Selain itu, Persebaya bisa dibilang jadi klub yang paling dirugikan dari dihentikannya Liga Indonesia 1997/98. Saat itu Bajul Ijo sedang memimpin klasemen Grup Barat.
Namun Uston sebagai pemain memahami kondisi itu. Maklum, kerusuhan terjadi dimana-mana imbas krisis moneter yang memunculkan ketidakstabilan ekonomi, sosial, dan keamanan di berbagai penjuru Tanah Air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Situasinya memang nggak kondusif, banyak kerusuhan itu, rawan, lebih rawan. Liga masih jalan sebelum dihentikan, tapi setelah kerusuhan ya nggak ada pertandingan lagi," tuturnya.
"Kami di atas (klasemen). Setelah itu kami masih stabil karena musim 1999 (Liga Indonesia 1998/99) masuk final tapi gak juara. Persebaya bagus, karena kedalaman skuadnya bagus," kata Uston lagi.
Sementara pada 2015, Uston sudah memasuki masa senja sebagai pemain profesional. Saat itu ia tercatat sebagai pemain Deltras Sidoarjo yang berkompetisi di Liga Nusantara.
Usianya sudah tak lagi muda saat itu di tengah konflik di antara para pemangku jabatan sepakbola nasional dengan pemerintah. Karena lelah dengan kondisi itu, Uston memilih pensiun dari lapangan hijau.
"Tahun 2015 saya pensiun, sebenarnya belum. Cuma karena kompetisi dilarang bergulir, akhirnya saya pensiun," tuturnya.
"Waktu itu saya di Deltras yang sedang melakukan persiapan menuju Liga 3. Saya memutuskan berhenti dan mengambil lisensi pelatih," ucapnya menutup cerita.
Nyatanya 2015 bukan pengalaman terakhir buatnya merasakan kompetisi dihentikan. Kali ini ia merasakan lagi meski sudah berganti peran di pinggir lapangan sebagai asisten pelatih Persebaya.
(cas/bay)