Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Tactics

    Tren Formasi di Euro 2016 (Bagian 1)

    Pengaruh Tren Formasi Piala Eropa ke Kesebelasan-Kesebelasan Eropa

    Pandit Football Indonesia - detikSport
    Foto: Laurence Griffiths/Getty Images Foto: Laurence Griffiths/Getty Images
    Jakarta - Dalam ajang Piala Eropa 2016, salah satu hal yang cukup menarik perhatian adalah bahwa pada Piala Eropa kali ini formasi dasar yang tersaji semakin bervariatif. Berdasarkan data yang dikumpulkan Football-Lineups, terdapat 14 formasi dasar yang berbeda di ajang Piala Eropa 2016 di Prancis.

    Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi di 20 tahun terakhir atau empat edisi Piala Eropa sebelumnya. Pada tahun 2012, hanya sembilan formasi dasar saja yang muncul. Terbanyak sebelumnya terjadi pada tahun 2008 yang menghasilkan 12 formasi dasar berbeda dari 62 pertandingan.

    Dari formasi dasar yang tersaji di gelaran Piala Eropa 2016, cukup banyak kesebelasan yang tidak menggunakan formasi dasar 4-2-3-1, formasi dasar yang saat ini sedang populer. Tak seperti ketika kita menyaksikan pertandingan antarklub yang mulai didominasi penggunaan satu penyerang, di Piala Eropa 2016 mulai banyak kesebelasan yang tampil dengan dua penyerang bahkan skema tiga bek.

    Lalu pertanyaannya, apakah ini pertanda bahwa formasi 4-2-3-1 akan mulai ditinggalkan? Apakah skema dua penyerang atau skema tiga bek akan mulai (kembali) banyak digunakan klub-klub pada musim 2016/2017?

    [Baca juga: 4-2-3-1 yang Mulai Membosankan]

    Kaitan Tren Formasi (4-2-3-1) di Piala Eropa dengan Klub

    Tren formasi memang sering dikaitkan-kaitkan dengan apa yang ditampilkan pada turnamen internasional antarnegara. Karena hal itu pula yang menjadi awal populernya formasi dasar 4-2-3-1 di era sekarang ini. Pada Piala Eropa 2016 sendiri, penggunaan formasi 4-2-3-1 masih yang tertinggi dengan 34%, 4-3-3 berada di urutan kedua dengan 16%.


    Berdasarkan sejarahnya, pada turnamen internasional antarnegara Eropa, formasi dasar 4-2-3-1 mulai banyak digunakan pada Piala Eropa 2000. Sebelumnya pada Piala Eropa 1996 dan Piala Dunia 1998, formasi dasar 4-4-2 hampir menjadi default semua kesebelasan.

    [Baca juga: Kebangkitan Kembali 4-4-2]

    Formasi tiga bek kemudian mulai (kembali) populer di negara-negara Eropa pada Piala Dunia 1998. Jika pada Piala Eropa 1996 hanya 8% kesebelasan dari 62 pertandingan yang menggunakan tiga bek, pada Piala Dunia 1998 penggunaan skema tiga bek meningkat pesat menjadi 37,5%.

    Selain Belanda yang sejak Piala Eropa 1996 bermain dengan skema 3-4-3, kesebelasan-kesebelasan Amerika Latin seperti Cile dan Argentina menjadi pembawa wabah skema tiga bek ke Eropa. Inggris yang sempat mencoba skema tiga bek pada Piala Eropa 1996, mengandalkan Tony Adams, Gareth Southgate, dan Stuart Pearce ketika kalah dari Jerman di semifinal, mulai lebih sering menggunakan skema tiga bek di Piala Dunia 1998.

    Formasi dasar Inggris saat menghadapi Jerman di semifinal Piala Eropa 1996

    Di Piala Dunia 1998, pelatih Inggris saat itu, Glenn Hoddle, memasang Adams, Sol Campbell, dan Gary Neville di lini pertahanan sebagai bek tengah. Darren Anderton dan Graeme Le Saux menempati wing-back kanan dan kiri. Hanya saat itu Inggris kalah oleh kesebelasan yang lebih andal memainkan skema tiga bek, Argentina, di babak perdelapanfinal, meskipun lewat babak adu penalti. Pertandingan ini tentunya kita ingat karena dihiasi kartu merah David Beckham dan skor 2-2 pada 120 menit pertandingan.

    Sementara itu, Kroasia adalah kesebelasan yang mulai menjadikan skema tiga bek sebagai pakem pada Piala Dunia 1998. Pelatih Kroasia saat itu, Miroslav Blazevic, sebelumnya mengantarkan Kroasia ke babak perempat final Piala Eropa 1996 dengan mengandalkan empat bak yakni Robert Jarni, Igor Stimac, Nikola Jerkan, dan Slaven Bilic.

    Blazevic merotasi Jerkan dan Bilic untuk ditempatkan sebagai full-back kanan. Namun pada Piala Dunia 1998, Jerkan tak dipanggil. Bilic menemani Stimac dan Igor Soldo yang berposisi sebagai tiga centre back. Jarni, yang sebelumnya dipasang sebagai full-back kiri, ditempatkan sebagai gelandang kiri atau wing-back kiri sementara di sisi kanan Blazevic mengandalkan Mario Stanic atau Robert Prosinecki.

    Formasi dasar Kroasia saat menghadapi Belanda di perebutan posisi tiga Piala Dunia 1998

    Perubahan ini terbukti efektif. Kroasia yang saat itu disebut-sebut memiliki generasi emas dengan pemain seperti Zvonimir Boban, Davor Suker, termasuk Prosinecki berhasil membuat Kroasia menempati peringkat tiga dunia.

    Setelah saat itu skema tiga bek mulai berkembang di Eropa, namun ternyata tidak mampu bertahan lama. Formasi 4-2-3-1 disebut menjadi anti taktik skema tiga bek. Selain itu, formasi 4-2-3-1 juga mulai banyak digunakan demi memaksimalkan para pemain kreatif yang memiliki kelemahan dari segi fisikal atau atribut bertahan. Dan hal itu banyak terlihat pada Piala Eropa 2000.

    Pada Piala Eropa 2000, Portugal muncul dengan formasi 4-2-3-1 untuk memaksimalkan Manuel Rui Costa sebagai gelandang no.10 sejak pertandingan pertama di grup. Dengan gaya playmaking Rui Costa yang lambat dan tak kuat dalam bertahan, pelatih Portugal saat itu, Humberto Cuelho, memasang double pivot, yakni Vidigal dan Paulo Bento, untuk memberi keleluasaan Rui Costa dalam mengatur serangan.

    Formasi dasar Portugal saat menghadapi Inggris di Piala Eropa 2000

    Denmark sebenarnya menjadi kesebelasan pertama di Piala Eropa 2000 yang menggunakan 4-2-3-1, lebih dulu satu hari dengan pertandingan pertama Portugal. Namun kekalahan 0-3 atas Prancis membuat Denmark meninggalkan skema 4-2-3-1 setelah pertandingan pertama.

    Tak seperti Denmark, Portugal konsisten dengan skema 4-2-3-1 untuk memaksimalkan kemampuan Rui Costa, juga pemain-pemain sayap yang tak baik dalam bertahan seperti Luis Figo dan Joao Pinto. Portugal yang saat itu dihuni pemain-pemain papan atas Eropa pun menjadi kandidat juara setelah menyapu bersih tiga pertandingan babak grup dengan kemenangan.

    Uniknya, lawan-lawan Portugal mulai menduplikasi 4-2-3-1 saat berhadapan dengan mereka. Jerman, misalnya. Setelah mengandalkan Jens Nowotny-Lothar Matthaeus-Thomas Linke di lini bertahan dalam laga pertama lawan Rumania (seri 1-1) dan Nowotny-Matthaeus-Babbel pada laga kedua lawan Inggris (kalah 0-1), Jerman lalu memasang Marko Rehmer-Matthaeus-Nowotny-Linke di lini bertahan lawan Portugal.

    Sementara itu Prancis, yang mengalahkan Portugal di semifinal, juga menggunakan formasi 4-2-3-1. Namun ketika menghadapi Portugal, Prancis menggunakan formasi 4-3-1-2. Perlu diketahui, Prancis saat itu memang terus mengubah formasi dasar mereka dimulai dari 4-4-2, 4-3-1-2 hingga 4-2-3-1 pada perempatfinal dan final.

    Penggunaan 4-2-3-1 Prancis saat itu, selain untuk memaksimalkan peran Zinedine Zidane sebagai gelandang no.10, juga untuk menandingi kualitas lini tengah lawan. Prancis menggunakan 4-2-3-1 ketika menghadapi Spanyol yang menempatkan Ivan Helguera dan Pep Guardiola di tengah dalam formasi 4-1-3-2 dan ketika menghadapi Italia yang memasang 3-4-2-1 dengan Dino Baggio, Demetrio Albertini, Stefano Fiore, dan Francesco Totti di tengah. Di belakang Zidane, pelatih Prancis saat itu, Roger Lemerre, memiliki pilihan Patrick Vieira, Didier Deschamps, dan Emanuel Petit. Pada laga final, Lemerre memilih duet Vieira-Deschamps untuk melindungi back-four. Prancis kemudian mampu keluar sebagai juara.

    Formasi dasar Prancis ketika menghadapi Italia di final Piala Eropa 2000

    Sementara itu, menurut Jonathan Wilson yang menulis buku taktik sepakbola berjudul Inverting the Pyramid, para pundit Inggris menyebut formasi 4-2-3-1 sebagai taktik negatif. Indikasi negatif ini ditunjukkan oleh hanya menempatkan satu penyerang dan menumpuk banyak pemain di tengah.

    "Menempatkan lima gelandang disebut sebagai taktik negatif untuk waktu yang lama, meski tergantung bagaimana peran kelima gelandang tersebut. Pandit Inggris menyebut taktik negatif karena tidak menempatkan dua penyerang, padahal sebenarnya susunan pemain tak kaku seperti itu di lapangan," ujar Jonathan Wilson dalam kolomnya di The Guardian pada 18 Desember 2008.

    Spanyol Merasakan Pengaruh Tren Formasi di Piala Eropa 2000

    Masih menurut Jonathan Wilson, formasi 4-2-3-1 setelah Piala Eropa 2000 memang mulai lebih populer di negara-negara yang dengan mudah menerima perkembangan taktik, khususnya di Spanyol. Setelah Piala Eropa 2000, formasi 4-2-3-1 menjadi default kesebelasan Spanyol, apalagi keberhasilan Deportivo La Coruna menjuarai La Liga bersama Javier Irureta yang sudah menggunakan 4-2-3-1 sebelum tahun 2000.

    Meskipun begitu, sebenarnya formasi 4-2-3-1 sudah mulai dikenal di Spanyol pada awal 90-an. Juanma Lillo, pelatih Real Sociedad pada musim 1991-1992, disebut majalah olahraga Spanyol Training Football sebagai pionir formasi 4-2-3-1 di Spanyol.

    Namun karena saat itu Sociedad bermain di Segunda Division, atau divisi dua Spanyol, tak banyak yang memerhatikan kiprah Lillo yang mengedepankan pressing di lini tengah. Barulah setelah Piala Eropa 2000, lalu kesuksesan Irureta bersama Deportivo, ditambah duet Geremi dan Fernando Redondo sebagai double pivot pada tahun 1999 dalam skuat Real Madrid asuhan John Tossack, formasi 4-2-3-1 ini semakin populer di Spanyol.

    Real Madrid adalah kesebelasan yang kemudian secara tersirat menyebut bahwa sepakbola modern bisa maksimal dengan formasi 4-2-3-1. Setelah Piala Eropa 2000, mereka merekrut pemain-pemain yang bisa bermain dengan formasi 4-2-3-1 seperti Claude Makelele, Luis Figo, dan Zinedine Zidane. Hal itu disadari oleh juru taktik asal Italia, Arrigo Sacchi, ketika menjadi Direktur Olahraga Real Madrid pada 2004.

    "Ini tentang mengeksploitasi kemampuan pemain. Sebagai contoh, Zidane, Figo, dan Raul tak bisa melakukan trackback, jadi kami harus memiliki pemain yang andal di depan empat bek. Kemudian kami punya Claude Makelele. Ia sangat hebat dalam merebut bola, itu kelebihan dia," ujar Arrigo Sacchi yang kemudian menjelaskan alasannya menjual Makelele bahwa ia butuh seorang regista.

    [Baca juga: Membedah Posisi Gelandang Bertahan]

    Spanyol kemudian dikenal sebagai negara pemopuler formasi 4-2-3-1. Dimulai dari Piala Dunia 2002 hingga Piala Eropa 2004, timnas Spanyol mulai menerapkan formasi 4-2-3-1, bersama Portugal, Denmark, Belanda, Republik Ceko, dan Jerman. Spanyol pada 2004 kemudian memasang Xabi Alonso, David Albelda, dan Ruben Baraja bergantian sebagai double pivot, di belakang Raul Gonzalez. Spanyol terlihat menduplikasi Valencia yang berjaya pada musim 2001-2002 dengan 4-2-3-1, menempatkan Vicente, Joaquin, Pablo Aimar, di depan Baraja dan Albelda. Keempat pemain Spanyol (kecuali Aimar yang Argentina) kemudian menjadi penggawa timnas Spanyol pada Piala Eropa 2004.

    Formasi dasar Spanyol saat menghadapi Yunani di Piala Eropa 2004

    Spanyol saat itu memang gagal lolos grup setelah hanya mampu meraih empat poin. Namun sejak saat itu, formasi 4-2-3-1 yang diusung Inaki Saez menjadi pakem permainan Spanyol, dan semakin populer digunakan di Spanyol hingga akhirnya muncul pakem 4-3-3 atau 4-1-4-1 yang dipopulerkan oleh Pep Guardiola di Barcelona dan Luis Aragones di timnas Spanyol.

    Perkembangan 4-2-3-1 di Inggris

    Saat ini, negara yang identik dengan formasi dasar 4-2-3-1 adalah Inggris dan Jerman. Tapi kali ini kita membahas Inggris yang memiliki Liga Primer sebagai liga (yang disebut-sebut) terbaik dunia. Faktanya kesebelasan di Liga Primer menggunakan formasi dasar 4-2-3-1. Namun yang terjadi di Inggris justru kebalikannya, klub dulu yang menggunakan formasi 4-2-3-1 baru kemudian timnas.

    Menurut Jonathan Wilson, perkenalan Inggris dengan formasi 4-2-3-1 adalah ketika Manchester United bertemu dengan Real Madrid pada musim 1999-2000 di Liga Champions. Kekalahan 3-2 Man United di Old Trafford membuat manajer Man United saat itu, Sir Alex Ferguson, mulai mencoba formasi 4-2-3-1.

    Sebenarnya Ferguson tetap pada pakem 4-4-2 yang mengantarkan Manchester United meraih treble winners. Namun dalam praktiknya, menurut Wilson, salah satu dari dua penyerang Man United selalu turun ke tengah untuk membentuk 4-2-3-1 ketika menyerang.

    Menurut Wilson, Ferguson kemudian benar-benar mengaplikasikan formasi 4-2-3-1 pada 2008. Saat itu, Fergie memasang Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney, Anderson, dan Park Ji-sung di lini depan Liga Champions saat bertandang ke markas AS Roma.

    Formasi dasar Manchester United saat menghadapi AS Roma di Liga Champions musim 2007-2008

    Namun Inggris tidak cukup peka akan perkembangan taktik. Hingga 2008, timnas Inggris masih kental dengan 4-4-2. Baru pada 2009, setelah gagal lolos ke Piala Eropa 2008, Inggris mulai mencoba formasi dasar 4-2-3-1. Dan formasi ini diterapkan oleh pelatih asal Italia, Fabio Capello, yang menempatkan Gareth Barry dan Frank Lampard di belakang Wayne Rooney sebagai gelandang no. 10.

    Di klub, para pemain non-Inggris pun berdatangan untuk menyempurnakan 4-2-3-1. Chelsea, Manchester City, Liverpool, dan Arsenal mulai menjadikan 4-2-3-1 sebagai pakem. Namun karena pemain non-Inggris itulah Capello yang menangani Inggris pada periode 2008 hingga 2012, kesulitan memaksimalkan 4-2-3-1 di timnas. Ia pun beberapa kali harus kembali menggunakan 4-4-2 sebagai formasi dasar.

    Sementara itu suksesornya, Roy Hodgson, juga mengalami hal serupa. Bedanya, Hodgson terus memaksakan formasi 4-2-3-1 karena formasi ini sudah menjadi pakem di banyak kesebelasan Liga Primer. Hasilnya cukup buruk, Inggris gagal lolos grup di Piala Dunia 2014 dan kalah di babak 16 besar di Piala Eropa 2016 lalu.

    Meskipun begitu, formasi 4-2-3-1 tampaknya masih akan menjadi pakem formasi di kesebelasan-kesebelasan Inggris. Terlebih manajer-manajer asing Inggris seperti Pep Guardiola, Juergen Klopp, Jose Mourinho, Mauricio Pocchettino, atau Slaven Bilic menjadikan formasi 4-2-3-1 sebagai formasi andalan mereka.

    [Bersambung]


    ---
    Penulis adalah anggota Pandit Football Indonesia dengan akun twitter: @ardynshufi


    (krs/raw)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game