Pratinjau 2015/2016
Bournemouth di Antara Idealisme dan Pragmatisme Eddie Howe

Akhir pekan ini akan menjadi momen bersejarah sekaligus mendebarkan bagi AFC Bournemouth, bahkan mungkin juga bagi sebagian warga kota Bournemouth. Untuk pertama kalinya, klub yang saat berdirinya pada 1890 bernama Boscome St. John's Institute FC ini akhirnya bisa mencicipi kompetisi level tertinggi sepakbola Inggris.
Kesebelasan yang memakai nama AFC Bournemouth sejak 1972 ini berhasil mendapatkan apa yang sudah dinanti-nanti selama 125 tahun lamanya. Di Stadion Dean Court, Sabtu akhir pekan nanti, skuat besutan Eddie Howe ini akan memulai langkahnya di puncak industri sepakbola dengan menjamu Aston Villa.
Sebagaimana diuraikan dengan indah oleh Dalipin dalam artikel “Maafkan Kami Bournemouth”, keberhasilan AFC Bournemouth ini memang tak terbayangkan sebelumnya. Kota kecil ini lama dikenal sebagai tempat tetirah yang jauh dari keramaian -- itu pun tak populer. Dibanding dua “kerabatnya”, Southampton dan Portsmouth, yang dulu sama-sama bergabung dalam wilayah Hampshire, nama Bournemouth kalah populer. Juga dalam urusan sepakbola.
Bournemouth memastikan lolos ke Liga Primer Inggris 2015/2016 setelah mengalahkan Bolton Wanderers pada 28 April lalu. Saat itu juga, para pemain, manajemen dan suporter bersatu-padu dalam kegembiraan dan pesta pora. Tapi pesta pora itu sudah berakhir karena tantangan yang ganas sudah ada di depan mata: bisakah mereka bertahan di Liga Primer yang terkenal kejam kepada kesebelasan-kesebelasan yang baru promosi?
Bersama Watford FC dan Norwich City, siapakah yang harus mengalah kembali turun ke Divisi Championship terlebih dahulu?
Eddie Howe Si Pahlawan dari Pantai Selatan
Musim perdana di Liga Primer Inggris ini merupakan ujian yang sulit, berat namun penuh tantangan bagi Eddie Howe, manajer sekaligus pahlawan abadi Bournemouth hingga sejauh ini.
Tidak banyak yang mengenal Eddie Howe. Tapi di Bournemouth, namanya selalu dielu-elukan sekaligus diingat. Howe adalah Bournemouth, begitu juga sebaliknya. Dirinya memulai karir sepakbola dari akademi Bournemouth sejak 1991 dan menjadi pemain penting The Cherries dalam kurun waktu 1994 sampai 2002.
Howe sempat memutuskan berpisah dengan kesebelasan yang membesarkan namanya dengan bergabung bersama Portsmouth pada 2002. Akan tetapi bersama Portsmouth di bawah arahan Harry Redknapp, ia cuma bertahan satu musim dan dipinjamkan ke Swindon Town pada awal musim 2004.
Tapi di Swindon ia tidak pernah mencicipi satu pun laga. Masa peminjamannya jelas gagal karena ia bermasalah dengan kebugaran dan cedera. Bournemouth-lah yang bersedia kembali menampungnya dengan opsi peminjaman untuk kemudian dipermanenkan.
Sayangnya ia cuma mencicipi 70 laga bersama timnya itu karena pada 2007 ia memutuskan pensiun dini. Lagi-lagi persoalannya adalah cedera lutut yang dideritanya sejak berada di Portsmouth. Pensiun di usia 30 tahun tentu bukan hal yang diinginkan setiap pemain. Setidaknya para pemain berusia 30 tahun lazimnya masih bisa bermain beberapa tahun lagi.
Setelah pensiun Howe mengabdikan diri dengan melatih akademi Bournemouth. Tak lama kemudian, ia menjadi manajer tim dalam status sebagai caretaker menggantikan Jimmy Quinn pada Desember 2008. Mereka ada di League Two ketika itu. Usia Howe kala menjadi manajer caretaker sendiri baru 31 tahun. Terhitung muda untuk ukuran manajer.
Hasilnya tidak mengecewakan. Pada musim 2008/2009 itu, Howe berhasil menyelamatkan Bournemouth dari degradasi. Keberhasilan itu membuat nama Howe mulai banyak dikenal. Ia bahkan ditawari menjadi manajer Peterborough yang saat itu sudah berkiprah di Divisi Championship, level yang lebih tinggi. Namun ia menolaknya dan tetap bersama Bournemouth.
Barulah pada 2011 ia mencoba peruntungan di Burnley FC. Tapi karir manajernya di Burnley hanya setahun. Ia pun kembali ke Bournemouth pada Oktober 2012.
Lagi-lagi, sebagaimana saat ia masih menjadi pemain, Howe mendapatkan kembali habitatnya yang paling nyaman. Bukan hanya nyaman, bahkan melontarkan namanya lebih tinggi lagi. Level demi level berhasil dilalui The Cherries bersama Howe --atau Howe bersama The Cherries. Sampai akhirnya tibalah mereka di Liga Primer Inggris.
Howe kini berusia 37 tahun. Ia dikenal pintar memotivasi para pemainnya. Ia tak sungkan meluangkan waktu untuk menampung dan mendengarkan berbagai aspirasi dari para pemain. Ia manajer yang punya loyalitas, bukan hanya pada kesebelasan yang membesarkan dan mempekerjakannya, tapi juga pada para pemainnya.
Salah satu bukti betapa Howe adalah manusia yang hangat kepada lingkungan yang mengelilinginya adalah tato huruf "R" yang terpacak di pergelangan tangannya. Huruf itu merupakan inisial dari (Labrador) Rodney, orang yang menemaninya ketika masih menjadi pemain di usia 18 tahun.
Keteguhan pada Sepakbola Menyerang
Bournemouth memainkan gaya sepakbola yang agresif selama diasuh oleh Howe. Dengan formasi dasar 4-4-2, Bournemouth mengarungi level demi level piramida sepakbola Inggris dengan permainan yang agresif dan terbuka.
Tommy Elphick, dkk. jarang membiarkan lawan menguasai bola dengan leluasa. Mereka sigap memberikan tekanan yang ketat, tidak jarang menekan sejak pertahanan lawan (high-pressing). Ketika menguasai bola, agresivitas Bournemouth dipraktikkan dengan cara yang cenderung klasik khas Inggris. Mereka memaksimalkan lebar lapangan untuk menggedor pertahanan lawan dengan mengandalkan kecepatan dua sisi sayap, sisi sayap kanan yang diisi oleh Matt Ritchie.
Mereka memang memiliki pemain yang berkontribusi besar dengan cara mencetak banyak gol, seperti seperti Callum Wilson atau Yann Kermorgant. Tapi kontribusi Ritchie tidak bisa dikesampingkan dalam kemasan 98 gol Burnemouth pada Championship 2014/2015 lalu.
Ia merupakan motor utama serangan The Cherries. Bahu membahu dengan Dan Gosling serta Junior Stanislas, Ritchie berhasil mencetak 15 golnya di musim lalu. Kebanyakan dicetak melalui tendangan jarak jauh yang memang menjadi salah satu keahliannya.
Ritchie jugalah yang dipercaya Howe sebagai eksekutor tendangan bebas dan tendangan pojok. Selain itu, keahliannya dalam memberikan umpan silang, termasuk dalam situasi tendangan pojok, menjadi kelebihan lain Ritchie yang menonjol. Tercatat, mereka berhasil mencetak 31 gol yang dihasilkan atau diawali melalui tendangan pojok.
Menjadi sesuatu yang menarik menantikan bagaimana Howe beradaptasi dengan Liga Primer Inggris. Dengan lawan-lawan yang lebih berpengalaman, juga dengan kualitas yang lebih baik ketimbang Championship, beberapa lawan sudah pasti berlipat-lipat lebih berkualitas skuatnya ketimbang Bournemouth, cara dan gaya apa yang akan dipraktikkan oleh Howe?
Sejauh ini, setidaknya dalam pernyataan-pernyataannya, Howe seperti tidak akan menanggalkan gaya permainannya yang agresif dan terbuka. Beberapa kalangan jelas meragukan efektivitas pilihan itu. Namun, Howe (sekali lagi sejauh pernyataannya) bergeming.
"Mengapa tidak (bertahan dengan gaya kami)?" cetus Howe. "Saya tidak berpikir akan meninggalkan prinsip-prinsip kami," sambungnya.
Terlihat idealis, memang. Tapi pragmatisme untuk secara rasional menghitung kekuatan dan kelemahan diri sendiri untuk memutuskan taktik dan gaya bermain agaknya akan menjadi pelajaran yang harus diambil Howe.
Bournemouth Andalkan Pasukan Lama
Watford sebagai kesebelasan yang sama-sama promosi ke Liga Primer Inggris begitu aktif berbelanja pemain untuk mengarungi musim baru. Mereka sudah mendatangkan 10 pemain baru sejauh ini. Dari Giedrus Arlauskis, Etienne Capoue, Marco Motta hingga Valon Behrami dan Sebastian Prodl.
Sementara Bournemouth cenderung tidak sejor-joran itu membeli pemain. The Cherries baru mendatangkan Adam Federici (Cardiff), Artur Boruc (Southampton) Sylvain Distin (Everton), Tyrone Mings (Ipswich Town), Joshua Kings (Blackburn Rovers) dan meminjam Christian Atsu (Chelsea).
Khusus kedatangan Distin dari Everton menjadi sorotan karena mungkin bisa dinilai sebagai salah satu pembelian cerdik. Pengalaman bek 37 tahun yang didatangkan dengan gratis bisa mengajarkan banyak hal kepada para patnernya di pertahanan perihal bagaimana menghadapi penyerang-penyerang di level Liga Primer.
Tapi itu bisa saja menjadi cerita yang berbeda karena kemampuannya pada musim lalu bersama Everton sudah berkurang dan cenderung lambat. Kondisi fisik Distin saat ini pun diperkirakan tidak akan mampu menghadapi kelincahan penyerang-penyerang cepat seperti Harry Kane, misalnya, selama 90 menit.Kendati demikian Bournemouth sedikit mencuri perhatian dengan merekrut Mings dari Ipswich. Ya, pemain berposisi full-back kiri atau bisa ditempatkan menjadi bek tengah itu sebelumnya gencar diberitakan akan direkrut sejumlah kesebelasan yang lebih top, dari Everton, Newcastle United, hingga Chelsea.
Mimpi Mings untuk berkiprah pada divisi liga teratas Inggris ini akhirnya terwujud walau bersama kesebelasan promosi. Tapi setidaknya ia mendapatkan pengalaman baru serta bonusnya, mungkin, akan mendapatkan menit bermain yang berlimpah. Kemungkinan besar Mings memang akan mendapatkan posisi utama di lini pertahanan Bournemouth.
Kedatangan Joshua, sayap kiri dari Blackburn juga diharapkan bisa menyeimbangkan kedua sayap andalan Bournemouth. Sangat tidak ideal hanya mengandalkan sisi kanan kepada kinerja Ritchie seorang.
Kurang aktifnya Bournemouth di pasar transfer, di satu sisi, mungkin memperlihatkan kepribadian Howe yang cenderung loyal kepada lingkungan yang mengelilinginya. Howe seperti hendak menghargai para pemain yang telah berjasa mengantarkan The Cherries ke divisi tertinggi Liga Inggris untuk pertama kalinya. Sehingga enggan membuat suasana ruang ganti menjadi tidak kondusif.
Pragmatisme Pertahanan
Sementara itu boleh bagi Howe percaya diri menatap kiprah barunya di Liga Primer Inggris 2015/2016, namun ia harus memikirkan sejauh mana gaya permainan agresif dan terbuka itu bisa bertahan dalam atmosfer kompetisi yang lebih ketat dan ganas.
Memperkuat pertahanan menjadi salah satu opsi yang mustahil diabaikan. Biar bagaimana pun, mereka akan mendapatkan banyak tekanan dari kesebelasan-kesebelasan top yang memiliki pemain-pemain top dan berpengalaman. Sudah jelas, menjaga pertahanan di Championship tidak sesulit menghadapi gedoran pemain-pemain top seperti Diego Costa, Alexis Sanchez, Kun Aguero, Wayne Rooney, Daniel Sturrdige hingga Harry Kane.
Amat berlebihan tentu saja jika Howe hanya mengandalkan pengalaman Distin dan kekompakan lini tengah sebagai tembok pertama pertahanan. Howe harus hati-hati benar untuk mengandalkan Distin. Usianya yang sudah menua, dan kecepatannya yang sudah menurun, bisa menjadi sasaran empuk.
Untuk diketahui, di musim lalu saja, Boournemouth sangat ringkih justru menjelang akhir pertandingan. Dalam rentang waktu menit 76 sampai menit 90, mereka kebobolan 12 gol. 15 menit terakhir merupakan rentang waktu di mana Bournemouth paling banyak kebobolan di banding rentang-rentang waktu yang lain. Akan menjadi kesulitan bagi Bournemouth untuk bertahan di Liga Primer Inggris jika tidak membenahi kelemahan tersebut pada musim lalu.
Bertahan di Liga Primer Inggris sudah lebih dari cukup bagi musim perdana Bournemouth. Jika sanggup bertahan, bolehlah merancang dan mengharapkan sesuatu yang lebih di musim berikutnya. Pilihan yang dimiliki Howe memang tidak banyak.
====
* Penulis anggota redaksi @PanditFootball dengan akun twitter: @randyntenk