Mimbar Gagasan Para Calon Exco PSSI

Mimbar Gagasan Para Calon Exco PSSI

Muhammad Robbani - Sepakbola
Senin, 13 Feb 2023 23:40 WIB
PSSI Pers
Foto: dok. PSSI Pers
Jakarta -

Sejumlah calon Exco PSSI memaparkan visi dan misinya jika terpilih di KLB PSSI. Hadir juga para pakar sepakbola untuk menyampaikan usulan-usulannya.

Mereka diberikan wadah lewat "Kaukus Sepak Bola Nasional Nyalakan Nyali Membangun PSSI" yang diselenggarakan PSSI Pers, koordinatoriat wartawan olahraga khususnya sepakbola nasional. Bertempat di CafΓ© MyTen di Jakarta, Senin (13/2/2023), hadir tiga orang calon Ketua Umum PSSI yakni Fary Djemi Francis, Arief Putra Wicaksono, dan Doni Setiabudi.

Ada juga empat calon anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI; Paulus Kia Botor, Tigor Shalomboboy, Djamal Aziz, dan Ophan Lamara. Sementara tiga Calon Wakil Ketua Umum yang diundang yakni Gede Widiade, Maya Damayanti, dan Yunus Nusi berhalangan hadir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Turut dihadiri pula para pakar sekaligus praktisi sepakbola nasional yakni Bambang Nurdiansyah (pelatih, mantan pemain), Fakhrizal M Kahar (perwakilan wasit), Annisa Zhafarina Qosasih, (Direktur Utama Madura United), dan Hamka Hamzah (pemain profesional klub Bekasi City).

Para caketum diberikan kesempatan pertama, dilanjutkan pakar yang memaparkan kondisi sepakbola nasional, dan kemudian baru para calon Exco memaparkan program-program yang akan mereka usung. Mereka beradu program yang dinilai akan bisa membenahi sepakbola nasional.

ADVERTISEMENT

"Saya pegiat sepakbola akademi di perbatasan. Di hari harinya bisa pakai buat TC Timnas. Kita semua sudah lelah, capek tentang dinamika sepakbola Indonesia yang banyak kontroversi. Sepakbola adalah kebanggaan masa depan. Dengan kondisi saat ini, Indonesia sudah 32 tahun tanpa gelar pasca-emas SEA Games 1991. AFF nihil, sementara Kamboja lebih pesat," kata Fary Djemi Francis.

"Thailand Vietnam, terus menjadi raja Asia. Bahkan di kompetisi, kalau dilihat Liga 1 Indonesia, kualitasnya berbeda. Nomor satu Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, baru Indonesia. Jadi saya mengajak semuanya, jangan mau lagi pecah belah. Kita sudah lelah, kita harus well plan."

"Mari bersatulah, selamatkan piala dunia u-20. Itu momentum bagus utk banyak hal. Prestasi, citra bangsa, dan nama besar Indonesia. Bersatulah, bikin kompetisi yang industrial, modern, digitalisasi, demi generasi emas menuju Piala Dunia U-20."

Saat giliran Doni Setiabudi tiba, ia mengusung program liga profesional. Di benaknya, kompetisi seharusnya tidak hanya soal Liga 1. Tetapi Liga 2 hingga Liga 3 juga harus dikelola secara serius, tidak seperti sekarang dimana dua kompetisi di bawah Liga 1 tak bisa bergulir.

Ia prihatin sepakbola Indonesia tak dikelola dengan baik sehingga kerap kesulitan untuk mengelola kompetisi. Permasalahan penunggakkan gaji, tak mendapat izin, hingga pengaturan skor kerap mewarnai kompetisi dalam negeri.

"Visi & Misi saya, 1. Saya ingin mencapai federasi yang bersih. PSSI itu akar masalah sepakbola Indonesia. 2. Untuk mewujudkannya, saya mohon mengundurkan diri karena itu saya harap Exco PSSI diisi orang yang punya kapasitas dan mau kerja untuk bola Indonesia," tutur Doni.

"Saya mencoba membuat sepakbola pro. Saya berharap punya kebijakan yang ditentukan LIB dalam bentuk. Liga 2 & Liga 3 tidak bisa berjalan, karena saya tahu, klub tak punya uang, LIB juga tidak punya. Liga 2 akan berjalan dengan normal, harus ada pemisahan operator dengan Liga 1. Liga 2 punya nilai jual, selama kompetisinya berjalan kompetitif."

"Harus adanya bank guarantee. Tiap klub wajib mempunyai bank guarantee, berupa Deposit agar pemain pelatih tidak ada kasus sekarang. Klub tentu akan teriak, tapi kebijakan ini kalau tak sanggup, silakan degradasi. Yang harus dilakukan kompetisi berteknologi. Untuk Liga 1 hingga Liga 3 terkait penggunaan VAR."

"VAR bisa meminimalisir mafia. Mafia tidak akan bisa diberantas dalam waktu singkat. Tapi kita bisa memperkecil ruang lingkup mafia agar tak masuk ke sepakbola. Salah satunya dengan teknologi VAR. Sepakbola tidak hanya level pro. Ada suatu sepakbola yang jarang disentuh, yaitu amatir berkaitan Asprov."

Sementara Arif Putra menekankan pentingnya pembangunan industri sepakbola. Hal itu bisa dipahami dari latar belakangnya yang merupakan CEO dari Nine Sport, sebuah event organizer (EO) yang berpengalaman mendatangkan klub-klub sepakbola Eropa ke Indonesia.

Berdasarkan pengalamannya mendatangkan klub-klub top ke Indonesia, sedikit-banyaknya bisnis sepakbola sudah ia pahami. Menurutnya, Indonesia masih jauh dari industri sepakbola sebagaimana yang sudah terjadi di Eropa.

"Saya punya pengalaman di bisnis sepak bola selama 10 tahun. Ingin menjadikan PSSI milik bersama, memajukan sepakbola Indonesia bersama-sama. Punya tagline atau program PSSI 2.0. Inti masalah sepakbola berkaitan dengan ekonomi atau daya beli masyarakat. Dua negara dengan sepakbola maju, Inggris dan Jerman tingkat ekonomi jauh lebih baik dari Indonesia," ucap Arif.

"Daya beli masyarakat berkaitan dengan ini, khususnya dari piramida paling bawah bahwa banyak masyarakat Indonesia dari klaster tersebut merupakan penonton sepak bola Indonesia. Sebagai cermin sebuah bangsa, dengan program PSSI 2.0 ingin menjadikan sepak bola sebagai kendaraan menuju Indonesia Emas 2045. Dalam 3 tahun standardisasi sepak bola Indonesia akan sama dengan Jepang, begitu juga kualitas kompetisi, kualitas klub, dan kualitas tim nasional. Better Indonesia to Football," tuturnya.

Bambang Nurdiansyah selaku pelatih kemudian menekankan pentingnya standarisasi buat juru taktik buat Indonesia. Beda lagi dengan Hamka Hamzah yang meminta para pemangku jabatan sepakbola Indonesia untuk belajar dengan negara lain, tak perlu jauh-jauh ke Eropa katanya.

Annisa Zhafarina kemudian menyebut tiga aspek penting yang dinilainya perlu diperhatikan. Terakhir M Kahar angkat bicara soal masalah wasit yang selama ini terus menjadi sorotan di sepakbola Indonesia.

"Harus ada standarisasi kepelatihan. Selesaikan persoalan lisensi kepelatihan. Ada diskriminasi/perbedaan antara pelatih asing dan lokal. Sarana dan prasarana untuk Latihan diperhatikan. Elite Pro Academy harus dijalankan dengan baik supaya ada regenerasi dan pembinaan yang jelas," ujar Bambang Nurdiansyah.

"Kalau ingin sepak bola Indonesia maju, kualitas kompetisi harus diperbaiki. Simpel. Tidak perlu jauh-jauh ke Eropa contoh kompetisi, yang dekat saja di Malaysia dan Thailand. Lanjutkan Liga 2 dan Liga 3. Pengurus PSSI harus punya niat memajukan sepak bola. Jangan sepakbolanya 30 persen, 70 persennya politik. Seharusnya di balik. Di Inggris, kompetisinya yang dikenal bukan pengurusnya. Kalau di Indonesia, pengurusnya yang dikenal bukan kompetisinya," ucap Hamka.

"Rakyat itu mengandalkan PSSI untuk tiga hal; Kompetisi, Pembinaan usia muda, dan Prestasi timnas. Kalau dilihat sekarang, PSSI sekarang sudah beri perhatian ke Timnas dan pembinaan usia dini sudah dibantu klub. Kompetisi, ini sampai sekarang masih berjalan belum sempurna, jauh dari sempurna. Contoh Liga 2 & 3 tak jalan, ketidakjelasan di usia muda, dan kualitas wasit. Juga pengaturan skor judi dan lain-lain. Atensi saya, mohon kompetisinya. Atensi lebih kepada Asprov yang perlu mendukung jalannya kompetisi," ucap Annisa.

"Masalah wasit itu kompleks. Wasit itu tidak berdiri sendiri, wasit masuk dalam komponen pertandingan. Wasit juga perlu pembinaan, baik melalui Asprov, maupun Askab karena wasit itu ditempa di situ. Jadi wasit saya harap semua calon di sini memperhatikan pembinaan. Wasit di daerah itu harus berjenjang ke level nasional sehingga kita dapat wasit kompeten yang baik," ucap M Kahar.

"Sekarang sudah baik, tapi dalam setiap pertandingan fokus balik ke individu sendiri. Setiap kita sudah push dengan pelatihan, balik lagi ke fokus dan konsentrasi pribadi dalam. Saya sebagai pembina, instruktur, kita push terus pembinaannya. Kalau wasit tidak ada pelatihan, sama kayak kemarin. Wasit juga butuh pertandingan. Jadi makin banyak wasit kompeten, makin banyak bersaing. Wasit wasit ke depannya kita harus fokuskan Kita harus membina SDM dulu, perbaikan, pelatihan-pelatihan juga bisa," ujarnya

Lalu sesi ketiga dilanjutkan dengan pemaparan para calon anggota Exco. Ophan Lamara melihat pengelolaan sepakbola dijalankan secara tak transparan. Ia bertekad untuk menjalankan PSSI secara transparan, karena dinilainya federasi merupakan milik publik.

Hasani Abdulgani dan Paulus Kia berbicara soal timnas dan kompetisi, Djamal Aziz menekankan kejujuran, sementara Tigor Shalom menyoroti pentingnya untuk melakukan perubahan/update statute PSSI secara berkala.

"Saya belum menemukan kejujuran dalam mengelola PSSI. Saya belum melihat PSSI yang transparan, terutama dari sisi keuangan. Berhentinya Liga 2 karena uangnya PT LIB habis. Publik tidak bodoh. TV rights dan sponsorship itu tidak kecil. Saya bicara bicara seperti ini karena dulu bantu PSSI di Departemen Marketing dari 2003 sampai 2005, lalu generasi pertama BLI atau Badan Liga Indonesia," kata Ophan Lamara.

"Saat itu untuk menyiarkan pertandingan kompetisi dan tim nasional PSSI yang harus bayar ke TV, sekarang sebaliknya dan nilainya jauh lebih besar. Lalu kalau kita bicara pembinaan, kita butuh kejujuran. Jangan pernah mimpi timnas berprestasi, kalau pembinaan dan kompetisi masih belum. Sampai hari ini hanya Indonesia negara besar, merdeka, dan menuju modern yang kompetisi sepakbolanya masih terganggu seperti Pilkada dan Pemilu," ujarnya.

"Dalam berorganisasi itu kita harus bekerja serius dan dengan hati dan perlu kedewasaan juga dalam berorganisasi. Pembinaan juga harus jelas. Ada yang salah di sini. Sedih juga kita punya 200 juta rakyat, tapi kita masih harus naturalisasi. Naturalisasi ini seharusnya kita ambil usia yang berkembang sehingga bisa untuk jangka panjang. Regulasi dan aturan dari Liga 1 sampai Liga 3 harus jelas. Selama ini ada ketidaksinkronan antara PSSI dan pemerintah daerah. Di Indonesia itu belum selaras dan sepemikiran.," ucap Paulus Kia.

"Kejujuran bukan hanya pengurus, tapi pada pemain wasit harus jujur. Karena salah satu segmen tak jujur, semua kena. Begitu pengurus ga jujur, langsung pemain & wasit dan hasilnya mengecewakan banyak orang. Pengurus ke depan, lebih baik ada visi misi tertulis. Tapi biasanya sulit," ucap Djamal Aziz.

"Sebaiknya ada guidance, masing-masing punya apa. Orang perlu tahu, ketua itu cuma simbol, tak mutlak. PSSI itu ada Exco, pemilihannya kolektif kolegial. Kalau ketua mentang-mentang, ya dilawan. Giliran nanti piala (juara), ketua yang teriak. Giliran dicaci maki, Exco yang kena," lanjut Djamal Aziz.

"Perubahan statuta, sudah siapkan draf statuta baru. Salah satunya kategori membership atau anggota dan kualifikasi orang-orang yang berhak jadi Exco. Prinsipnya dalam federasi itu ada tiga, yaitu integrity, transparansi, dan akuntabilitas. Kalau ketiga itu dijalankan, program akan berhasil. Pembaharuan statuta terakhir tahun 2019 sedangkan FIFA dan AFC berubah setiap tahun," tutur Tigor.

"Persoalan di kita, memilih Exco & ketua itu masing masing. Ini kayak Eropa. Di Indonesia masih susah, di sini lebih ke paket. Tapi kalau paket dianggap banyak manipulasi. Soal timnas, saya belum melihat ada gagasan di dalam masalah sepakbola yang sebenarnya terjadi. Saya riset, ada dua yang fundamental, industrinya belum jalan, sedangkan itu jadi barometer. Yang paling dasar itu masalah grassroot. Indonesia sampai U-16 bagus, kenapa di bawahnya nggak bagus?" ucap Hasani.

Setelah sesi ketiga, para pakar diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada para calon Exco. Menariknya, Hamka Hamzah yang vokal untuk kelanjutan Liga 2, menanyakan hal ini kepada Hasani yang notabene anggota Exco aktif, selaku pengambil keputusan dihentikannya kompetisi level 2 itu.

"Saya awalnya termasuk yang tidak setuju liga diberhentikan, tapi setelah dipaparkan LIB, saya akhirnya memutuskan ikut setuju untuk diberhentikan. Alasannya, LIB telah siapkan dana awal sekitar Rp 30 miliar untuk Liga 2. Tapi tiba tiba ada kejadian, yang dampaknya soal perizinan dan standarisasi yang diberikan oleh keamanan, itu jadi kendala menjalankan normal," jawab Hasani soal dihentikannya Liga 2.

"Dampaknya ada beberapa klub datang ke LIB, dimana minta diadakan tapi bubble Ini terjadi kenaikan 150 persen dari Rp 30 miliar tadi. Tambahan Rp 50 miliar lagi. Kalau Rp 80 miliar, sedangkan LIB telah menyarankan wanprestasi karena Liga 2 tak sempurna. Karena itu kan kontrak, jumlah pertandingan dikali harga, maka harus men-deliver. Tapi situasi yang terjadi, jadi tak bisa," ujarnya menjelaskan.

Kemudian acara ini ditutup dengan pernyataan Djamal Aziz yang mendorong untuk maksimalisasi Inpres No 3 Tahun 2019 soal percepatan sepakbola. Menurutnya ini adalah kesempatan emas buat memajukan sepakbola Indonesia yang selama ini mandek.

"Kedewasaan itu penting. Kalau belum dewasa, jangan masuk. Jaga integritas. Integritas itu jangan ngomong buat proposal dll, begitu menjalankan tak bisa, ini tak boleh. Saya berharap voters memilih dengan hati nurani. Kalau memilih karena uang, nanti ganti rezim dan KLB lagi. Saya ingin yang disampaikan, Asprov punya suara harus melakukan pembinaan-pembinaan di daerah masing-masing. Ada Inpres No 3 Tahun 2019, itu bisa diatur supaya daerah mau peduli dengan pembinaan di daerah," ucap Djamal Aziz yang sekaligus menjadi penutup acara.


Hide Ads