4-2-3-1 yang Mulai Membosankan

Liga Primer sejauh ini menghasilkan rata-rata sekitar 2,5 gol per pertandingan – total 649 gol dari 225 pertandingan hingga pekan ke-25. Apakah jumlah ini merupakan angka yang bagus? Nyatanya jumlah ini adalah yang paling sedikit ketiga sepanjang sejarah Liga Inggris.
Jika sedikit gol sama artinya dengan membosankan, maka Liga Primer sudah menjadi liga yang membosankan sekarang ini. Tapi kembali, ini semua hanya masalah selera.
Ligue 1 di Prancis misalnya, mereka memiliki jumlah gol yang lebih banyak dari Liga Primer. Tapi di liga tersebut, jika kita sempat menonton, lebih banyak pertandingan yang menampilkan kesebelasan besar melawan kesebelasan kecil, sehingga tak heran banyak gol terjadi.
Kembali ke Liga Primer, kita tentunya bertanya, kenapa liga ini mencetak gol yang sangat sedikit dibanding sebelumnya? Jawabannya mungkin ada pada kebiasaan taktik dari para kontestannya.
Bukan bermaksud menggeneralisasi, tapi 15 dari 20 tim Liga Primer memakai formasi 4-2-3-1 atau 4-5-1. Sebagai pembanding, formasi yang umum di La Liga Spanyol adalah 4-3-3, sementara di Serie A Italia adalah 3-5-2 atau 4-3-1-2.
Di era baru, sistem 4-2-3-1 ini dipopulerkan (katanya) oleh Louis van Gaal ketika di AFC Ajax, kemudian terutama di FC Barcelona. Sistem ini lalu diperdalam dan disempurnakan oleh Pep Guardiola. Menurut Pep, sistem ini adalah sistem yang paling distributif untuk seluruh pemain: satu kiper, satu bek tengah komando, satu bek tengah konvensional, satu bek kanan, satu bek kiri, satu gelandang bertahan, satu gelandang konvensional, satu sayap kanan, satu sayap kiri, satu gelandang serang (atau si No. 10), dan satu penyerang.
Sudah hampir satu dekade 4-2-3-1 dinilai sebagai sistem terbaik untuk sepakbola mengoper dan menekan. Dengan keunggulan utama (jika pemain-pemainnya bisa memerankan secara maksimal) adalah lini tengah yang selalu memenangkan bola dengan double pivot, bek di kedua sisi yang siap sedia menyediakan permainan melebar, dan seorang penyerang komplet, poacher sekaligus target man.
Formasi ini mendasari tiki-taka dan bentuknya memang dirancang untuk mempertahankan bola dengan operan demi operan.
Dua gelandang (double pivot) melindungi empat bek di belakangnya yang bisa jadi terlalu kaku. Ini lah kenapa jika ada dua kesebelasan yang sama-sama memainkan formasi 4-2-3-1, pertandingan juga kemungkinan besar akan menjadi pertandingan yang kaku (walaupun pada akhirnya tergantung bagaimana detil strategi setiap pelatih di lapangan).
Pemasangan dua gelandang ini akan berbeda dengan memasang hanya satu gelandang yang melindungi empat bek. Formasi akan berubah jadi 4-3-3, sehingga ada gap yang terlalu besar dan berisiko mudah ditembus oleh lawan, meskipun kembali, tergantung siapa pemain yang memerankannya dan tergantung lawannya.
Tipikal cara bermain di lini belakang dan tengah 4-2-3-1
Jika kita bermain permainan video Football Manager atau FIFA, kita akan banyak menemukan kesebelasan yang memiliki formasi dasar (default) 4-2-3-1. Sehingga 4-2-3-1 sudah sangat identik dengan sepakbola sekarang ini.
Biasanya pemain sayap pada 4-2-3-1 (angka '3') akan melakukan cut inside, sehingga permainan akan kurang melebar. Jika mau melebar, bek sayap dikorbankan untuk melakukan overlap dan mengirim umpan silang. Dahulu tugas ini milik pemain gelandang sayap di 4-4-2 ketika 4-4-2 menjadi formasi mainstream di sepakbola.
Sekarang kesebelasan di Eropa hampir selalu punya bek sayap (full-back) yang sangat baik dalam menyerang. Namun, hanya kesebelasan besar yang bisa menyeimbangkan menyerang dan bertahan dari si bek sayap ini.
Dengan bek sayap yang sering naik, kesebelasan jadi rentan diserang balik. Cara antisipasi paling umum adalah dengan dua gelandang double pivot turun meng-cover posisi yang ditinggalkan si bek sayap. Atau biasanya bek tengah yang mengisi posisi bek sayap, sedangkan salah satu gelandang turun ke dalam (tapi tidak terlalu dalam) seolah menjadi bek tengah.
Baca juga: Membedah Posisi Midfielder (Bagian 1) – Gelandang Bertahan
Dua pemain tengah ini sangat vital dan menjadi kunci transisi terutama ketika menyerang ke bertahan, bukan sebaliknya. Idealnya, pasangan gelandang pada 4-2-3-1 adalah satu yang tetap pada posisi dan satu sebagai gelandang yang ke sana ke mari; atau satu yang ahli mengoper dan satu yang ahli tekel. Contoh paling sempurna adalah Cesc Fabregas dan Nemanja Matic di Chelsea musim lalu.
Pemain No. 10 yang sangat tersorot
Jika pemain sayap melakukan cut inside, bek sayap yang hampir dituntut selalu overlap, dan posisi dua gelandang yang vital, ada satu pemain yang paling disoroti di 4-2-3-1. Ia adalah si Nomor 10.
Kelahiran pemain No. 10 adalah transformasi sederhana dari 4-4-2, yang mana si No. 10 adalah salah satu penyerang yang turun ke dalam atau ke posisi lubang, sehingga sering disebut sebagai penyerang lubang.
Baca lagi: Membedah Posisi Midfielder (Bagian 2) – Gelandang Menyerang
Tugas si No. 10 ini adalah untuk terus bergerak, menciptakan ruang bukan hanya dari tengah tapi juga sayap. Ia akan menjadi pemain yang, di atas kertas, paling sulit untuk di-man-marking oleh lawan. Tugasnya juga untuk menciptakan peluang bukan buat dirinya, tapi buat pemain lain, utamanya buat si penyerang.
Contoh pemain terbaik sejauh musim ini adalah Mesut Oezil (16 assist dan menciptakan 86 peluang), Dimitri Payet (53 peluang), kadang Riyad Mahrez (68 dribel sukses), Ross Barkley (71 dribel sukses), Sadio Mane (51 dribel sukses), Bojan Krkic, dan Jason Puncheon.
Peran penyerang yang sangat menuntut
Beralih ke penyerang, dari tugas si No. 10 ini, maka akan membuat penyerang seharusnya sangat dimanjakan di 4-2-3-1; karena, ya, hanya ia sendiri yang menjadi penyerang (angka '1' pada 4-2-3-1).
Namun, ini bukan soal angka, melainkan peran yang lengkap. Secara umum, ia adalah target man sekaligus poacher. Secara khusus, ia adalah pemain yang bisa menahan bola, menyambungkan permainan (wall pass), bergerak tanpa bola mencari ruang dan menciptakan ruang untuk pemain lain, menciptakan peluang, unggul dalam bola udara, dan pastinya mencetak gol. Tidak jarang juga jika ada penyerang yang memerankan "false nine" sehingga 4-2-3-1 bisa berubah menjadi 4-6-0.
Baca: False Nine sebagai Pilihan Taktikal
Penyerang sempurna sangat langka sekarang ini. Contohnya adalah Diego Costa di Chelsea yang begitu ganas di depan gawang pada musim lalu, Sergio Aguero, dan Romelu Lukaku di musim ini.
Jika tidak ada pemain seperti itu, penyerang harus memiliki atribut khusus yang sangat menonjol, seperti pandai membuka ruang dan bergerak menyambut bola (seperti Jamie Vardy, Harry Kane, dan Odion Ighalo), unggul bola udara (Olivier Giroud), atau banyak contoh lainnya. Sementara mereka yang poacher sejati nasibnya malah terbuang, misalnya Javier "Chicharito" Hernandez.
Jadi kalau tidak komplet, penyerang di 4-2-3-1 harus lah penyerang yang dominan di setidaknya dua atribut khusus, tidak bisa yang "nanggung" di segala atribut khusus yang sudah disebutkan di atas.
4-2-3-1 sudah mulai mainstream dan berpotensi membosankan
Dalam 4-2-3-1, jika kesebelasan tidak memiliki pemain kreatif, permainan sering mengalami kebuntuan dan jalan keluarnya hanya mengoper ke samping dan ke belakang, jika ada celah dalam pertahan lawan baru lah mengoper ke depan.
Padahal tidak semua operan ke depan akan menghasilkan peluang. Contoh terbaik (atau terburuk, tergantung dari perspektif mana Anda melihatnya) adalah permainan Manchester United yang musim ini sangat membosankan meskipun mereka rata-rata menguasai pertandingan (55%, tertinggi di liga) dan akurat dalam mengoper (84%, tertinggi kedua di liga).
Seringnya yang kita saksikan musim ini adalah kasus ketika kesebelasan dengan 4-2-3-1 yang possession-nya di atas 60% tapi jarang mencetak tembakan ke arah gawang (shot on target). Rata-ratanya dari kesebelasan tipikal ini adalah hanya mencetak dua shot on target per pertandingan. Ini tentunya sangat tidak menghibur, secara umum.
Pola 4-2-3-1 dinilai merupakan sistem paling aman, sangat cocok untuk pelatih baru atau di awal musim ketika banyak pemain yang baru didatangkan. Sehingga jika ingin “main aman”, kebanyakan manajer akan menerapkan 4-2-3-1.
Pada kenyataannya, 4-2-3-1 sudah sangat umum dan menjadi mainstream sekarang ini. Ini juga yang membuat sistem ini membosankan dan mudah diantisipasi lawan, atau istilahnya adalah "sistem hapalan", sama seperti 4-4-2 dahulu.
Sejujurnya, 4-2-3-1 memang agak mirip dengan 4-4-2. Perbedaan utama hanya terletak pada satu penyerang yang lebih turun ke dalam menjadi posisi No. 10, diharapkan bisa membuka ruang untuk si penyerang, tapi juga menuntut penyerang agar komplet.
Namun, menggeneralisasikan bahwa 4-2-3-1 adalah sistem yang membosankan juga sepenuhnya tidak benar. Mainstream bukan berarti membosankan. Ini sama seperti kasus Apple vs Android di telepon genggam kita.
Hanya saja memang jika kita sering melihatnya, akan lebih besar kemungkinannya untuk kita menjadi bosan. Ini yang membuat hidup, bukan hanya sepakbola, terus bertransformasi. Tidak ada sistem yang sempurna di sepakbola.
[Artikel berikutnya: Kebangkitan Kembali 4-4-2]
=====
* Penulis biasa menulis soal sport science untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @dexglenniza