belakang dan disiplin ilmu para analis memungkinkan PFI untuk juga mengamati aspek kultur, sosial, ekonomi dan politik dari sepakbola. Twitter: @panditfootball Facebook: panditfootball Website: www.panditfootball.com.

    (a2s/din)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game